Artikel ini ditulis oleh: Perdinan, IPB University dan Syafararisa Dian Pratiwi, PIAREA Institute dan telah tayang sebelumnya di The Conversation.
Perubahan iklim tidak hanya berimbas pada lingkungan, namun juga kesehatan masyarakat.
Perubahan suhu, banjir dan kekeringan meningkatkan prevalensi sekaligus memunculkan sejumlah penyakit di area-area yang sebelumnya tidak terjangkit.
Efek pada kesehatan manusia ini menimbulkan efek multidimensional pada perekonomian. Semakin tingginya tingkat penularan penyakit berarti semakin banyak pengeluaran yang harus dialokasikan negara untuk mitigasi dampak kesehatan dari perubahan iklim.
Belum lagi, manusia adalah roda penggerak perekonomian. Jika manusia tertimpa penyakit, produktivitas pun akan menurun.
Riset kami menunjukkan bagaimana penyakit akibat perubahan iklim dapat menimbulkan kerugian hingga Rp 16,72 triliun dalam rentang 2021-2050, atau setara dengan 0,1% dari pendapatan domestik bruto (PDB) dalam setahun. Selain itu, perubahan iklim juga meningkatkan risiko bencana alam yang dapat menyebarkan penyakit, dan mendongkrak kerugian kesehatan hingga 1,8% PDB atau sekitar Rp 301 triliun. Angka ini hampir tiga kali lipat dari alokasi belanja kesehatan tahunan pemerintah dalam kondisi normal pra-pandemi.
Penguatan aksi adaptasi perubahan iklim di bidang kesehatan perlu mendapat perhatian lebih untuk mengurangi kerugian tersebut.
Mahalnya ongkos penyakit akibat perubahan iklim
Studi kami menganalisis potensi kerugian akibat penyakit yang sensitif terhadap perubahan iklim, seperti demam berdarah, malaria, diare, dan pneumonia. Biaya pengobatan, rawat inap, hingga hilangnya potensi ekonomi akibat penurunan produktivitas menjadi pertimbangan utama kami.
Kami menghitung kerugian ekonomi di bidang kesehatan dengan rentang prediksi melingkupi tahun 2021-2050.
Nilai ekonomi yang digunakan dalam analisis kami adalah asumsi PDB tahun 2020 atau sekitar Rp 16,725 triliun, dan belum memasukkan efek pandemi. Artinya, potensi dampak ekonomi ke depannya bisa jauh lebih besar dari perkiraan kami.
Asumsi penelitian kami adalah proyeksi perubahan suhu udara sekitar 1℃ hingga 3℃ dan perubahan curah hujan sekitar -30% hingga 30%, berdasarkan model-model perubahan iklim dan dokumen pemerintah.
Perubahan suhu dan curah hujan ini dapat menimbulkan iklim yang ekstrem. Iklim yang ekstrem dapat menyebabkan masalah lingkungan yang mempercepat transmisi penyakit.
Sebagai contoh, nyamuk aedes aegypti. Peningkatan suhu dapat membuat spesies tersebut menyebar ke dataran yang lebih tinggi dan membuat penyebaran penyakit di dataran rendah berlangsung lebih lama.
Di masa yang akan datang, perantara penyakit seperti demam berdarah, diare, dan malaria dapat hidup di sebagian besar wilayah Indonesia. Insiden penyakit juga akan bertambah utamanya di kota-kota besar di Jawa.
Jumlah kasus pneumonia akan meningkat di daerah dataran tinggi. Peningkatan tajam juga terlihat di Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, bahkan di bagian utara Pulau Jawa.
Cuaca ekstrem akibat perubahan iklim di masa mendatang berpotensi meningkatkan kejadian bencana, khususnya bencana hidrometeorologi. Bencana hidrometeorologi adalah bencana yang diakibatkan oleh parameter-parameter meteorologi, seperti curah hujan, kelembapan, temperatur, dan angin. Berdasarkan data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), 19.469 bencana hidrometeorologi terjadi pada rentang 2009-2019 di Indonesia.
Menurunnya kualitas lingkungan pada saat bencana, bahaya kesehatan, kelangkaan air bersih, dan terganggunya proses produksi dan distribusi pangan menambah kerugian akibat perubahan iklim. Risiko terjadinya penyakit juga meningkat seiring dengan intensitas banjir dan kekeringan.
Banjir dapat menyebabkan penyakit terbawa air dan merupakan tempat berkembang biaknya vektor penyakit, seperti nyamuk dan tikus. Sedangkan, kekeringan dapat menyebabkan kelangkaan air yang berimplikasi pada meningkatnya kerentanan masyarakat. Kekeringan juga dapat meningkatkan jumlah wadah penampungan air, yang lagi-lagi memberi ruang untuk nyamuk berkembang biak.
Penyakit menular yang muncul pada musim hujan dan banjir juga melingkupi infeksi pernapasan akut, leptosirosis atau penyakit yang disebabkan bakteri dari urine hewan, penyakit kulit, dan bahkan flu burung. Sementara, awal musim kemarau meningkatkan risiko diare.
Mengingat setiap kejadian bencana dan krisis kesehatan akibat perubahan iklim dapat menimbulkan efek domino di bidang kehidupan lainnya, upaya untuk mengurangi risiko keduanya perlu mendapat perhatian lebih.
Pencegahan dan mitigasi dampak perlu sinergi berbagai institusi
Kami menganalisis biaya kesehatan akibat perubahan iklim untuk menunjukkan seberapa mahal dampak perubahan iklim di masa depan, utamanya pada sektor kesehatan.
Harapannya, penelitian kami dapat memberikan materi advokasi bagi pembuat keputusan untuk mencegah atau mengurangi dampak kesehatan akibat iklim ekstrem. Estimasi kerugian ekonomi juga dapat membantu masyarakat menilai apakah investasi dalam tindakan adaptasi iklim mencapai manfaat yang diinginkan.
Pemerintah telah menyusun kebijakan dan peraturan di bidang kesehatan yang mendukung pelaksanaan rencana adaptasi perubahan iklim di bidang kesehatan, mulai dari undang-undang hingga peraturan menteri. Di ranah Kementerian Kesehatan, misalnya, terdapat pedoman untuk menetapkan prioritas strategi adaptasi perubahan iklim dan mandat yang mempertimbangkan faktor-faktor yang berkontribusi terhadap kerentanan dan risiko perubahan iklim terhadap kesehatan.
Perjuangan melawan penyakit akibat perubahan iklim bukanlah semata tanggung jawab Kementerian Kesehatan. Hasil penelitian kami menunjukkan perlunya koordinasi dan sinergi dari berbagai institusi, seperti BNPB, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional, Kementerian dalam Negeri, Kementerian lingkungan Hidup dan Kehutanan, hingga Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).
Kami menawarkan empat rekomendasi.
Pertama, mengarusutamakan pengurangan risiko bencana. Hal ini misalnya dengan turut mengintegrasikan pencegahan dan mitigasi bencana dalam rencana pembangunan.
Kedua, mengidentifikasi dan mengontrol faktor kerentanan dan risiko kesehatan publik dan lingkungan. Contohnya adalah dengan menerapkan riset dan pegembangan epidemiologi klinis atau ilmu mengenai penyebaran penyakit.
Ketiga, meningkatkan sistem respons keadaan darurat terkait dengan bahaya perubahan iklim. Pemerintah perlu memperkuat manajemen krisis kesehatan dan terus mengawasi serta mengumpulkan data terkait gejala penyakit yang disebabkan perubahan iklim. Selain itu, pemerintah juga harus memastikan bahwa masyarakat menerima informasi mengenai pecahnya wabah yang diakibatkan perubahan iklim.
Terakhir, memperkuat undang-undang, peraturan, dan kapasitas institusi baik pusat maupun regional dalam menghadapi risiko kesehatan publik akibat perubahan iklim.
Pemerintah perlu menyiapkan produk legal untuk terkait strategi adaptasi perubahan iklim di sektor kesehatan serta norma dan standar perumahan dan sanitasi. Penguatan institusi, koordinasi pusat-daerah, serta membangun kerja sama dan jaringan juga penting untuk dilakukan. Pemerintah juga perlu menyusun rencana aksi dan peta jalan adaptasi perubahan iklim di bidang kesehatan, berdasarkan zonasi strategis hasil kajian risiko perubahan iklim hingga tahun 2050 di kabupaten dan kota.
Perdinan, Assistan Professor at Department of Geophysics and Meteorology, IPB University dan Syafararisa Dian Pratiwi, Survey and Community Empowerment Specialist, PIAREA Institute
Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.