Artikel ini ditulis oleh Annisa Nurul Ummah, Badan Pusat Statistik, yang tayang sebelumnya di The Conversation
Satu dari empat anak Indonesia mengalami masalah gizi buruk berlarut-larut sehingga pertumbuhan tinggi badannya di bawah rata-rata (stunting).
Angka itu merupakan hasil Studi Status Gizi Indonesia (SSGI) Kementerian Kesehatan terbaru yang menyatakan angka stunting tahun 2021 masih tinggi, 24,4 %. Angka ini memang menurun 3,3 % dibandingkan studi serupa pada 2019, tapi masih jauh dari target pemerintah yang ditetapkan 14 % pada 2024.
Stunting masih menjadi masalah serius karena tidak hanya berdampak terhadap perkembangan motorik dan verbal anak, tapi meningkatkan risiko penyakit degeneratif dan kejadian kesakitan.
Stunting dapat juga mengakibatkan pertumbuhan dan perkembangan sel-sel neuron terhambat sehingga anak berisiko mengalami 7% penurunan perkembangan kognitif
Dengan target yang cukup tinggi, penurunan 3-3,5 persen prevalensi stunting per tahun, Indonesia butuh suatu loncatan inovasi mengingat rata-rata penurunan stunting per tahun di Indonesia hanya 2,0 % (2013-2021).
Kebijakan pemerintah atasi stunting
Di tengah upaya pemulihan ekonomi pasca pandemi COVID-19, pemerintah memang tetap berkomitmen untuk mengatasi masalah stunting.
Untuk mempercepat penurunan angka stunting, pemerintah telah meluncurkan Strategi Nasional (STRANAS) Percepatan Pencegahan Anak Kerdil (Stunting) pada 2018. Strategi tersebut menjadi panduan untuk mendorong terjadinya kerja sama antarlembaga untuk memastikan konvergensi seluruh program terkait pencegahan anak kerdil (stunting) untuk periode 2018 hingga 2024.
Di level regulasi, untuk menguatkan intervensi dan kelembagaan yang bertanggung jawab dalam mempercepat penurunan stunting, pemerintah mengeluarkan Peraturan Presiden No. 72 Tahun 2021 tentang Percepatan Penurunan Stunting. Tim penurunan stunting melibatkan Wakil Presiden sebagai Ketua Pengarah, didampingi Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan. Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) ditunjuk jadi Ketua Pelaksana.
Sebenarnya, hampir sebagian besar provinsi telah menunjukkan penurunan angka stunting. Kendati demikian, masih terdapat 6 provinsi yang menunjukkan kenaikan prevalensi stunting, yakni Papua, Kalimantan Utara, Papua Barat, Banten, Jambi, dan Kepulauan Riau.
Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN), pemerintah telah menetapkan target prevalensi stunting hingga 14 % pada 2024. Target ini diharapkan tercapai agar bonus demografi Indonesia pada 2030 bisa dimanfaatkan secara optimal dengan lahirnya generasi yang produktif.
Kondisi saat ini, masih terdapat 27 provinsi yang memiliki masalah gizi yang bersifat akut-kronis (prevalensi status gizi stunted ≥ 20 % dan wasted ≥ 5 %).
Kondisi stunted atau stunting merupakan masalah kurang gizi kronis yang disebabkan oleh kurangnya asupan gizi dalam waktu yang cukup lama. Ini mengakibatkan gangguan pertumbuhan pada anak yakni tinggi badan anak lebih rendah atau pendek (kerdil) dari standar usianya.
Sementara wasted atau wasting adalah kondisi ketika seorang anak memiliki berat badan rendah tidak sesuai dengan tinggi badan yang seharusnya.
Perlu fokus pada indikator kunci
Jika melihat determinan masalah gizi pada Riset Kesehatan Dasar 2018 dibandingkan dengan SSGI 2021, masih terdapat beberapa indikator yang perlu mendapat perhatian lebih.
Contohnya, persentase ibu yang melahirkan anak lahir hidup dalam dua tahun terakhir dan anak lahir yang mendapatkan inisiasi menyusu dini (IMD) kurang dari satu jam setelah dilahirkan mengalami penurunan dari 58,2 % pada 2018 menjadi 48,6 % pada 2021.
Padahal, IMD merupakan menjadi langkah awal dan vital untuk keberhasilan proses menyusui secara eksklusif. Saat IMD dilakukan, terjadi sentuhan kulit ke kulit yang sangat bermanfaat karena bayi mendapatkan bakteri baik dari kulit ibu yang berguna untuk kekebalannya.
Selain itu, persentase anak lahir hidup dengan berat badan lahir rendah (BBLR) juga meningkat dari 6,2 % menjadi 6,6 %. Kejadian BBLR terkait erat dengan stunting dan menjadi indikator kinerja untuk mengukur capaian dampak jangka menengah dalam upaya pencegahan stunting.
Meski demikian, beberapa determinan masalah gizi dalam Survei Sosial Ekonomi Nasional tercatat sudah meningkat meski masih berkisar 1-2% (2020 dibanding 2021).
Indikator yang meningkat adalah persentase bayi berusia kurang dari 6 bulan yang mendapatkan ASI eksklusif dan persentase perempuan berusia 15-49 tahun yang melahirkan di fasilitas kesehatan.
Tugas pemimpin
Strategi Nasional Percepatan Penurunan Stunting dari pemerintah pusat berfokus pada lima pilar yang mengutamakan komitmen, visi, dan komunikasi dari kementerian/lembaga, pemerintah provinsi, pemerintah daerah kabupaten/kota dan pemerintah desa; meningkatkan intervensi spesifik dan intervensi sensitif; serta memanfaatkan data, riset dan inovasi.
Masalahnya, program ini berpeluang tajam di hilir namun tumpul di hulu. Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian mengatakan bahwa banyak intervensi gizi untuk penurunan stunting di daerah yang belum terintegrasi dan konvergen.
Untuk menjawab tantangan tersebut, pemerintah perlu memperhatikan beberapa hal.
Pertama, menguatkan perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi yang jelas, berjenjang, dan periodik. Di level provinsi, kabupaten dan kota, Organisasi Perangkat Daerah (OPD) harus melakukan rapat koordinasi agar kegiatan dari perencanaan sampai pelaksanaan di level tingkat desa dapat dilaksanakan tepat sasaran.
Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Daerah (BKKBD) sebagai pelaksana pada level daerah dan bupati dan walikota merupakan pemegang peran kunci.
Pemerintah daerah perlu melibatkan kader, bidan, dan Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga (PKK) dalam koordinasi ini. Ada 1,2 juta kader di lapangan yang bisa dikerahkan untuk mendampingi keluarga yang yang disasar program anti-stunting.
Karena ada keterlibatan banyak pihak, evaluasi dan pengawasan yang terstruktur dan periodik harus dilakukan. Misalnya setiap 3 atau 6 bulan secara berjenjang oleh BKKBD, bupati, wali kota dan pejabat pada level kabupaten dan kota.
Kedua, memastikan bahwa semua pihak memahami langkah spesifik yang harus dilakukan.
Para kader terpilih yang bersinggungan langsung dengan keluarga sasaran harus mendapatkan informasi yang tepat. Pelatihan khusus dapat diadakan dan para kader harus memenuhi standar tes tertentu. Harapannya, para kader memiliki pengetahuan yang tepat yang bisa disampaikan kembali kepada masyarakat.
Selain itu, dengan luasnya informasi tentang kesehatan ibu dan anak, pelatihan secara berkala perlu dilakukan agar para kader memahami perkembangan informasi terbaru sekaligus mempertajam pemahamannya.
Ketiga, aparat desa harus memahami petunjuk teknis dan berbagi pengalaman terbaik seputar penggunaan Dana Desa.
Peraturan Presiden No. 72 tahun 2021 tetang Percepatan Penurunan Stunting memberikan mandat pemerintah desa untuk mempercepat penurunan stunting di tingkat desa.
Dengan sekitar 80.000 desa dan kelurahan di Indonesia, harus ada penjelasan secara detail tentang pelaksanaan penggunaan dana desa untuk mengurangi angka stunting.
Seluruh aparat desa perlu memahami tahapan yang harus dilakukan hingga ke petunjuk teknis dan contoh praktik terbaik dari desa yang berhasil menurunkan angka stunting. Jika itu diimplementasikan, pengurangan stunting mungkin akan signifikan.
Annisa Nurul Ummah, Statistisi Ahli Pertama, Badan Pusat Statistik
Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.