Penulis: Adhityo Nugraha Barsei, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN)
Pembatasan mobilitas akibat pandemi COVID-19 membuat masyarakat jengah dan rindu berwisata. Namun, terlepas dari dampak positif pada perekonomian, pemerintah perlu waspada dengan keinginan masyarakat untuk ‘wisata balas dendam’ (revenge tourism) akibat lama terkungkung di rumah. Hal ini mengingat potensi penyebaran virus yang masih terjadi hingga kini.
Istilah revenge tourism atau revenge travel tengah populer di dunia. Revenge tourism, yang secara harfiah berarti ‘perjalanan wisata balas dendam’, muncul sebagai dampak COVID-19 yang membatasi kebiasaan melancong masyarakat. Fenomena ini ditandai dengan meningkatnya aktivitas masyarakat yang secara beramai–ramai datang mengunjungi sejumlah destinasi wisata yang sudah diizinkan beroperasi.
Hasil survey asosiasi penerbangan International Air Transportation Assosiation (IATA) tahun 2021 menunjukkan bahwa 60% wisatawan menganggap kebijakan pembatasan perjalanan udara berlangsung terlalu lama. Sekitar 75% wisatawan berpendapat bahwa mereka merasakan tertekan akibat kebijakan pembatasan perjalanan ini.
Artinya, pariwisata sudah menjadi kebutuhan masyarakat, terutama sejak adanya pandemi. Masyarakat memiliki keinginan menggebu-gebu untuk berwisata dan menghilangkan stres setelah hampir tiga tahun kelelahan melawan pandemi dengan mengurung diri di rumah.
Pemulihan COVID-19 memakan waktu yang lama dengan tingkat ketidakpastian yang tinggi. Oleh sebab itu, pembatasan perjalanan internasional dianggap bukan lagi menjadi solusi terbaik mengingat dampaknya pada perekonomian. Melonggarnya pembatasan perjalanan di dunia memberi ruang bagi pemerintah negara-negara untuk memperkenalkan berbagai kebijakan demi mendorong pemulihan sektor pariwisata.
Namun, kebijakan–kebijakan tersebut masih belum mampu menjawab kebutuhan masyarakat berwisata. Dampaknya, terdapat potensi melonjaknya perjalanan wisata dalam bentuk revenge tourism yang dapat memicu penyebaran virus.
Pemerintah Indonesia perlu mengantisipasi hal ini.
Potensi revenge tourism di Indonesia
Terdapat tiga hal yang dapat memicu terjadinya revenge tourism di Indonesia.
Pertama, pada 23 maret 2022, pemerintah menetapkan kebijakan bebas karantina bagi warga negara Indonesia dan warga negara asing yang tiba dari luar negeri. Bebas karantina ini mulai berdampak terhadap peningkatan kedatangan penumpang dari luar negeri terutama di Bandara Soekarno–Hatta, Tangerang.
Kedua, libur Idul Fitri – yang pada tahun 2022 berlangsung pada tanggal 3-4 Mei – memancing animo masyarakat yang tinggi untuk menjalankan tradisi mudik atau pulang kampung. Sebabnya, menurunnya kasus COVID-19 di Indonesia membuat orang merasa aman untuk bepergian. Diperkirakan, jumlah pemudik tahun ini mencapai 85 juta orang.
Ketiga, tahun ini pemerintah menetapkan cuti bersama Idul Fitri mulai 29 April – 6 Mei 2022. Hal ini berbeda dibandingkan tahun sebelumnya ketika pemudik hanya diberikan satu hari untuk berpergian. Sementara, pada tahun 2020, pemerintah memberlakukan larangan mudik untuk mencegah laju penyebaran COVID-19.
Ketiga hal tesebut dapat mendorong lonjakan revenge tourism di Indonesia, baik internasional melalui kebijakan bebas karantina maupun domestik melalui momen lebaran dan cuti bersama.
Hal ini dapat memicu penyebaran virus. Kenaikan kasus COVID-19, meningkatnya jumlah kematian, dan penuhnya ruang isolasi dan rumah sakit justru akan semakin memperburuk perekonomian Indonesia. Potensi munculnya gelombang ketiga bukan tidak mungkin menjadi dampak terburuk dari adanya revenge tourism di Indonesia.
Pada gelombang kedua pandemi yang terjadi pasca-libur Idul Fitri tahun 2021, Indonesia bak dilanda ‘Tsunami COVID-19’. Masuknya varian delta yang mengiringi gelombang kedua menjadi mimpi buruk bagi semua orang. Tidak sedikit masyarakat yang harus kehilangan kerabat dan keluarganya selama gelombang kedua terjadi.
Revenge tourism di beberapa negara
Revenge tourism memang dapat memberikan beberapa dampak positif terutama dari aspek ekonomi, apalagi bagi daerah yang perekonomian penduduknya bergantung pada pariwisata.
Sebagai contoh, tingginya kunjungan wisata domestik dan internasional ke Pulau Langkawi, Malaysia, pada akhir tahun 2021 memberikan dampak perekonomian terhadap 90% penduduk Langkawi. Revenge tourism di daerah tersebut mampu meningkatkan okupansi hotel hingga 40% pada hari kerja dan 90% pada akhir pekan.
Sayangnya, beberapa negara yang mengalami revenge tourism harus berhadapan dengan meroketnya kasus COVID-19.
Di India, revenge tourism di Kota Manali membuat ribuan wisatawan berkunjung ke kota tersebut dan menyebabkan melonjaknya kasus kematian, penuhnya rumah sakit, dan munculnya gelombang ketiga pandemi di sana.
Sementara, Cina kembali memberlakukan lockdown atau kuncitara dan tes massal. Hal ini merupakan imbas dari seruan pemerintah Cina untuk melakukan revenge tourism sebagai demi mendukung pemulihan perekonomian melalui pariwisata di akhir tahun 2020 lalu.
Di Prancis, pemerintah juga kembali memberlakukan lockdown untuk ketiga kalinya. Penurunan kasus COVID-19 membuat wisatawan berlibur ke berbagai tempat dan mengabaikan protokol kesehatan, dan menjadi biang keladi di balik meningkatnya penyebaran virus di negara tersebut.
Bukan tidak mungkin hal ini turut terjadi di Indonesia.
Pemerintah perlu antisipasi
Industri pariwisata adalah salah satu sektor ekonomi yang paling terdampak akibat kebijakan pembatasan perjalanan domestik dan internasional selama pandemi. Indonesia kehilangan 74,84% atau sekitar 12,06 juta kunjungan wisatawan mancanegara sepanjang tahun 2020. Hal ini berimbas pada turunnya kontribusi sektor pariwisata terhadap pendapatan domestik bruto (PBD) Indonesia, dari 4,7% pada 2019 menjadi 4,05% pada 2020.
Di balik dampak ekonomi yang dihasilkan dari fenomena revenge tourism ini, peningkatan jumlah kasus dan munculnya gelombang COVID-19 baru membayangi negara-negara di dunia.
Pemerintah Indonesia harus segera menentukan berbagai skenario pencegahan lonjakan yang terjadi sebagai potensi adanya fenomena revenge tourism, terutama di daerah destinasi pariwisata. Wisata bahari, wisata panorama alam, dan wisata kuliner merupakan jenis wisata yang paling diminati oleh masyarakat. Pemerintah harus mengantisipasi lonjakan kunjungan dan keramaian di tempat-tempat tersebut.
Pemerintah dapat melakukan peningkatan cakupan vaksin, pembatasan jumlah kunjungan, penerapan protokol kesehatan, pemeriksaan massal, serta menjamin ketersediaan ruang isolasi dan rumah sakit dapat menjadi salah satu solusi. Selain itu, pengelola pariwisata juga dapat bersinergi dalam menerapkan protokol kesehatan serta fasilitas yang mendukung pencegahan meningkatnya COVID-19.
Adhityo Nugraha Barsei, Peneliti, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN)
Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.