Oleh: Anggi M. Lubis, The Conversation
Baru-baru ini, Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengapresiasi pelaksanaan program Kartu Prakerja, yang diluncurkan saat Indonesia mengalami situasi sulit di awal pandemi COVID-19 pada April 2022.
Jokowi menganggap program ini telah meringankan beban masyarakat yang terdampak pandemi sekaligus meningkatkan produktivitas, pengalaman, dan keterampilan penerima program melalui beraneka pelatihan.
“Saya sangat apresiasi. Yang daftar itu sampai saat ini sudah 115 juta, yang terverifikasi 84 juta, yang diterima 12,8 juta (orang). Besar sekali. Ini angka yang tidak kecil. (Sebanyak) 12,8 juta (orang) yang produktivitasnya meningkat, skill-nya meningkat, pengalaman kerjanya karena pelatihan ini menjadi meningkat,” ujarnya seperti dikutip dari situs resmi Sekretaris Kabinet.
Dalam laman tersebut, pemerintah juga mengutip survey Badan Pusat Statistik (BPS) yang menunjukkan bahwa program yang merupakan janji Jokowi untuk memberantas pengangguran tersebut berhasil meningkatkan 88,9% keterampilan pesertanya selama dua tahun. Survei juga menunjukkan bahwa 30% peserta yang tadinya menganggur kini telah masuk ke dunia kerja.
Pemerintah bahkan memamerkan keberhasilan program ini di ajang internasional di Maroko pada 15-17 Juni 2022, yang dihadiri negara-negara anggota The United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO).
Terlepas dari klaim keberhasilan program Kartu Prakerja, pada kenyataanya, penerapan ini masih jadi sasaran empuk kritik.
Dalam laporan Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) Semester II 2021, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan penyaluran dana senilai Rp 289,85 miliar dalam program Kartu Prakerja salah sasaran. Sebab, manfaat dana program tersebut justru diterima pekerja dengan gaji di atas Rp 3,5 juta.
Para pakar pun berpendapat bahwa program ini bukan hanya tidak tepat sasaran, tapi juga tak menyentuh masyarakat yang kesulitan mengakses teknologi. Pelatihan secara daring juga dianggap tidak efektif meningkatkan keterampilan, malah menjadi ajang partisipan mengejar insentif bulanan. Terakhir, data yang tersedia juga tidak cukup untuk mendukung klaim-klaim yang dilontarkan pemerintah mengenai kesuksesan program ini.
Terlalu bias kota dan belum tepat sasaran
Program Kartu Prakerja ini tak hanya salah sasaran dan masuk kantong mereka yang tidak betul-betul membutuhkan.
Peneliti dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Arif Novianto, melakukan pengamatan perihal pelaksanaan program Kartu Prakerja pada akhir 2020. Hasilnya, masih banyak warga yang seharusnya menerima program ini justru tidak bisa mendaftar lantaran keterbatasan kuota, terkendala akses informasi, dan kesulitan mengakses teknologi digital.
Dia menganggap program ini cenderung bias kota dan sulit untuk diakses masyarakat di area pinggiran yang belum melek digital dan infrastruktur teknologinya belum berkembang.
“Beberapa temuan di lapangan dalam penelitian saya bersama Institute of Governance and Public Affairs (IGPA) UGM menunjukkan bahwa ada warga yang seharusnya lebih membutuhkan karena terdampak pandemi COVID-19 tetapi tidak menerima Kartu Prakerja, sedangkan tetangganya yang tidak terdampak pandemi justru mendapatkan kartu prakerja,” ujarnya.
Ia juga menyoroti informasi terbaru pemerintah yang menyatakan, hanya terdapat 12,8 juta penerima Kartu Prakerja. Angka ini cuma sekitar 15% dari jumlah pendaftar terverifikasi.
Padahal, laporan BPS tahun 2020 menyatakan bahwa setidaknya terdapat 29,12 juta penduduk usia kerja di Indonesia terdampak pandemi COVID-19, dan sudah sewajarnya menerima program perlindungan. Hal ini semakin menguatkan bahwa banyak kelompok sasaran yang belum menerima manfaat dari program ini.
Arif juga meragukan efektivitas program peningkatan keterampilan yang dilakukan secara daring dengan menonton video. Apalagi, temuannya bersama IGPA UGM menunjukkan beberapa peserta justru bersedia membayarkan uang partisipasi sebesar Rp 1 juta hanya untuk mengantongi insentif bulanan sebesar Rp 600.000. Insentif ini dibayarkan selama masa empat bulan pelatihan.
“Sebagian besar responden penerima program prakerja menonton video hanya sebagai formalitas agar dana bantuan atau insentif per bulan bisa dicairkan. Pada saat menonton video pelatihan pun, mereka tidak benar-benar menyimaknya secara serius, sehingga tentu tidak berpengaruh pada peningkatan skill terkait pelatihan online tersebut,” ujaranya.
Menurut dia, masyarakat hanya menginginkan dana tersebut cair guna membantu pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari. Mereka tak memerlukan pelatihan daring yang dianggap terlalu mahal dan tidak efektif.
Karena itulah, Arif menilai fondasi dasar dalam program ini rapuh dan perlu dirombak.
Pertama, program Kartu Prakerja didesain agar kelompok sasaran lebih aktif mendaftarkan diri. Kondisi ini memberi banyak ruang bagi praktik kecurangan, ketika masyarakat yang bukan berasal dari kelompok sasaran ikut mendaftar program tersebut.
Kedua, verifikasi dari pengelola program tentang siapa yang harusnya menjadi peserta prioritas masih lemah. Ini memungkinkan penerima program bukan berasal dari kelompok yang disasar.
Ia melihat program justru bisa lebih efektif ketika pemerintah turun lapangan dan menghimpun data dari swasta ketika ada pemutusan hubungan kerja. Tujuannya untuk mencatat siapa saja yang perlu mendapatkan program perlindungan sosial ini. Namun, pemerintah perlu terlebih dulu menyelesaikan tantangan agar pekerja informal yang cenderung tidak terdata tetap bisa mengakses manfaat dari program perlindungan sosial ini.
Perlu data mumpuni untuk evaluasi Kartu Prakerja
Peneliti dari Center for Indonesian Policy Studies (CIPS), Krisna Gupta, menekankan ada permasalahan data dalam proses evaluasi program Kartu Pra-Kerja.
Klaim dari pemerintah, yang sekadar mengandalkan survei terhadap peserta, tidak punya basis data yang kuat untuk membuktikan hubungan antara program Kartu Prakerja dengan peningkatan keterampilan dan akses terhadap lapangan kerja.
Apalagi, seperti yang telah disebutkan di atas, masih banyak target program yang salah sasaran dan hanya menggunakan program untuk sekadar meraup insentif. Hasil survei dari peserta tidak bisa menjadi landasan kuat untuk menentukan keberhasilan program.
Data BPS memang menunjukkan, per Februari 2022, penduduk yang bekerja sebanyak 135,61 juta orang. Jumlah ini naik sebanyak 4,55 juta orang dari Februari 2021.
Namun, Krisna menekankan bahwa “transisi dari menganggur dan kemudian mendapatkan pekerjaan berkat program tersebut” merupakan klaim yang sulit dibuktikan. Sebab, seiring pulihnya ekonomi setelah hantaman akibat pandemi, akses terhadap lapangan kerja pun otomatis terbuka. Dengan kondisi makroekonomi yang membaik, para peserta bisa mendapat pekerjaan tanpa perlu mengandalkan program tersebut.
“Jadi bahkan ketika evaluasi berhasil dilakukan pun, klaim sebab akibat akan butuh metode dan data yang lebih mumpuni. Sebelum liat itu semua, saya akan skeptis,” tegas Krisna.
Anggi M. Lubis, Editor Bisnis + Ekonomi, The Conversation
Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.