ZONAUTARA.com – Berbagai cara dan model perjuangan dilakukan masyarakat Kabupaten Kepulauan Sangihe, Sulawesi Utara, untuk melawan perusahan tambang emas yang mengerogoti mereka.
Tak hanya melakukan aksi penolakan dengan berdemo, gugatan ke pengadilan, tanda tangan petisi, tapi juga cara kreatif lain terus dilakukan. Seperti yang digagas Audro Christofel dan teman-temannya dari Sangihe Documentery Film (SDF) melalui film Sangihe Not For Sale.
Sebelumnya, Audro Cs hendak melaunching film secara offline di Sangihe pada Minggu malam 15 Agustus 2021 namun tak diizinkan Polres Sangihe dengan alasan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM). Sehingga sejumlah lembaga seperti Gerakan Cinta Damai Sulut (GCDS), AJI Manado, Save Sangihe Island (SSI), Yayasan Suara Nurani Minaesa (YSNM), Society of Indonesian Environmental Journalists (SIEJ) dan Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI) Sulut, menggagas me-launching dan nonton bareng film tersebut tepat di Hari Kemerdekaan RI ke-76 tahun di Sekretariat AMSI Sulut, Jalan Elang Raya 3, Malalayang 1 Timur, Manado.
“Film ini berdurasi 1 jam lebih dengan pengambilan gambar melalui handphone saja. Ini film dokumenter ketiga yang dibuat Sangihe Documentery Film,” ujar Audro dalam diskusi sebelum pemutaran film yang diikuti sejumlah warga secara virtual.
Dia menyebutkan, film Sangihe Not For Sale memotret kondisi terkini masyarakat Sangihe melawan perusahan tambang emas PT Tambang Mas Sangihe (TMS).
“Saya bangunkan teman-teman saya, kalian jangan tidur lama tapi cepat bangun karena daerah kita akan rusak dengan perusahan tambang. Namanya perusahan tambang pasti akan merusak tatanan hidup masyarakat dan melahirkan berbagai hal negatif lainnya,” ujar lelaki lulusan Intitut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta ini.
Jull Takaliuang dari Save Sangihe Island (SSI), mengapresiasi semangat Audro Cs yang membuat film tersebut.
“Perjuangan kami butuh energi yang panjang dan cara-cara kreatif melakukan perusahan tambang yang punya duit besar. Salut Sangihe Documentery Film yang berjuang keras melahirkan film ini,” ujar aktivis perempuan Sulut ini.
Kata dia, nantinya film ini akan menjadi media edukasi ketika turun menemui masyarakat di kampung-kampung. “Kita akan terus menggelorakan perjuangan bersama sehingga sejengkal pun tanah kita tidak direbut oleh perusahan tambang yang merugikan masyarakat kita sendiri,” imbuhnya.
Ketua AMSI Sulut, Agust Hari, selaku tuan rumah launching dan noreng film berharap media memberikan porsi pemberitaan untuk kasus-kasus tambang, termasuk di Sangihe.
“Saya kira launching dan noreng film di Sekretariat AMSI Sulut memberi semangat bahwa media ikut bersama memberitakan kasus tambang di Sangihe. Sekretariat ini tak hanya tempat berkumpul media dan jurnalis saja untuk pelatihan dan diskusi, tapi memberi ruang bagi masyarakat yang tertindas untuk berekspresi,” kata Agust didampingi Sekretaris AMSI Sulut, Supardi Bado.
42 ribu hektar akan ditambang
Sekadar diketahui, Kabupaten Kepulauan Sangihe terletak di ujung utara Indonesia berbatasan dengan Filipina. Atau sekitar 8 jam menggunakan kapal dari Manado, Ibukota Sulawesi Utara. Daerah ini menyimpan potensi kekayaan alam yang melimpah, salah satunya perikanan. Lalu burung endemik dan berbagai hasil pertanian seperti pala dan cengkih.
Sejak kasus ini bergulir, masyarakat kemudian menggugat Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) ke PTUN Jakarta akibat mengeluarkan izin seluas 42.000 hektar lahan warga yang akan ditambang di tujuh kecamatan dan 80 desa yang merupakan ruang hidup masyarakat dengan budaya dan adat istiadat, kekerabatan, kebiasaan, nilai sejarah, asal usul, makam leluhur dan makam keluarga. Juga nilai agama, rumah ibadah, sekolah dan ruang mata pencaharian.
Warga mengajukan gugatan hukum atas keputusan Menteri ESDM yang keluar pada 29 Januari 2021 tentang persetujuan peningkatan tahap kegiatan operasi produksi kontrak karya PT Tambang Mas Sangihe. Gugatan diajukan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta, akhir Juni lalu.
Sebab, proses perizinan tambang di Pulau Sangihe diduga menyalahi beberapa peraturan UU di Indonesia. Warga kaget karena tak pernah tahu proses izin amdal. Warga menolak tambang dan memilih tetap bertani cengkih, pisang, kelapa dan tanaman lain. Bagi warga, hasil tani dan kebun mencukupi kebutuhan bahkan biaya sekolah anak-anak mereka.
Apalagi Pulau Sangihe termasuk kawasan rawan dan rentan bencana alam. Ada gunung berapi di tengah Pulau Sangihe yaitu Gunung Awu. Pulau Sangihe juga diapit dua gunung api bawah laut yakni Kawio di perairan utara Sangihe, dan Banua Wuku Mahangetang di selatan Sangihe. (*)