ZONAUTARA.com -Perwakilan 57 pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berkunjung ke kantor Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia di Jakarta pada Jumat (3/9/2021) pekan lalu.
Dalam pertemuan tersebut, perwakilan KPK dan Pengurus AJI Indonesia mendiskusikan temuan dua lembaga negara yakni Ombudsman RI dan Komnas HAM RI yang menyebut ada pelbagai pelanggaran dan siasat penyingkiran pegawai KPK melalui pelaksanaan tes wawasan kebangsaan (TWK).
Lembaga pengawas pelayanan publik Ombudsman menemukan ada cacat administrasi berlapis, penyimpangan prosedur, dan penyalahgunaan dalam proses pembentukan kebijakan, pelaksanaan TWK, serta penetapan hasil.
Temuan dan pendapat Ombudman RI merupakan pendapat hukum yang teruji, karena itu harus dipatuhi oleh lembaga pelayanan publik terlapor, yaitu KPK.
Sementara Komnas HAM mendapati proses alih status pegawai KPK menjadi ASN melalui asesmen TWK diduga kuat merupakan bentuk penyingkiran terhadap pegawai tertentu dengan latar belakang tertentu. Indikasi itu ditunjukkan di antaranya dengan adanya profiling lapangan terhadap sejumlah pegawai KPK.
Laporan setebal lebih dari 300 halaman itu juga membeberkan temuan 11 bentuk dugaan pelanggaran HAM di antaranya pelanggaran terhadap hak atas keadilan dan kepastian hukum, hak perempuan, hak bebas dari diskriminasi ras dan etnis, hak atas rasa aman, hak atas privasi, hak atas informasi publik dan, hak atas kebebasan berpendapat.
Atas rentetan temuan itu, seharusnya tak ada lagi alasan bagi KPK untuk tidak mengangkat 75 (yang kemudian 50an di antaranya dicap merah) pegawai KPK sebagai aparatur sipil negara. Tapi pemimpin lembaga antirasuah memilih untuk mengabaikannya.
“Ketika hak asasi manusia disepelekan, hukum direndahkan dan ketidakadilan didiamkan maka orang-orang patut bicara. Apalagi, mereka yang memiliki otoritas tertinggi,” ujar Ketua Umum AJI Indonesia Sasmito Madrim.
Itu sebab, sebagai atasan, Presiden Joko Widodo harus mengambil alih dan mengoreksi keputusan KPK. Ini momentum bagi Jokowi untuk membuktikan sikap konkret dukungan terhadap pemberantasan korupsi. Dan menegaskan ketidaksetujuan TWK dijadikan ‘alat’ untuk mendepak pegawai yang justru berintegritas seperti yang pernah disampaikannya pada 17 Mei 2021.
“Hasil tes wawasan kebangsaan terhadap pegawai KPK hendaknya menjadi langkah-langkah perbaikan KPK, baik individu maupun institusi, dan tidak serta merta dijadikan dasar untuk memberhentikan 75 pegawai KPK yang dinyatakan tidak lolos tes,” kata Jokowi saat itu.
“Kalau dianggap ada kekurangan, saya berpendapat masih ada peluang untuk memperbaiki melalui pendidikan kedinasan,” tambah dia.
Ombudsman dan Komnas HAM memiliki kewenangan terbatas. Tindak lanjut dari tangan Presiden Jokowi sebagai kepala negara diuji melalui putusan ini, apakah bisa menjadi panutan tertinggi melawan korupsi atau justru membiarkan para koruptor berutang budi padanya.
Sebab membicarakan ‘borok’ tes wawasan pegawai KPK bukan hanya menyoal niat menyingkirkan pegawai-pegawai yang dianggap tak bisa dikendalikan, tapi juga masa depan pemberantasan korupsi.
Sebagaimana diketahui, di antara pegawai yang disingkirkan itu adalah mereka yang membuka mata bahwa paket bansos dikorupsi. Di antara mereka adalah yang menyingkap proyek KTP digarong, yang menyeret nama-nama politikus dan pejabat. Beberapa di antara mereka juga mengungkap perdagangan perkara di lingkungan peradilan dan, tentu masih banyak lagi yang belum diketahui publik.
Karena itu, jika Jokowi tak segera mengambil sikap, rasanya pantas jika publik terus-menerus curiga dan mempertanyakan keseriusan ucapan kepala negara.
Jokowi pernah menyatakan, dirinya sependapat dengan pertimbangan Mahkamah Konstitusi dalam putusan pengujian Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang perubahan kedua UU KPK yang menyatakan proses pengalihan status pegawai KPK menjadi ASN tidak boleh merugikan hak pegawai KPK untuk diangkat menjadi ASN. Kalau sungguh-sungguh bertekad memberantas korupsi, menegakkan hukum, dan tak sedang berbasa-basi, Jokowi wajib membuktikan pernyataan itu bukan formalitas belaka.
Atas pelbagai uraian di atas dan situasi tersebut, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia mendesak:
- Presiden Jokowi berpegang teguh pada komitmen awal dan membuktikannya dengan sikap konkret menengahi polemik TWK pegawai KPK.
- Presiden Jokowi mengikuti rekomendasi Komnas HAM berupa tindakan korektif untuk mengangkat seluruh pegawai KPK yang dinyatakan tidak lolos TWK.
- Presiden Jokowi memerintahkan KPK untuk mengikuti rekomendasi Komnas HAM dan melaksanakan tindakan korektif yang diminta Ombudsman.
“Kami tak ingin, sikap plin-plan membuat publik kian tak percaya dengan janji pejabat negara. Revisi Undang-Undang KPK tentu bukan keputusan yang akan dilupakan, maka jika tetap pula membiarkan pegawai KPK berintegritas disingkirkan, lengkap sudah rekam jejak kepemimpinan yang membuat pemberantasan korupsi di Indonesia runtuh,” kata Madrim.