ZONAUTARA.com – Sebuah survei yang dilakukan oleh Lokadata.id menyebut bahwa hampir 70 persen warga desa di Indonesia masih membakar sampah atau membenamkannya di dalam lubang tanah.
Hanya 17,2 persen warga desa yang memmperlakukan sampah dengan cara membuang pada tempatnya. Warga desa di Bali patut mendapat pujian, karena 62,2 persen desa di sana membuang sampah pada tempatnya.
Sementara Kabupaten Timor Tengah Utara, Kabupaten Sumba Tengah dan Kabupaten Nagekeo di Nusa Tenggara Timur, 100 persen desa di sana membuang sampah di lubang tanah atau membakarnya. Demikian juga desa di Puncak, Papua.
Kabupaten Boalemo di Gorontalo juga berdasarkan survei pada 2020 itu, 97,6 persen desanya membuang sampah di lubang dan membakarnya.
Jika dilihat dari kepadatan penduduk, maka desa-desa yang warganya membuang sampah di lubang tanah dan membakarnya adalah desa-desa di wilayah yang berkepadatan penduduk rendah.
Bisa jadi, perilaku itu karena di wilayah mereka masih terdapat tanah kosong yang luas. Namun Kabupaten Kulon Progo di pulau Jawa, meski padat penduduk tetapi desa di sana juga rajin membakar dan membuang sampah di lubang tanah.
Membakar sampah praktis tapi berdampak buruk
Membakar sampah dengan cara dibakar memang terlihat lebih praktis dan mudah dilakukan. Namun, dibalik kemudahan tersebut, pembakaran sampah menimbulkan dampak buruk bagi kesehatan masyarakat. Pelbagai macam polutan seperti karbon monoksida, nitrogen oksida, sulfur dioksida, dan senyawa berbahaya lain dihasilkan dari pembakaran plastik atau sisa cat pada kayu bekas.
Residu dari hasil pembakaran juga bisa meresap ke dalam tanah, kemudian mengalir lewat sungai, lalu masuk ke dalam rantai makanan manusia.
Membakar sampah sebenarnya bisa dilakukan dengan aman, dengan syarat: ada proses seleksi dan penguraian sehingga polutan dan senyawa berbahaya tidak ikut terlepas ke udara.
Anton Tri Sugiarto, peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, misalnya, berhasil mengembangkan inovasi insinerator plasma. Sebelum dibakar, sampah dipilah. Yang masih bisa diproses untuk kompos atau didaur ulang dipisah terlebih dahulu. Yang dibakar hanya sampah yang tak mungkin dimanfaatkan ulang.
Dengan metode plasma, melalui proses tumbukan elektron, gas-gas beracun seperti nitrogen, sulfur, dan dioksin dapat diurai atau diionisasi, yang terlepas ke udara hanyalah gas yang aman bagi lingkungan.
Tentu saja, ongkosnya lebih mahal dari pembakaran yang hanya bermodal korek api dan, mungkin, sedikit minyak tanah.
Sumber: lokadata.id