KENDARAAN mulai melaju dengan cepat setelah sebelumnya hujan badai melanda sebagian wilayah Kota Kotamobagu. Amukan angin tidak lagi terasa, namun hujan tampak benar-benar belum reda. Rintiknya membuat kota terasa syahdu.
Di samping kiri-kanan jalan, warga mulai mendatangi kantin-kantin Ramadan berburu takjil, tak peduli hawa yang terasa dingin. Namun suasana terasa tetap hangat saat bulan puasa pada April 2022. Sebuah harmonisasi kehidupan terbentuk dari semangat kebersamaan. Semangat yang sama menjangkiti Erna Bahansubu (39).
Gerimis tidak menghalangi senyum Erna merekah. Dengan ramah warga Kelurahan Motoboi Besar ini menunjuk lokasi rumah dinas mubalig Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) Cabang Kota Kotamobagu.
Erna tidak keberatan dancanggung meski dirinya bukan jemaat Ahmadiyah. Sejak lama Erna dan warga Kelurahan Motoboi Besar lainnya telah hidup berdampingan, harmonis dan rukun tanpa ada gesekan.
“Kami hidup biasa saja. Sama seperti orang-orang lain. Apalagi di sini kami semua bersaudara, tidak ada masalah,” aku Erna kepada Zonautara.com, Selasa, (12/4/2022).
Hidup bersinggungan dengan penganut jemaat Ahmadiyah sudah terjadi jauh sebelum Erna lahir. Selama itu, Erna mengaku tidak pernah mendengar ada tindakan represi yang dilakukan terhadap jemaat Ahmadiyah di Motoboi Besar.
“Orangtua juga tidak pernah cerita kalau ada tindakan berlebih, atau apalah. Kalau yang saya tahu dari berita-berita justru di luar (daerah) banyak yang mengalami (tindakan kekerasan) seperti itu. Kalau di sini aman-aman saja sih. Kami hidup saling menghargai dan menghormati,” kata Erna.
Kerukunan dalam keberagaman ini juga menjadi alasan kuat bagi Ata’ul Islam, Mubalig JAI Cabang Kotamobagu bisa bernapas lega saat pertama kali tahu dirinya ditempatkan di Kotamobagu. Ata’ul adalah mubalig yang berasal dari Desa Manislor, Kuningan, Jawa Barat.
“Saat saya pertama kali tahu ditempatkan di sini (Kotamobagu), saya riset dulu. Dan satu yang membuat saya tenang sebelum berangkat ke sini adalah, karena saya baca soal bagaimana toleransi sangat baik terbina di Sulawesi Utara (Sulut), termasuk juga nilai-nilai kemanusian yang dilekatkan oleh tokoh seperti Sam Ratulangi melalui semboyan sitou timou tumou tou, soal memanusiakan manusia.” kata Ata’ul, yang ditemui Zonautara.com di hari yang sama.
Meski demikian, Ata’ul tidak menampik bahwa ia tetap memiliki rasa was-was, mengingat apa yang dialami penganut Ahmadiyah di daerah lain.
“Sebagai orang awam, tentu ada rasa takut, tapi selalu ada motivasi dan dorongan dari pimpinan untuk melakukan rabtah. Sebab menurut saya rabtah adalah kunci agar kita bisa hidup dalam masyarakat. Apalagi Saya mau bilang bahwa di Sulut khususnya di Kotamobagu, Ahmadiyah hidup secara inklusif, agak berbeda dengan dengan tempat lain,” ujarnya.
Keselarasan hidup masyarakat Motoboi Besar bukan terjadi begitu saja. Semuanya tidak lepas dari peran berbagai pihak termasuk pemerintah kelurahan yang terbuka dalam memandang dan memperlakukan sama semua warganya, baik penganut Ahmadiyah maupun yang bukan.
“Pemerintah kelurahan, pak Lurah dan perangkat seperti ketua Lembaga Pemberdayaan Masyarakat (LPM) juga sangat terbuka dan baik dengan kami. Bahkan sering melakukan silaturahmi dengan kami di masjid,” ujar Ata’ul.
Mubalig Jemaat Ahmadiyah Indonesia Cabang Kotamobagu, Ata’ul Islam. (Foto: Neno Karlina Paputungan)
Tak hanya itu, komunikasi Ahmadiyah dengan kelompok lain, seperti Gusdurian dan Nasrani di Kotamobagu diupayakan terus terjalin guna merawat keharmonisan hidup bersama.
“Saat hari kedua puasa, pihak Polres datang meninjau, dari Kodim juga. Ada kunjungan dari GP Ansor, Gusdurian. Dan kalau dari pihak kami, saya sendiri juga berupaya membangun hubungan, sempat ikut acara paskah di Gereja Tumobui,” kata Ata’ul.
“Alhamdulilah, kami jalin hubungan seperti itu. Bahkan mungkin itu kunjungan pertama jemaat Ahmadiyah, padahal pada saat itu lagi heboh ada gereja di Jawa yang diserang. Tapi saya tetap berkunjung dan mengaku bahwa saya jemaat Ahmadiyah. Mereka menjemput dengan baik,” kenang Ata’ul sambil tersenyum.
Kekerabatan yang kuat
Didiami oleh 889 kepala keluarga, dengan 2.717 jiwa, Kelurahan Motoboi Besar Kecamatan Kotamobagu Timur, Kota Kotamobagu, Sulut, menjadi salah satu kelurahan yang istimewa karena berhasil menjaga kerukunan hidup masyarakatnya. Kelurahan ini menjadi tempat JAI Cabang Kotamobagu beraktifitas.
Sejak lama, di sini juga telah berdiri masjid Ahmadiyah. Masyarakat memiliki ikatan kekerabatan yang sangat kuat, yang menjadi faktor penting perekat persatuan warga, bagaimana warga bisa hidup saling menjaga.
Ikatan kekerabatan sangat kuat tersebut terlihat dari semangat saling melindungi terutama dari sisi fam (familienaam = marga; Belanda). Sesama pemilik fam akan saling menjaga apapun latar ekonomi dan keyakinan. Tak heran, ketika sempat menyeruak isu demo menentang Ahmadiyah, banyak warga yang bukan penganut Ahmadiyah di Motoboi Besar justru turut melindungi dan menjaga jemaat di sana.
“Salah satu buktinya adalah, ketika ada isu demo, orang-orang di sini yang bukan jemaat justru membela. Sebab mereka mengatakan anggota Ahmadiyah di sini masih ada ikatan keluarga, satu fam dengan mereka. Apalagi yang datang memprotes bukan orang asli di sini,” kata Ata’ul.
Hal serupa diungkap Lurah Motoboi Besar, Tendi A.Ponubu, saat ditemui Zonautara.com di kantornya, Kamis, (12/5/2022).
Tendi mengatakan bahwa keharmonisan dan kerukunan adalah buah dari kekerabatan yang terbangun pada masyarakatnya. Sehingga, warga akan mudah menerima perbedaan dan memandangnya sebagai hal yang lumrah. Seperti anggota dalam satu kasatuan keluarga yang di dalamnya terdapat bermacam-macam perbedaan. Masyarakat Motoboi Besar sudah saling menjaga sejak lama.
“Nah yang menarik di sini adalah, karena biasanya dalam satu rumah, misal ada 5 jiwa, 3 orang adalah jemaat dan 2 orang bukan. Jadi kalau terjadi gesekan di luar, dan ada tindakan represi maka yang bukan jemaat pun akan membela, sebab mereka dalam rumpun keluarga,” jelas Tendi.
Sejarah kehadiran Ahmadiyah di Motoboi Besar
Ahmadiyah pertama kali dikenalkan oleh Sadrudin Yahya Pontoh atau yang lebih dikenal dengan sebutan Abo’ Yan sekitar tahun 1940. Abo’ Yan adalah seorang diplomat Indonesia yang pernah bertugas di India dan menetap di Jakarta. Abo’ Yan berasal dari Bolaang Mongondow Utara, menikah dengan Bua’ Moleng Mokoginta Manoppo, perempuan dari Motoboi Besar.
Menurut Ketua JAI Cabang Kotamobagu, Safrianto Payu (45), sewaktu di Jakarta Abo’ Yan bertemu dengan Mubalig Ahmadiyah yang pertama diutus ke Indonesia, Maulana Rahmat Ali. Di situlah Abo’ Yan pertama kali mengenal Ahmadiyah.
”Kemudian beliau dibaiat dan bergabung menjadi jemaat Ahmadiyah, lalu mencetuskan bagaimana bisa mengutus mubalig ke kampungnya di Motoboi Besar. Akhirnya diutuslah Maulana Abdul Wahid. Beliau adalah Mubalig Ahmadiyah Indonesia yang pertama,” ujar Safrianto.
Sekitar tahun 1952, Safrudin mengisahkan, Maulana Abdul Wahid diutus ke Motoboi Besar untuk memperkenalkan Ahmadiyah dengan bantuan Abo’ Yan. Dia menetap di Motoboi Besar selama enam bulan. Sejak saat itulah Jemaat Ahmadiyah Cabang Motoboi Besar terbentuk, dan berbadan hukum pada tahun 1953.
Safrudin menjelaskan, pada tahun 1949 keluarga besar Pontoh-Manoppo (Abo’ Yan) mewakafkan tanah untuk pembangunan masjid. Kelak masjid tersebut diberi nama Masjid Mubarak yang selesai dibangun pada 1952, serta direnovasi pada 2005.
“Nama masjid adalah Masjid Mubarak tapi justru oleh warga lebih dikenal dengan masjid Ahmadiyah,” jelas Safrudin.
Kehadiran Ahmadiyah di Kotamobagu menurut Safrudin selalu taat dengan kebijakan pemerintah kelurahan.
“Jadi hubungan atau interaksi kami di sini sangat baik dengan pemerintah. Walau terkadang ada segelintir orang yang kritis. Dari dahulu sampai sekarang tidak ada pertentangan dengan pemerintah kelurahan, selalu ada kerjasama. Secara garis besar pemerintah di sini luar biasa baiknya,” ungkap Safrudin.
Peran pemerintah
Pemerintah Kelurahan Motoboi Besar sangat aktif dan terbuka dalam melayani warga. Dalam praktek kehidupan bermasyarakat, pemerintah kelurahan memberi kesempatan yang sama kepada warganya. Tak heran jika salah satu anggota Jemaat Ahmadiyah menjadi perangkat kelurahan, Yuliana Tayeb (42).
Meski menjadi kelompok minoritas tak menghalangi Yuliana terpilih menjadi ketua rukun tetangga (RT). Yuliana adalah Ketua Lajna Imaillah JAI Cabang Kotamobagu.
“Terpilihnya saya sebagai ketua RT adalah bukti bahwa Ahmadiyah berbaur, dan warga yang bukan jemaat pun tidak mempersoalkan. Semua saling menghargai. Keseharian kami biasa saja. Barangkali ada dalam hati mereka terbesit dan tahu bahwa kami Ahmadiyah, tapi kalau untuk mengungkapkan dan mengatakan hal-hal yang menyinggung, tidak pernah. Sebab kami berbaur dengan baik,” ungkap Yuliana.
Yuliana mengaku dalam menjalankan tugasnya sebagai Ketua RT, dirinya berusaha menerapkan nilai-nilai sebagai seorang Ahmadi.
“Pada dasarnya sama saja, bagaimana nilai kebaikan itu diterapkan. Sifat-sifat seorang Ahmadi seperti apa. Tidak korupsi, tidak diskriminasi, kalau ada bantuan sosial misalnya, tidak pandang bulu tapi benar-benar melihat orang yang membutuhkan,” jelas Yuliana.
Sementara itu, Lurah Motoboi Besar Tendi A. Ponubu mengatakan, sebagai bagian dari pemerintah, dirinya berupaya memperlakukan semua warganya sama, baik yang Ahmadi atau bukan. Apalagi, menurutnya, selama ini Ahmadi sangat taat terhadap pemerintah.
Tak hanya itu, Tendi mengungkapkan keharmonisan ini tercipta berkat keterlibatan banyak pihak, tidak hanya pemerintah kelurahan di Motoboi Besar.
“Semua pihak, baik pemerintah, tokoh agama, tokoh masyarakat dan semua warga baik yang Ahmadi atau bukan, sama-sama bekerjasama saling menjaga, demi terjalinnya kerukunan hidup yang harmonis di sini,” ungkap Tendi.
Kekeluargaan
Sejauh yang diyakini Tendi, sebagai Lurah dirinya tidak boleh diskriminatif. Tendi sempat mengisahkan bahwa sebelum dirinya menjabat, oleh seorang tetua kampung, ia mendapat petuah agar senantiasa eling sebagai pemimpin.
Kurang lebih 200 kepala keluarga atau sekitar 300 jiwa jemaat Ahmadi yang ada di Motoboi Besar bisa hidup aman tanpa ada tindakan represi seperti yang kerap dialami jemaat Ahmadi di luar daerah. Tendi hanya khawatir jika ada isu dari luar yang dapat merusak kerukunan hidup di Motoboi Besar.
“Sehingga itu kami terus berkoordinasi dengan pihak aparat untuk mengantisipasi hal-hal yang berpotensi menganggu keharmonisan yang sudah terbangun selama ini,” kata Tendi.
Apa yang menjadi kekhawatiran Tendi, sebenarnya adalah kekhawatiran bersama jemaat Ahmadiyah itu sendiri.
Ketua JAI Cabang Kotamobagu, Safrianto Payu. (Foto: Neno Karlina Paputungan)
Menjadi jemaat Ahmadiyah sedari lahir, membuat Rahman Lukman Baaman (59), harus mencari tahu dan belajar keras tentang Ahmadiyah. Sebab, tak mudah baginya memiliki seorang ayah yang merupakan tokoh Ahmadiyah dan mendengar banyak pihak yang mempersoalkan Ahmadiyah. Rahman yang dulunya seorang pegawai bank ini, kerap kali ditempatkan di luar daerah.
“Segala suatu yang harus dipelajari, ada proses belajar, melihat Ahmadi seperti apa. Dan saya melihat sama saja. Meski ada perbedaan pandangan soal Imam Mahdi. Pada umumnya meyakini akan datang, sementara kami meyakini sudah datang. Itu saja,” jelas Rahman.
Rahman mengungkapkan tidak ada paksaan untuk harus ikut percaya atau menjadi Ahmadiyah, sebab bagi Rahman, menjadi Ahmadiyah adalah sebuah karunia. Bahkan, kepada anak-anaknya, Rahman hanya bisa menyarankan untuk terus belajar.
“Silahkan dipahami. Apa yang kami sampaikan silahkan dipelajari lebih jauh apakah benar atau seperti apa. Apalagi sekarang akses belajar sudah lebih bagus, banyak situs Ahmadiyah yang bisa dibuka,” jelas Rahman.
Menurut Rahman, selama ini semuanya baik-baik saja, hanya kerap kali banyak informasi yang salah tentang Ahmadiyah sudah terlanjur beredar.
“Teman saya banyak yang begitu. Banyak teman saya yang sudah paham meski bukan anggota jemaat, turut membantu memberi pemahaman kepada yang lainnya. Sehingga sebenarnya kami baik-baik saja. Karena kami terbuka, tidak ada yang ditutup-tutupi,” ujar Rahman.
Apa yang diungkapkan oleh Rahman, diiyakan oleh Ahmad Binangkal yang pernah menjabat sebagai sekretaris desa. Menurutnya, jika warga bisa menjunjung tinggi asas kekeluargaan, maka setiap perbedaan dapat diterima dan kehidupan bermasyarakat bisa terjaga meski ada dinamika.
“Di sini dalam satu rumah biasanya ada anggota keluarga yang jemaat ada yang tidak. Terjadi asimilasi, terjadi kawin mawin,” jelas Ahmad.
Salah satu dinding di Kantor Jemaat Ahmadiyah Cabang Kotamobagu. (Foto: Neno Karlina Paputungan)
Harapan bersama
Kekerabatan erat yang didasari semboyan leluhur Suku Mongondow: Mototompiaan, Mototabian bo Mototanoban yang berarti, saling memperbaiki, saling mengasihi dan saling mengingat harus terus dijaga. Dengan mata berbinar dan penuh semangat, Ahmad mengatakannya.
Ahmad berkeyakinan, sudah seharusnya seluruh warga Motoboi Besar dan semua orang Mongondow tetap teguh serta tidak lupa pada semboyan hidup.
“Kita adalah orang Mongondow, yang dari sisi tradisi harusnya sudah paham bagaimana menerapkan nilai-nilai motto leluhur, yang saya kira sangat mengandung kemaslahatan hidup dalam bermasyarakat,” kata Ahmad.
Komitmen untuk senantiasa menjaga kerukunan hidup juga menjadi keinginan besar Ketua JAI Cabang Kotamobagu, Safrianto Payu. Ikatan pertalian yang erat di Motoboi Besar diharapkannya mampu membuat warga tetap kuat dan tidak mudah terpecah belah. Terutama dalam merespon informasi keliru tentang Ahmadiyah, sehingga membuat masyarakat tidak nyaman dengan kehadiran Ahmadiyah, bisa diluruskan.
“Tapi kalau orang lain di luar kami yang paham, seperti media misalnya memberitakan yang benar secara terbuka maka akan lebih baik dan dipercaya dari pada kami yang menyampaikannya sendiri,” ujar Safrianto.
Bagi Safrianto, jika masyarakat mau menerima informasi dari Ahmadiyah secara terbuka, sudah lebih dari cukup untuk meluruskan eksistensi Ahmadiyah.
“Kami hanya mau bilang bahwa tidak ada yang salah dengan Ahmadiyah. Seharusnya Ahmadiyah punya hak yang sama terhadap hukum dan HAM, meski masih sering terjadi mis-informasi yang selama ini banyak merugikan pihak Ahmadiyah,” ujar Ahmad.
Apa yang selama ini membuat Ahmadiyah seperti tertutup adalah kekhawatiran atas pemahaman yang keliru. Meskipun JAI di Kotamobagu tidak mendapat resistensi, namun sebagai mubalig, Ata’ul Islam berharap Ahmadiyah bisa lebih terbuka.
“Selama ini kami berusaha terbuka, tapi yang terjadi di luar membuat kami harus tertutup. Karena fatwa-fatwalah, aturan-aturan yang walaupun tidak secara langsung tapi membuat kami tertutup. Padahal kami ingin ikut berbagi, berkontribusi di dalam masyarakat, apa yang bisa kami beri,” ungkap Ata’ul.
Menurutnya, penting untuk menerima perbedaan, karena di samping agama, ada hal yang tidak kalah jauh lebih penting yang bisa kita pegang yaitu kemanusiaan.
“Ada banyak hal yang bisa kita lakukan bersama, misalnya soal kesehatan, sosial dan lainnya ketimbang harus terus mempersoalkan perbedaan itu sendiri,” kata Ata’ul.
Lurah Motoboi Besar, Tendi A.Ponubu. (Foto: Neno Karlina Paputungan)
Sementara itu Lurah Motoboi Besar, Tendi A.Ponubu juga berharap, kerukunan dan keharmonisan di Motoboi Besar ini bisa terus terjaga. Sebab menurut Tendi, semua yang ada di Motoboi Besar umumnya, baik yang Ahmadi atau bukan adalah keluarga.
“Warga telah terikat dengan kekeluargaan. Saya berharap semangat kebersamaan tetap terjaga demi kelangsungan hidup yang lebih damai dan harmonis,” harap Tendi.
Hidup rukun dalam semangat kebersamaan telah menjadi harapan besar seluruh warga di Kotamobagu, khususnya di Motoboi Besar. Semangat yang membuat setiap warganya selalu hangat dan ramah, menjalani hidup dengan saling menghargai sebagaimana yang tercermin dari perlakuan Erna Bahansubu saat menunjukkan alamat mubalig JAI Cabang Kotamobau di sore usai badai hebat.
————
Editor: Ronny A. Buol