Bagian 3 dari catatan perjalanan ke Kalimantan ini dapat dibaca di sini.
ZONAUTARA.com – Tiba di kota Palu dengan setumpuk debu yang terbawa dari perjalanan panjang, membuat saya benar-benar ingin membersihkan diri. Apalagi hari sudah malam, tubuh ingin segera rebahan. Kepada resepsionis saya bergegas meminta kunci. Sebelum sampai hotel, lewat sebuah aplikasi Kak Ronny sudah mengurus pembayaran hotel, jadi aman. Suara angin ribut terdengar hingga di lobi, dengan spontan saya bertanya kepada petugas yang menunjukkan arah lift menuju kamar, “angin di luar kencang ya, ini aman kan?.”
Dengan cepat petugas langsung menjawab pertanyaan saya panjang lebar. “Di sini aman. Tidak kena (tsunami) juga, kami hanya sedang mengecet seluruh bangunan biar terlihat lebih terang saja. Penerangan juga kami perbaiki, jadi aman saja. Oh iya, mbak di lantai tiga, dari lorong mbak lurus terus belok kanan, lurus lagi, ke arah kanan lagi terus lurus saja, kamarnya bersebelahan pas di sudut,” jelasnya sebelum berlalu.
Dari jendela di lobi terlihat Bios, Kak Ronny, dan Novi sibuk menurunkan barang-barang dari motor. Karena kebelet buang air, saya tak menunggu tapi langsung menuju kamar. Perjalanan menuju kamar membuat hati saya cemas. Lorong-lorong sangat panjang dengan tiga kali belokan. Bukan itu yang membuat saya cemas, tapi lorongnya sangat sepi, terasa dingin. Saya sendirian.
Saya membuka kamar, dan tidak jadi buang air. Saya meletakkan ransel dan beberapa barang bawaan saja. Tanpa berlama-lama, saya langsung turun. Di lobi, saya mencari-cari toilet, kebetulan Bios juga sedang mencari toilet. Oleh petugas yang sama, kami dituntun ke arah toilet yang berada di lantai dasar itu.
Saya sangat lega bisa buang air. Dengan tenang bersama Novi, Kak Ronny dan Bios saya kembali ke kamar, tentu tak sesepi saat awal. Suara Bios menggelegar, pecah dan mengisi seluruh ruangan, barangkali terdengar hingga ke bawah lobi.
Cek kapal ke Kalimantan di Palabuhan Taipa
Rasa lelah hilang setelah semalam tidur pulas di kasur empuk. Paginya kami mengawali hari dengan sarapan nasi kuning yang dipesan lewat aplikasi. Kami sengaja tidak mencari makan di luar, sebab kami benar-benar ingin memulihkan tenaga agar benar-benar siap melanjutkan perjalanan ke Kalimantan.
Setelah dirasa cukup, siangnya kami menuju ke Pelabuhan Penyeberangan Taipa untuk memastikan jadwal kapal yang akan mengantar kami berlayar menuju pulau Kalimantan. Dari yang saya amati, kota Palu adalah kota yang banyak kendaraan roda duanya. Selain itu, lampu merah ada di hampir setiap simpang jalan, menjadi pemandangan kami sepanjang perjalanan ke palabuhan. Panjangnya antrian kendaraan di lampu merah membuat kami terpisah. Bios dan Novi berada di posisi depan. Saya dan Kak Ronny yang tertinggal, dan memutuskan singgah di anjungan tunai mandiri. Untuk perjalanan jauh, kita butuh uang tunai. Rumusnya selalu begitu.
Di pelabuhan tidak ada orang, banyak kambing saja. Suasana ramai baru akan terasa ketika kapal tiba dan berangkat. Kami mendapat informasi dari penduduk di sekitar, loket penjualan tiket baru dibuka saat ada jadwal pemberangkatan kapal yaitu setiap hari Jumat dan Senin. Setidaknya besok, Jumat, pagi hari kami harus ada di pelabuhan. Banyak hal harus diurus termasuk tes antigen Covid-19. Beruntung di pelabuhan ada layanan PCR antigen dari dinas kesehatan setempat.
Berkunjung ke rumah Om Andre
Dari pelabuhan, kami diajak Kak Ronny mengunjungi Om Andre. Sudah sekian lama, sejak peristiwa bencana lindu (gempa) dan tsunami melanda Palu tahun 2018, Kak Ronny tidak mengunjungi Om Andre. Om Andre adalah kakak dari ibunya Kak Ronny.
Setelah berputar-putar di jalan yang sama selama dua kali, akhirnya Kak Ronny ingat di mana persis rumah Om Andre. Kami disambut gembira. Om Andre banyak bercerita tentang pengalaman hidupnya, terutama saat gempa dan tsunami melanda Palu. Wajah Om Andre yang semula sumringah mendadak jadi pucat. Meski penuh syukur luput dari bencana, Om Andre menjadi saksi bagaimana teman-temannya harus kehilangan, bukan cuma harta benda, tapi orang-orang yang disayangi.
“Sesaat sebelum gempa, banyak burung-burung terbang dari hutan, di jalan-jalan ular-ular datang. Mungkin sudah tanda-tanda alam,” cerita Om Andre.
Mendengarkan cerita Om Andre membuat hati saya menjadi teriris, padahal Om Andre membingkai ceritanya dengan humoris. Dia pintar mengalihkan cerita sehingga terdengar lucu, tapi bagi saya tetap meninggalkan sesak di hati.
Setelah lama bercerita, Om Andre mangajak kami makan. Usai makan siang, kami langsung pamit dari rumah Om Andre.
Jejak likuifaksi di Balaroa
Kepala saya penuh dengan cerita Om Andre. Saya terus teringat dengan Balaroa. Om Andre menyebut perum Balaroa, likuifaksi, dan cerita yang membuat bulu kuduk berdiri. Beruntung saya berkesempatan melihat jejak itu. Oleh Kak Ronny yang sebelumnya pernah meliput langsung bencana dasyat ini, kami diajak ke sana.
Sesampainya di lokasi, berbeda dengan Novi dan Bios yang langsung bisa keliling melihat-lihat, saya hanya duduk saja di bawah sebuah pohon, meneguk air botol kemasan. Saya tidak bisa membayangkan berada di antara bekas bencana. Dalam hati saya terus istigfar, sembari kontemplasi, di dunia ini kita hanya butiran debu.
Matahari begitu terik, saya tidak bersemangat untuk berswafoto di Balaroa. Ada sesak di hati yang saya bawa hingga pulang.
Masjid Apung Arqam Baburahman
Hari yang terik membawa kami kembali ke hotel. Betapa terkejutnya saya saat melihat dan mulai menyadari samping kiri kanan hotel tempat kami menginap, banyak rangka-rangka bangunan bekas terjangan tsunami. Hati saya berdegub, jika semua bangunan di komplek tinggal rangka, mustahil hotel tempat kami menginap luput. Saya mulai berperang dengan diri sendiri.
Muncul perasaan bersalah di hati saya. Mungkin pertanyaan saya saat pertama datang kepada petugas hotel telah memunculkan kembali luka. Ya walau, saya tidak bermaksud membangkitkan kenangannya. Waktu di Manado saya cemas sebab hotel tempat saya menginap juga di depan laut. Setelah saya di Papua, saya menerima video air laut masuk hingga di halaman hotel dan menyebabkan banjir. Itu terjadi selang sehari saya di sana. Perasaan cemas itu terbawa hingga melahirkan pertanyaan yang saya duga memicu luka petugas hotel. Saya mencari-cari petugas hotel itu, saya ingin minta maaf. Sayang saya tidak berjumpa lagi dengannya.
Hari mulai sore, kami menuju Masjid Arqam Baburahaman. Masjid ini kini menjadi salah satu ikon kota Palu, semacam monumen pengingat dasyatnya peristiwa tsunami. Setiap hari terutama saat jelang sore, banyak orang yang berkunjung berdoa dan merenung.
Seorang anak sekitar 10 tahun datang mendekat. Tanpa ditanya, dia bercerita rumahnya telah hancur, ayah ibunya juga meninggal akibat bencana. Pengunjung yang terenyuh dimintai uang. Saya juga memberinya uang menjelang malam, dua puluh ribu rupiah. Anak itu berlari pulang.
Setelahnya kami menikmati malam ditempat terpisah, Novi dan Bios bertemy teman mereka sekaligus makan malam. Saya dan Kak Ronny mengitari kota Palu, setelahnya makan di tepi teluk Palu. Jeruk hangatnya enak.
Marasakan hal aneh
Keesokan harinya kami bersiap. Barang-barang sudah dipacking. Pagi-pagi sekali, Bios dan Kak Ronny sudah mulai mengikat barang di motor. Saya sendirian di kamar. Bingung harus ngapain, saya mencoba menyalakan televisi. Sayang, layarnya kabur. Saya tidak bisa menikmati yang saya tonton.
Tiba-tiba, saya mendengar suara ribut di lorong. Saya bergegas membuka pintu kamar, saya pikir itu Bios bersama Kak Ronny. Setelah beberapa lama menunggu, tidak ada siapa-siapa yang datang. Saya mulai cemas dan langsung menutup pintu. Tak lama, saya seperti mendengar orang menangis. Saya mencoba waras dan menyakinkan diri, jika yang saya dengar hanya halusinasi. Terbawa pikiran karena beberapa kali melihat kamar rusak dan pintunya terbuka saat melewati lorong menuju kamar.
Akhirnya masa kecemasan saya hilang, saat Kak Ronny, Bios dan Novi datang. Kami semua meninggalkan kamar dan bersiap melanjutkan perjalanan ke Taipa. Tepat di muka pintu lift, kami terkejut, Novi menjatuhkan gelas berbahan seng menimbulkan suara keras. Kami masuk ke dalam lift. Di lift Bios bergurau, “ini efek karena terbawa kejadian aneh di kamar.”
Setelah cek out, kami berswafoto di depan hotel sebagai dokumentasi. Bios lantas menceritakan apa yang diceritakan Novi padanya. Katanya, Novi beberapa kali panik karena kamar terbuka begitu saja. Kadang Novi merasa telah mengunci kamar, tapi terbuka begitu saja dan begitu sebaliknya. Bios bercerita sambil terus tertawa, ditanggapi juga oleh canda tawa Kak Ronny. Tapi bagi saya, itu tidak lucu. Barangkali, yang saya alami juga bukan halusinasi. Saya coba mewaraskan diri kembali dengan menghilangkan pikiran buruk.
Menunggu lama dan bertemu calo di pelabuhan Taipa
Sekitar pukul 09.00 Wita, kami tiba di pelabuhan penyeberangan Taipa. Sudah ada beberapa orang yang saya duga sebagai calon penumpang. Hanya saja loket tiket belum dibuka. Karena masih sepi, Bios dan Novi pergi ke bengkel, ada yang perlu diperbaiki di motor mereka. Saya sendiri coba mencari nformasi di mana tes antigen bisa dilakukan. Oleh satpam, saya diarahkan ke sebuah kantin untuk mencari informasi.
Seorang ibu datang menghampiri saya. Dia bertanya berapa orang yang butuh tes antigen. Tak lama dia menelepon. Karena kesal tak dapat info apa-apa, saya kembali ke pelabuhan. Tak lama berselang seorang laki-laki paruh baya menghampiri. Dia mengajak pergi ke rumah seorang dokter untuk tes antigen. Kami menolak. Tak lama Novi dan Bios datang.
Di bawah sebuah pohon di pelabuhan, saya, Novi dan Bios menikmati durian yang dibeli Bios. Kak Ronny tidak gabung, kepalanya sedang sakit. Aroma durian mengganggunya.
Hari mulai siang, penumpang berdatangan. Tak lama laki-laki yang tadi datang lagi. Dia membawa seorang yang katanya dokter. Dia mengajak setengah memaksa kami untuk tes antigen. Kak Ronny bersikeras nanti akan tes antigen melalui layanan dari petugas kesehatan di pelabuhan. Lelaki itu memaksa. Katanya, kalau tes antigen menggunakan jasanya tidak perlu ditusuk hidung, dan langsung dinyatakan negatif. Kak Ronny langsung adu mulut menegaskan bahwa tindakan seperti itu justru membahayakan. Dengan kesal lelaki itu meninggalkan kami. Dengan gaya setengah mengejek mulai mengurus layanan tes antigen hampir semua calon penumpang yang datang. Selain tiga orang yang antre, hanya kami berempatlah yang menunggu layanan tes antigen resmi di pelabuhan.
Hampir semua calon penumpang yang mengantongi bukti tes antigen dari lelaki yang saya duga calo tadi sudah masuk ke dalam kapal ferry. Bios memastikan kepada pihak petugas pelabuhan jika loket tiket tidak akan ditutup sebelum petugas kesehatan datang. Syukurlah 30 menit sebelum kapal berangkat petugas kesehatan datang. Kami bisa tes antigen sesuai aturan, membeli tiket, dan menaiki kapal. Sebelum itu, saya ke pos polisi dan menunjukkan surat jalan dari kepolisian, yang kami bawa dari Kotamobagu.
Di atas KPM Laskar Pelangi kami siap berlayar menuju Kalimantan. Sebagaimana rute dan jadwal perjalanan kami, kami akan berlabuh di pelabuhan Kariangau, Kalimantan Timur. Di sana, rencananya kami akan menginap dulu di Balikpapan sebelum menyebrang lagi ke Penajam. Dan seterusnya melanjutkan petualangan @torangbapontar.