Artikel ini sebelumnya sudah tayang di The Conversation yang ditulis oleh: Brooke Williams, The University of Queensland; Amelia Wenger, The University of Queensland, dan James Watson, The University of Queensland
Hasil riset terbaru kami menemukan hanya ada sekitar 16% wilayah pesisir pantai yang masih dalam kondisi relatif baik. Kebanyakan wilayah pesisir pantai di Bumi sudah rusak parah, tak mungkin dikembalikan ke kondisi semula.
Padahal, planet kita sangat membutuhkan wilayah-wilayah ini, di mana daratan bertemu dengan lautan demi menjaga keanekaragaman hayati sekaligus keberlangsungan hidup milyaran orang. Sayangnya, hingga saat ini, pemahaman akan wilayah pesisir pantai masih cenderung rendah.
Melibatkan tim ahli internasional, riset kami mengungkap fakta yang meresahkan bahwa hampir separuh wilayah pesisir di seluruh dunia – sebagian besar merupakan kawasan lindung, mengemban beban berat aktivitas manusia.
Setiap negara harus mengerahkan segenap upaya untuk menjaga dan memulihkan wilayah pesisir pantai yang mereka miliki. Upaya ini harus dimulai sekarang juga.
Wilayah pesisir sangat penting, namun juga rentan
Wilayah pesisir pantai adalah ekosistem yang paling beragam dan unik di muka Bumi. Kawasan ini mencakup terumbu karang, hutan rumput laut, padang lamun, dataran pasang surut, bakau, muara, rawa asin, lahan basah dan hutan pesisir.
Banyak spesies hewan, termasuk yang melakukan migrasi, bergantung pada wilayah ini untuk berkembang biak, mencari makan dan berlindung. Wilayah pesisir juga menjadi tempat muara sungai-sungai, lokasi pertukaran nutrien hutan bakau dan lautan, serta tempat terjadinya aliran pasang surut.
Manusia pun membutuhkan wilayah pesisir untuk mendukung industri perikanan, berlindung dari serangan badai, dan sarana penyimpanan karbon untuk meredam perubahan iklim.
Sebanyak 74% populasi manusia di Bumi tinggal sekitar 50 kilometer dari wilayah pesisir. Namun, pada saat yang sama, ada begitu banyak tekanan yang diberikan oleh manusia terhadap wilayah tersebut.
Dalam konteks lingkungan laut, tekanan-tekanan ini termasuk:
- beragam intensitas penangkapan ikan
- nutrien berbasis lahan, bahan kimia organik, dan polusi cahaya
- dampak langsung dari manusia, seperti aktivitas rekreasi di pantai
- pengiriman barang jalur laut
- perubahan iklim (sekaligus pengasaman laut, kenaikan permukaan laut dan peningkatan suhu permukaan laut).
Sementara itu, tekanan-tekanan dari daratan yang ditimbulkan oleh manusia terhadap wilayah pesisir pantai adalah:
- lingkungan yang dibentuk, seperti pembangunan pesisir
- gangguan umum
- infrastruktur listrik dan transportasi
- munculnya kebun-kebun dan padang rumput yang menghilangkan ekosistem serta menghasilkan limpasan kimia dan nutrien ke aliran air.
Hingga saat ini, penilaian wilayah pesisir di Bumi sebagian besar hanya berfokus pada daratan atau lautan alih-alih mengukur kedua kawasan ini secara bersamaan. Maka dari itu, penelitian kami berupaya untuk menjawab kebutuhan tersebut.
Gambaran yang meresahkan
Kami menggabungkan peta dampak manusia yang sudah ada baik untuk wilayah daratan dan lautan. Ini memungkinkan kami untuk mengukur spektrum tekanan manusia di seluruh wilayah pesisir bumi, sekaligus mengenali wilayah mana saja yang sudah rusak parah maupun yang belum terdampak.
Kedua peta ini menggunakan data yang tersedia sampai tahun 2013 – tahun terakhir di mana ada data terpadu yang dapat kami gunakan.
Tidak ada wilayah pesisir yang bebas dari pengaruh manusia. Namun, sekitar 15,5% wilayah pesisir di Bumi masih belum terdampak. Dengan kata lain, tekanan manusia di wilayah-wilayah ini, yang kebanyakan berada di Kanada, Rusia dan Greenland, masih rendah.
Terdapat pula hamparan besar wilayah pesisir yang belum terdampak di negara-negara seperti Australia, Indonesia, Papua Nugini, Chili, Brazil dan Amerika Serikat.
Di sisi lain, 47,9% wilayah pesisir di seluruh dunia telah terdampak oleh tekanan manusia yang sangat tinggi. Yang lebih mengkhawatirkan, lebih dari setengah wilayah pesisir di 84% negara di seluruh dunia terbukti sudah rusak.
Di samping itu, ditemukan juga tekanan manusia yang tinggi di sekitar 43% wilayah pesisir yang dilindungi dan dianggap mampu menjaga lingkungan.
Wilayah pesisir yang memiliki padang lamun, sabana, dan terumbu karang paling terdampak oleh tingkat tekanan manusia dibandingkan dengan ekosistem pesisir lainnya. Beberapa wilayah pesisir juga sudah sangat rusak sehingga tidak mungkin dipulihkan.
Ekosistem pesisir memang sangat kompleks; sekali hilang, ekosistem ini kemungkinan tidak mungkin dipulihkan ke kondisi semula.
Apa yang bisa dilakukan?
Penelitian kami menyimpulkan bahwa sangat sedikit wilayah pesisir di bumi yang tidak terimbas aktivitas manusia. Karena itu, kami mendesak pemerintah di setiap negara di dunia agar segera mengamankan wilayah pesisir yang masih baik di negara mereka masing-masing. Pemulihan wilayah pesisir yang sudah terdampak namun masih bisa diperbaiki juga masih perlu dilakukan.
Demi mengawal tugas global ini, kami sudah menyediakan kumpulan data yang tersedia untuk khayalak umum dan bisa digunakan secara gratis di sini.
Setiap wilayah pesisir tentu membutuhkan tindakan konservasi dan restorasi yang berbeda-beda, seperti:
- meningkatkan tata kelola lingkungan dan regulasi terkait ekspansi pembangunan
- penambahan kawasan lindung dengan sumber daya yang mumpuni
- mengurangi alih fungsi lahan demi mencegah peningkatan limpasan polusi ke kawasan pesisir
- meningkatkan hubungan dengan komunitas dan penduduk pesisir
- memperkuat keterlibatan masyarakat adat dalam mengelola wilayah pesisir
- memperbaiki efektivitas pengaturan sumber daya perikanan
- mengarusutamakan persoalan perubahan iklim
- menangani persoalan geopolitik dan sosial ekonomi yang berdampak pada kerusakan lingkungan pesisir.
Selain itu, kebijakan dan program nasional serta global juga dibutuhkan secara cepat agar wilayah-wilayah pertemuan daratan-lautan dapat dikelola secara efektif.
Dampak manusia di wilayah pesisir sudah sedemikian parah dan meluas. Tanpa perubahan yang mendesak, implikasinya terhadap keanekaragaman hayati sekaligus masyarakat pesisir akan kian memburuk.
Brooke Williams, Postdoctoral research fellow, The University of Queensland; Amelia Wenger, Research fellow, The University of Queensland, dan James Watson, Professor, The University of Queensland
Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.