ZONAUTARA.com – Tim Advokasi Anak Buah Kapal (ABK) Indonesia melayangkan gugatan uji materiil terhadap Peraturan Menteri Perhubungan (Permenhub) No. 59 Tahun 2021, khususnya Pasal 93 ayat 1 huruf b, ke Mahkamah Agung pada Kamis, 13 Oktober 2022.
Tim yang didukung Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) dan Greenpeace Indonesia menilai pasal tersebut bertentangan dengan sejumlah regulasi lain. Hal ini berdampak pada lemahnya pelindungan pada Awak Kapal Perikanan (AKP) migran asal Indonesia di kapal ikan asing (KIA).
Kuasa hukum Tim Advokasi ABK Indonesia, Viktor Santoso Tandiasa, mengatakan bahwa pasal tersebut menjelaskan tentang wewenang Kementerian Perhubungan dalam melakukan “perekrutan dan penempatan Awak Kapal berbendera Indonesia dan Kapal Asing di luar negeri”.
Klausul ini bertentangan dengan Peraturan Pemerintah No. 22 Tahun 2022 tentang Penempatan dan Pelindungan Awak Kapal Niaga Migran dan Awak Kapal Perikanan Migran serta Undang-Undang No. 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia.
“Jika Hakim MA menerima uji materiil ini, maka akan turut memperkuat pelaksanaan PP 22/2022 dan meniadakan dualisme penanganan. Keputusan ini akan meneguhkan kewenangan Kementerian Ketenagakerjaan sebagai leading-sector dalam tata kelola penempatan dan pelindungan AKP migran – tidak lagi di bawah Kementerian Perhubungan,” tutur Viktor.
“Dengan adanya PP 22/2022, harusnya Permenhub 59/2021 terutama Pasal 93 ayat 1 huruf b otomatis tidak berlaku karena ada Asas Lex Posterior Derogat Legi Priori. Asas hukum di mana peraturan yang baru dapat menyampingkan atau meniadakan peraturan yang lama,” lanjutnya.
Ketua Umum Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) Hari Suwarno mengatakan, adanya dualisme kewenangan antara dua kementerian tersebut telah menyebabkan lemahnya pengawasan penempatan dan pelindungan awak kapal perikanan migran secara maksimal. Keduanya kerap saling lempar tanggung jawab, kendati kondisi AKP migran Indonesia terus berada di bawah ancaman eksploitasi.
“Ada dualisme kewenangan antara Kementerian Perhubungan dan Kementerian Tenaga Kerja yang mengatur perizinan pada penempatan Awak Kapal Perikanan (AKP) Migran. Dualisme ini tentu saja berdampak pada pemenuhan hak dan kepastian hukum pada para ABK utamanya yang bekerja di kapal ikan asing,” kata Hariyanto.
Juru Kampanye Laut Greenpeace Indonesia Afdillah mengatakan sejak awal 2022, SBMI dan Greenpeace Indonesia melakukan berbagai upaya litigasi strategis untuk mendukung pembenahan tata kelola perekrutan dan penempatan AKP migran berbasis Hak Asasi Manusia (HAM).
Kata Afdillah, Seharusnya Kemenhub tidak punya kewenangan memberi izin perekrutan dan penempatan AKP migran karena hal ini urusan ketenagakerjaan dan menjadi kewenangan Kemnaker, dan selama ini Kemenhub juga tidak memberikan kepastian pelindungan yang maksimal kepada AKP migran. Karena itu, penting untuk memberikan kewenangan perizinan ini kepada Kementerian Tenaga Kerja sesuai amanat PP 22/2022.
“Permohonan keberatan Hak Uji Materiil ini adalah upaya kami untuk memaksimalkan pelindungan kepada calon AKP migran yang akan berangkat hingga AKP migran yang saat ini berada di tengah laut atau yang sudah pulang dan tengah memperjuangkan haknya. Sudah seharusnya ada kepastian hukum dan mekanisme yang mampu melindungi dan menjaga mereka dari jeratan eksploitasi,” kata Afdillah. ***