Penulis: Ardiantiono, University of Kent dan Irene Margareth Romaria Pinondang, University of Kent
Baru-baru ini ramai berita kematian tiga ekor harimau terjerat di Aceh . Kasus ini menarik perhatian publik, hingga ramai pernyataan seorang Youtuber yang menyatakan bahwa hutan sedang tidak baik-baik saja. Sebenarnya, bagaimana kondisi satwa liar kita di alam?
Negeri kita menempati peringkat pertama dunia untuk keanekaragaman spesies endemik, dan peringkat kedua untuk keanekaragaman spesies setelah Brasil. Indonesia menjadi rumah bagi 10% spesies vertebrata dunia: 13% mamalia, 16% burung, 7% reptil, 6% amfibi, dan 9% ikan air tawar .
Namun, Indonesia dan negara-negara Asia Tenggara acap kali diidentifikasi sebagai pusat terjadinya penurunan populasi atau kepunahan satwa. Fenomena tersebut dikenal sebagai defaunation atau defaunasi.
Argumen ini dilatari oleh beragam faktor. Konversi hutan primer (hutan alami) di Indonesia merupakan yang terbesar di Asia Tenggara. Sebanyak 9,79 juta hektare hutan hilang antara 2001-2019.
Negara ini juga menjadi pusat perdagangan satwa liar dengan estimasi kerugian mencapai US$ 600 juta tiap tahunnya.
Kendati begitu, pengukuran defaunasi di Indonesia bukanlah hal yang sederhana karena informasi populasi seperti distribusi dan kelimpahan satwa amat terbatas. Indonesia juga tidak memiliki basis data populasi untuk seluruh satwa di tanah air, tren populasinya, dan seberapa besar dampak tekanan yang ada terhadap satwa.
Sudah terbatas, timpang pula
Kami mengulas lebih dari 300 publikasi ilmiah dengan topik populasi kelompok mamalia darat yang berukuran sedang dan besar (berat badan >1 kg), mulai dari musang hingga gajah.
Hasilnya (yang belum dipublikasi karena masih dalam tahap penulisan), kami mendapati informasi populasi satwa liar di Indonesia secara umum masih diambil dari area yang terbatas dan di satu titik waktu. Misalnya, estimasi populasi simpai (langur) (Presbytis melalophos) di kawasan Geopark Mengkarang Purba, Jambi, hanya berbasiskan data yang dikumpulkan selama sekitar tiga bulan dari survei di tepi sungai. Luasan area surveinya pun hanya 0,48% dari total kawasan.
Contoh lainnya, penelitian estimasi populasi lutung jawa (Trachypithecus auratus) di Hutan Raya R. Soerjo hanya berdasarkan survei di kawasan wisata.
Padahal, guna mengetahui tren populasi satwa, Indonesia membutuhkan penelitian yang dilakukan secara berkala di area survei yang mewakili habitat (atau titik-titik populasi) satwa di suatu kawasan tertentu. Survei sebaran harimau sumatra dapat menjadi contoh. Penelitian ini dilakukan dari Aceh hingga Lampung pada 2007-2009. Survei kemudian diulang pada 10 tahun kemudian.
Riset juga semestinya didesain untuk pemantauan populasi jangka panjang agar informasi yang diperoleh lebih akurat, khususnya untuk melihat bagaimana satwa merespons tekanan ancaman. Sejauh ini, tidak banyak kajian di Indonesia yang dilakukan dengan desain jangka panjang.
Studi mamalia di Amazon yang dilakukan selama tujuh tahun dapat menjadi contoh. Riset ini dilakukan tim peneliti dari Towson University, Amerika Serikat, di berbagai titik habitat di Taman Nasional Manu, Peru.
Selain data yang terbatas, ada juga kesenjangan publikasi berdasarkan kepopuleran satwa dan distribusi regionalnya. Spesies yang dianggap karismatik—umumnya satwa besar seperti gajah dan harimau— atau yang sering berinteraksi dengan manusia seperti monyet ekor panjang, dan berada di Indonesia bagian barat lebih banyak dikaji dalam publikasi.
Sebaliknya, informasi populasi mamalia yang berada di bagian tengah dan timur Indonesia masih terbatas. Misalnya, tidak ada satupun publikasi mengenai populasi tiga spesies landak semut atau ekidna: Tachyglossus aculeatus, Zaglossus attenboroughi, dan Zaglossus bartoni. Padahal, sebagian spesies ini merupakan satwa endemik pulau Papua.
Contoh lainnya adalah kuskus talaud, satwa asli Kepulauan Sangihe dan Kepulauan Talaud, Sulawesi Utara, yang berstatus kritis. Satwa ini hanya tercatat di satu publikasi yang memuat informasi kepadatan dan sebarannya.
Informasi status dan tren populasi satwa perlu terus digali dengan metode ilmiah yang kuat, khususnya untuk satwa terancam yang kurang mendapatkan perhatian.
Riset populasi satwa perlu diperbanyak
Defaunasi dapat mempengaruhi struktur ekosistem di alam dan mengganggu jasa ekosistem (manfaat alam kepada manusia), yang berdampak negatif pada kehidupan manusia. Misalnya, hilangnya mamalia pemakan buah dapat menghambat regenerasi hutan sehingga turut berkontribusi pada perubahan iklim.
Contoh lainnya adalah, peningkatan drastis populasi satwa generalis (yang mampu beradaptasi di berbagai tempat) seperti tikus dan babi karena kepunahan predator alami dikaitkan dengan penyebaran penyakit zoonosis (penyakit manusia yang berawal dari satwa) dan kerusakan hasil pertanian.
Untuk menghadapi risiko tersebut, pemerintah dapat memperkuat upaya konservasi dengan data satwa yang memadai di seluruh kawasan. Kerja sama perlu dibangun lebih erat dengan akademisi, pegiat konservasi, dan masyarakat setempat untuk memperkuat basis data satwa di Indonesia.
Riset ini diperlukan untuk mengetahui apa saja ancaman bagi populasi satwa di tanah air, ataupun melihat satwa yang paling terancam. Data yang kuat juga dibutuhkan agar upaya konservasi tepat sasaran, demi memperlambat dan menghentikan laju kepunahan satwa.
Sebenarnya, tidak sedikit cerita sukses konservasi satwa liar yang dapat menjadi inspirasi dan pembelajaran. Misalnya, kondisi populasi Komodo yang stabil karena perlindungan masif di Taman Nasional Komodo.
Aksi konservasi eks-situ (di luar habitat aslinya) juga berhasil meningkatkan jumlah populasi spesies satwa yang sudah amat terancam di alam. Sebagai contoh, kelahiran anak badak di Suaka Rhino Sumatera, Lampung.
Keberhasilan tindakan tersebut masih dapat diperluas seiring dengan data satwa yang semakin memadai. Harapannya, upaya konservasi tak berkutat pada spesies karismatik saja, tapi juga satwa-satwa lainnya guna menjaga keanekaragaman hayati Indonesia.
Ardiantiono, PhD Student, University of Kent dan Irene Margareth Romaria Pinondang, Mahasiswa doktoral, University of Kent
Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.