Artikel ini sebelumnya sudah tayang di The Conservation, yang ditulis oleh: Viktor Pirmana, Universitas Padjadjaran
Di Indonesia, upaya mengevaluasi ambisi pertumbuhan ekonomi dengan dampaknya bagi kelestarian lingkungan hidup masih sayup-sayup terdengar.
Alih-alih berubah, pemerintah justru merombak berbagai aturan pengendalian lingkungan hidup. Misalnya, penghapusan kewajiban analisis dampak lingkungan (amdal) bagi pelaku usaha, atau penyempitan partisipasi masyarakat dalam dokumen persetujuan lingkungan. Semua itu demi memuluskan investasi seluas-luasnya, dengan mimpi menjamurnya kesempatan kerja.
Padahal, usaha meraih pertumbuhan tanpa pertimbangan dampak lingkungan akan menjadi bumerang bagi pencapaian kesejahteraan. Bank Dunia menaksir kerugian ekonomi akibat perubahan iklim di Indonesia akan mencapai 2,5–7% dari produk domestik bruto (PDB) pada 2100, seiring dengan melonjaknya biaya kesehatan dan lingkungan.
Saya menganalisis seberapa mahal dampak degradasi lingkungan yang diakibatkan oleh aktivitas seluruh sektor ekonomi di Indonesia pada 2010. Studi yang terbit di Journal for Cleaner Production ini merupakan penelitian pertama yang menganalisis data mendetail hingga biaya lingkungan atas material-material pencemar.
Analisis menggunakan data dari Tabel Input-Output Badan Pusat Statistik 2010, serta data volume pencemaran udara Indonesia berdasarkan sektor-sektor ekonomi dan jenis pencemar dari konsorsium lembaga riset EXIOBASE 2010.
Meski terpaut 12 tahun, data-data tersebut masih relevan dengan kondisi Indonesia terkini dan masih memiliki arti praktis bagi pembuatan kebijakan saat ini.
Hasilnya, total biaya lingkungan di Indonesia pada 2010 mencapai Rp 915,11 triliun – setara dengan 13% dari PDB Indonesia pada tahun yang sama. Angka ini sangat besar, melampaui dua kali lipat anggaran pembangunan infrastruktur Indonesia pada 2021.
Biaya lingkungan di Indonesia
Kita membutuhkan indikator yang terukur dan aplikatif untuk memperoleh besaran biaya lingkungan – ekses negatif yang timbul dari kegiatan ekonomi. Harapannya, upaya pengambilan keputusan dapat lebih tepat sasaran dan efektif, pembangunan pun berada pada jalur yang berkelanjutan.
Monetisasi memungkinkan untuk menghitung bagaimana biaya lingkungan terkait dengan Produk Domestik Bruto (PDB) suatu negara. Misalnya, biaya lingkungan dapat menjadi variabel “koreksi” atau pengurang PDB – dikenal sebagai PDB hijau.
Di Indonesia, biaya lingkungan hanya diukur dari aspek penipisan sumber daya alam seperti sumber daya mineral dan hutan, sebagai akibat dari eksploitasi yang berlebihan.
Riset saya mencoba melangkah lebih jauh, dengan menghitung biaya lingkungan akibat degradasi lingkungan, yang berasal dari polusi udara.
Adapun dari hasil perhitungan biaya lingkungan sebesar Rp 915 triliun, sekitar 38% adalah biaya degradasi lingkungan akibat polusi udara. Sedangkan biaya akibat penipisan sumber daya alam tidak terbarukan (sumber daya mineral) mencapai 55%, dan sumber daya hutan 6,7%.
Meski bukan yang komponen terbesar, biaya akibat degradasi lingkungan pada kenyataannya bisa lebih besar lagi. Pasalnya, penelitian ini belum menghitung biaya lingkungan akibat polusi air (water pollution) maupun timbunan sampah.
Perhitungan ini belum dimasukkan karena keterbatasan data publik yang ada.
Biaya lingkungan akibat pencemaran udara di Indonesia
Sebagaimana telah disebutkan di atas, biaya lingkungan akibat polusi udara merupakan kontributor kedua dari total biaya lingkungan di tanah air. Nilainya mencapai Rp 348,35 triliun atau setara 5% total PDB Indonesia.
Penelitian saya juga menelaah 10 sektor dengan kontribusi biaya lingkungan terbesar akibat udara yang tercemar: (1) Sektor listrik; (2) Industri besi dan baja – termasuk pengolahannya; (3) Pertambangan batubara, lignit, dan ekstraksi gambut; (4) Transportasi laut dan pesisir pantai; (5) Budi daya padi sawah; (6) Industri produk karet dan plastik; (7) Peternakan dan hasilnya; (8) Industri semen, kapur, dan plester; (9) Industri Pupuk; dan (10) konstruksi.
Sepuluh sektor tersebut berkontribusi terhadap sekitar 73% dari total biaya kerusakan lingkungan Indonesia.
Sektor listrik merupakan sektor dengan biaya lingkungan dari polusi udara tertinggi: sekitar Rp 47,86 triliun, atau 13,74% dari total nilai dari biaya degradasi lingkungan. Hal tersebut masuk akal karena pada 2010, 84% bauran energi untuk pembangkitan listrik Indonesia masih berasal dari energi fosil. Rinciannya, sekitar 40% dari batu bara, dan bahan bakar minyak serta gas bumi masing-masing 24% dan 40%.
Alih-alih berubah, pada satu dekade kemudian, angka bauran energi tersebut tidak menurun. Per 2020, sekitar 85% bauran energi untuk pembangkitan listrik nasional masih berasal dari energi fosil.
Riset yang saya lakukan juga mencoba untuk mendetailkan persoalan ini. Analisis dilakukan pada 34 jenis pencemar udara yang berkontribusi pada degradasi lingkungan di tanah air.
Beberapa kontributor terbesar di antaranya adalah sulfur dioksida (SOx) sebesar 21,4%, nitrogen oksida atau NOx (16,4%), CO2 (13,6%), dan CH4 atau gas metana (10,4%). Keempat pencemar ini diketahui terlepas akibat pembakaran sumber energi fossil.
Sedangkan jenis pencemar udara lainnya yang termasuk dalam 10 kontributor tertinggi adalah ammonia (NH3), timbal (Pb), nitrogen, serta partikel pencemar lainnya seperti TSP (total suspended particulate), partikel partikulat (PM) berukuran 10 mikron atau PM10, dan PM2,5. Sepuluh jenis pencemar udara tersebut bertanggung jawab terhadap 93,7% dari total biaya degradasi lingkungan akibat pencemaran udara di Indonesia .
Kebijakan pembangunan mesti diubah
Temuan dalam riset ini menjadi penting agar segala upaya dan kebijakan untuk mengurangi pencemaran udara bisa diprioritaskan pada kesepuluh sektor dan sepuluh jenis pencemar terbesar.
Beberapa opsi dan instrumen kebijakan berikut dapat dipertimbangkan oleh pembuat kebijakan (pemerintah dan parlemen) untuk mereduksi biaya lingkungan dan beralih ke konsumsi dan produksi yang lebih berkelanjutan.
Hal tersebut yang sejalan dengan Tujuan Pembangunan Bekelanjutan (SDGs), terutama tujuan 12 dari SDG yatu pola konsumsi dan produksi yang bertanggung jawab.
1) Mengubah perilaku konsumen. Ada tiga cara berbeda untuk mempengaruhi perilaku konsumen. Pertama, meningkatkan kesadaran konsumen melalui skema pelabelan wajib atau sukarela, situs web informasi, dan kebijakan pengukuran lingkungan. Kedua, memberikan penawaran menarik atas konsumsi produk-produk ramah lingkungan dan membatasi jangkauan produk yang tidak ramah lingkungan di pasar. Ketiga, meningkatkan pangsa pasar produk ramah lingkungan, serta melarang produk tidak ramah lingkungan.
2) Adopsi sistem hijau pengadaan publik. Pemerintah dengan dana publik yang besar dapat berperilaku sebagai konsumen yang berkelanjutan dalam aktivitas pengadaan barang dan jasa. Sistem tersebut akan menguntungkan pemerintah sebagai organisasi publik untuk mengurangi dampak negatif lingkungan akibat aktivitas pembangunan.
3) Merangsang adopsi produksi bersih. Ada berbagai instrumen ekonomi dan kebijakan yang dapat digunakan pemerintah untuk mempromosikan produksi yang lebih bersih. Misalnya, instrumen pajak dapat digunakan untuk menaikkan ongkos produksi produk berbahaya, dan juga mempromosikan efisiensi penggunaan sumber daya alam melalui kebijakan tax holiday. Instrumen lain seperti subsidi keuangan dan juga pembiayaan inovatif untuk industri tertentu dapat menjadi insentif ekonomi langsung untuk mengurangi penggunaan teknologi yang mencemari lingkungan maupun produk yang tidak aman.
Viktor Pirmana, Researcher on Environmental Economics, Universitas Padjadjaran
Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.