Artikel ini merupakan bagian kedua dari tiga tulisan tentang motayok dan bolian. Bagian pertama dapat dibaca di sini.
Ritual
Suara musik memecah keheningan malam, dengan pakaian adat Mongondow, perempuan yang disebut bolian itu terus menari. Gerakannya tidak ada yang tahu pasti, hanya saja aura magis kental terasa saat ritual itu dilakukan. Orang-orang percaya, di balik tubuh bolian, ada roh leluhur. Mereka menyebutnya duwata.
Duwata lah yang kini telah mengendalikan tubuh perempuan dengan selendang di tangan itu. Ia terus menari sejak berjam-jam yang lalu. Di sekitarnya, orang-orang khusuk seperti menonton sebuah pertunjukan.
Bukan tanpa persiapan, sejak siang hari sebelum ritual dilakukan, bolian sudah mulai bekerja. Sesajen dan beberapa syarat khusus seperti cengkih dan rokok harus disediakannya.
“Saya dibantu oleh keluarga dalam mempersiapkan makanan yang akan digunakan saat melakukan ritual,” kata Awan Mokoginta (55), perempuan yang menjadi bolian malam itu.
Dalam ritual ini, Awan menjelaskan, akan ada tahap memanggil roh leluhur yang disebut mokapoy. Saat mokapoy, di depan makanan yang telah disiapkan, mantra akan dibacakan memanggil duwata. Tahap ini dilakukan oleh seorang yang disebut mononenden.
Mononenden adalah orang yang bertugas sebagai mediator. Mononenden juga akan menjadi penerjemah ketika roh duwata sudah masuk ke dalam tubuh bolian.
Semua ucapan bolian yang dikendalikan oleh duwata akan ia tuturkan dalam bahasa Mongondow. Tuturan itu lantas diterjemahkan oleh mononenden, agar bisa dimengerti oleh orang yang sakit dan keluarga yang hadir.
Tahap selanjutnya adalah mobondit, pemanggilan roh leluhur. Air dipercikkan mengiringi pembacaan mantra. Alat musik dimainkan.
“Dengan begitu roh leluhur akan datang. Saat roh leluhur masuk, saya sudah dalam keadaan tidak sadar. Jadi semua gerakan dan apa yang saya ucapkan semua dikendalikan duwata,” jelas Awan.
Dalam praktek motayok, seorang bolian akan mengenakan kebaya dan kain kecil berwarna-warni yang dibuat sedemikan rupa. Kain ini disebut kokaloy. Tak hanya itu, bolian juga akan menggunakan selendang. Selendang digunakan sebagai media pengobatan.Di bagian kepala, bolian juga akan menggunakan mahkota khas adat Mongondow.
“Saat pengobatan, dalam prosesnya, terkadang duwata akan memberikan cengkih atau benda lainnya kepada orang yang ia sukai pada malam itu,” jelas Awan.
Musik akan terus dimainkan, bolian akan terus menari hingga pagi hari tanpa henti, sebab semua orang yang hadir percaya, di dalam raga bolian ada roh leluhur.
Salah satu alat musik yang digunakan saat Motayok. (Foto: Ronny A. Buol)
Pernah ditolak
Eksistensi tradisi ritual motayok di Bilalang bukan tanpa penolakan. Saat itu, sekitar tahun 1980 hingga tahun 1990an terjadi penolakan terhadap pelaksanaan Motayok. Penolakan ini datang dari perangkat desa.
Sebagai pelaku sejarah, Hermanus O. Mokoginta (67) terang-terangan mengisahkan bagaimana dirinya menolak tegas praktek motayok. Kala itu, Hermanus masih menjabat sebagai sekretaris desa.
Menurutnya, pengobatan yang ditempuh dengan cara motayok adalah salah dan tidak dibenarkan oleh agama. Sebagai aparat desa, Hermanus melarang warga untuk berobat dengan cara motayok. Dia juga melarang praktik motayok dilakukan di dalam kampung.
“Waktu itu saya melihat praktek pengobatan motayok adalah hal yang keliru dan tidak dibenarkan agama yang saya anut. Mulai saat itu, praktek motayok tidak bisa dilaksanakan di dalam kampung. Pokoknya tidak dianjurkan untuk berobat dengan cara motayok. Saya menganjurkan warga memilih beribadah dan memohon kesembuhan dari Tuhan Yang Maha Esa, sebab semuanya datang dari Tuhan,” kata Hermanus kepada Zonautara.com saat bertandang ke rumahnya.
Penolakan ini semakin gencar saat Hermanus terpilih menjadi sangadi (kepala desa) Bilalang pada 1993.
“Sejak itu tidak ada lagi masyarakat yang melakukan ritual motayok di desa. Tetapi dengan cara sembunyi-sembunyi, mereka tetap melakukan ritual dan memilih melakukan praktik motayok di kebun, yang jaraknya sangat jauh dari desa,” kenang Hermanus.
Namun, keadaan berubah saat Hermanus jatuh sakit pada tahun 2001. Hermanus menceritakan bahwa dirinya harus keluar masuk rumah sakit. Sakit yang dideritanya sudah cukup lama, bahkan ia sampai tidak bisa makan, minum, dan susah tidur.
Dengan latar belakang keluarga berada dan berpendidikan, berbagai macam pengobatan medis telah ditempuh Hermanus, bahkan hingga ke luar daerah.
Hasilnya selalu sama, kesembuhan tak jua datang. Kondisi ini membuat dirinya merasa terpuruk. Hingga suatu ketika saudaranya memberikan saran agar Hermanus mencoba pengobatan tradisional dengan mendatangi bolian.
Karena kondisinya sakit parah, Hermanus mencoba cara motayok. Kendati Hermanus mengaku di dalam hatinya masih tetap tidak percaya terhadap ritual ini.
Hermanus O. Mokoginta (67), mantan Sangadi Desa Bilalang. (Foto: Anggi Mamaonto)
“Saya sakit, dua tiga kali masuk rumah sakit berbulan-bulan. Karena sudah berbulan-bulan, dan tidak ada perubahan, saya disarankan oleh dokter untuk dirawat di rumah saja,’’ cerita Hermanus.
“Kakak saya lantas mengusulkan untuk berobat dengan ritual motayok. Dengan berbagai pertimbangan saya setuju. Waktu itu saya berobat dengan cara motayok di kebun Sinantakan Desa Bilalang. Saat pengobatan telah tersedia beras pulo yang dimasak menjadi binarundak, makanan bail, ayam, semua makanan tersebut diletakkan di daun. Kemudian dilakukan ritual kokapoy untuk memangil roh duwata,” kenang Hermanus.
Hermanus mengakui apa yang dilakukan bertolak belakang dengan akal sehatnya. Namun, faktanya dirinya sembuh dari sakit yang diderita.
“Kalau dipikir-pikir ritual itu tidak masuk akal. Tetapi, kenyataannya saya sembuh. Saya menjadi tenang, tidak lagi gelisah, tidak muntah-muntah lagi, sudah bisa tidur nyenyak, serta tidak masuk sakit lagi,” aku Hermanus.
Menurut Hermanus, masyarakat di Bilalang pada umumnya meyakini duwata sebagai roh yang dapat menolong orang sakit.
“Sampai saat ini masih banyak masyarakat Bilalang yang meyakini dan mempercayai duwata. Sekarang saya percaya akan tradisi pengobatan motayok. Ini adalah warisan nenek moyang kita yang perlu dijaga dan dilestarikan,” ujar Hermanus.
Editor: Neno Karlina Paputungan
Multimedia: Marshal Datundungon
Penyelaras akhir: Ronny Adolof Buol