Artikel ini sebelumnya sudah tayang di The Conservation, ditulis oleh: Cindy Rianti Priadi, Universitas Indonesia; Juliet Willetts, University of Technology Sydney, dan Timothy Foster
Air minum merupakan salah satu kebutuhan pokok yang membutuhkan biaya yang tidak sedikit di Indonesia.
Survei oleh Kementerian Kesehatan tahun 2020 menunjukkan hanya 12% dari keseluruhan rumah tangga Indonesia yang memiliki akses terhadap air minum yang aman.
Sementara, target Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SDGs) 6.1 menetapkan agar seluruh populasi dunia memiliki akses ke air yang aman pada tahun 2030.
Salah satu yang dilakukan oleh pemerintah dalam memberikan akses air minum kepada masyarakat adalah dengan membangun jaringan air perpipaan, yang dianggap sebagai standar tertinggi sumber air minum, karena alasan keamanan dan keberlanjutan.
Sayangnya, air perpipaan yang didukung oleh pemerintah dan PDAM (Perusahaan Daerah Air Minum) tidak dapat menjangkau seluruh masyarakat. Akibatnya, masyarakat harus mengadakan dan membiayai sendiri air minum dari air tanah yang umum disebut sebagai air self-supply atau swasembada air minum.
Hal ini berujung pada pengeluaran rumah tangga untuk air self-supply yang tidak sedikit. Jika diakumulasi, total biaya sistem air self supply rumah tangga di Indonesia mencapai Rp 14,5 triliun setiap tahunnya termasuk pengeboran tanah, pembuatan sumur, investasi pompa, biaya listrik operasional pompa dan pemeliharaannya.
Mengingat sulitnya membangun jaringan perpipaan di perkotaan yang cenderung padat, kami melihat perlunya pemerintah menggandeng pihak swasta dan masyarakat dengan turut berkontribusi dalam investasi dan pemeliharaan sistem penyediaan air minum self supply dan menyusun regulasi yang tepat agar air swadaya tersebut aman untuk diminum.
Sulitnya memperoleh air minum aman di Indonesia
Menurut SDGs, akses air yang aman memiliki empat syarat: sarana air yang layak dan terlindungi, lokasi sumber air berada di dalam atau di halaman rumah, ketersediaan air apabila dibutuhkan, dan bebas dari kontaminasi.
Sama seperti banyak negara di dunia, Indonesia fokus pada pengembangan jaringan air minum perpipaan dan telah melakukan berbagai usaha untuk mengembangkannya.
Sayangnya, baru satu dari lima penduduk Indonesia memiliki akses pada jaringan air minum perpipaan. Penyebabnya adalah kebutuhan investasi yang besar hingga tingginya kebocoran air.
Belum lagi, hanya sekitar setengah pengguna air minum perpipaan, atau satu dari 10 penduduk Indonesia, yang memakai air tersebut sebagai air minum. Sedangkan, setengah lainnya lebih memilih mengonsumsi air minum lain termasuk air dalam kemasan atau air minum isi ulang karena alasan rasa, bau, penampilan, dan lainnya.
Air perpipaan biasanya hanya digunakan untuk keperluan sekunder seperti mandi dan mencuci.
Masyarakat yang terpaksa swasembada air
Akibat air perpipaan yang tidak dapat menjangkau seluruh masyarakat, masyarakat harus mengadakan dan membiayai sendiri air minum dari air tanah, umum disebut sebagai air self-supply atau swasembada air minum.
Satu dari tiga penduduk Indonesia menggantungkan kebutuhan air minumnya pada sumber self supply, tanpa usaha dan investasi dari pemerintah.
Self-supply, khususnya di Indonesia, menjadi pilihan yang mudah bagi rumah tangga. Masyarakat dapat menghubungi jasa gali atau bor sumur dengan ongkos yang bervariasi, mulai dari Rp 1 juta hingga Rp 20 juta tergantung jenis sumur, jenis tanah, kedalaman air tanah, dan lainnya. Jika diakumulasi, total biaya keseluruhan air self supply rumah tangga di Indonesia diestimasi mencapai Rp 14,5 triliun setiap tahunnya.
Namun, biaya yang besar ini tidak menghapus risiko pencemaran. Studi yang kami lakukan di beberapa daerah seperti di [Bekasi, Jawa Barat], dan Metro, Lampung, menunjukkan lebih dari setengah jumlah pasokan air tersebut (59,8% di Bekasi dan 71,5% di Metro) mengandung bakteri E.Coli yang menjadi indikator bagi kehadiran mikroorganisme patogen yang dapat menyebabkan diare.
Angka ini tidak jauh berbeda dari temuan Kementerian Kesehatan tentang kontaminasi feses pada air minum di Indonesia yang angkanya mencapai 70%.
Apabila pemakaian air self-supply dibiarkan tanpa tata kelola yang jelas, keberlanjutannya akan terus terancam tanpa adanya opsi lain yang tersedia.
Pemerintah perlu kebijakan yang lebih jelas
Air minum perpipaan seringkali menjadi target utama pemerintah karena siklus pengelolaannya yang baku, mulai dari perencanaan dan studi kelayakan yang lengkap, pemanfaatan teknologi terkini, hingga sistem mitigasi risiko keamanan yang umumnya menyeluruh.
Dalam kondisi yang ideal, seharusnya air minum perpipaan ini menjadi sumber air minum utama bagi masyarakat.
Namun, suka atau tidak, pengguna air self-supply akan terus mengambil proporsi yang cukup besar dari populasi Indonesia, kemungkinan dalam beberapa waktu ke depan karena banyaknya waktu dan dana yang dibutuhkan untuk pembangunan air minum perpipaan.
Pemerintah, misalnya, telah mengeluarkan Rp 8,3 triliun untuk penyediaan air minum perpipaan pada tahun 2017 saja.
Melihat realita ini, perhatian pemerintah untuk mengejar ketertinggalan pencapaian target SDG untuk akses air minum aman perlu diperluas tidak hanya pada sistem perpipaan, namun juga self-supply dan sistem Bukan Jaringan Perpipaan (BJP) lainnya.
Hal ini dapat dilakukan dengan menyediakan kerangka kebijakan dan regulasi yang jelas untuk mendukung keberlanjutannya.
Pertama, pemerintah dapat mendukung secara masif konversi atau pembenahan infrastruktur sumur gali tidak terlindungi, yang merupakan sumber air tidak layak, menjadi sumur gali terlindungi dengan dinding dan lantai sumur serta saluran pembuangan sesuai panduan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat.
Kedua, pemerintah perlu mengelola sumber air, termasuk air tanah sebagai sumber utama self-supply, dengan pendekatan manajemen berbasis risiko mulai dari kebijakan dan regulasi terkait konservasi, prioritas pemakaian sampai monitoring dan evaluasi. Dengan dampak perubahan iklim yang semakin terasa, sumber air minum – baik air permukaan maupun air tanah – terancam keberadaannya.
Selain itu, edukasi dan promosi kepada masyarakat mengenai pentingnya pengolahan air minum yang aman di rumah tangga juga perlu digencarkan. Meskipun air baku untuk air minum tercemar, risiko kesehatan dapat dikurangi ketika rumah tangga merebus secara tepat ataupun menghadirkan pengolahan sederhana lainnya.
Air minum perpipaan atau bukan, prioritas kita adalah menyediakan air minum aman bagi seluruh lapisan masyarakat Indonesia demi masyarakat Indonesia yang sehat dan berdaya.
Cindy Rianti Priadi, Assistant Professor in Environmental Engineering, Universitas Indonesia; Juliet Willetts, Associate Professor, Research Director, Institute for Sustainable Futures, University of Technology Sydney, dan Timothy Foster, Research Director Institute for Sustainable Futures.