Oleh: Lailaturrahmi, Universitas Andalas dan Azhoma Gumala, Universitas Andalas
Hasil uji sampel Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) terhadap 35 kode produksi dari 26 sirup obat per 19 Oktober 2022 menunjukkan kandungan kontaminasi etilen glikol (EG) yang melebihi batas aman pada lima produk obat demam dan obat batuk dan flu di Indonesia.
Kontaminasi EG ditemukan pada Termorex Sirup, Flurin DMP Sirup, Unibebi Cough Sirup, Unibebi Demam Sirup, dan Unibebi Demam Drops. Ini obat untuk anak-anak.
Namun, menurut BPOM, temuan tersebut belum bisa mendukung kesimpulan bahwa penggunaan obat sirup obat itu mempunyai kaitan dengan kejadian gagal ginjal akut pada ratusan anak dalam beberapa pekan terakhir di negeri ini. Sebab, selain penggunaan obat, BPOM mengatakan ada beberapa faktor risiko penyebab kejadian gagal ginjal akut seperti infeksi virus, bakteri leptospira, dan sindrom peradangan multisistem setelah COVID-19 pada anak.
Sebelumnya, pada 18 Oktober 2022, Kementerian Kesehatan Indonesia menyatakan ada 206 kasus gagal ginjal akut pada anak, 99 di antaranya meninggal. Kasus terjadi terbanyak pada anak berusia 1-5 tahun di 20 provinsi, DKI Jakarta dan Jawa Barat terbanyak, masing-masing 40 kasus.
Sehari kemudian, Wakil Menteri Kesehatan menyatakan pengujian terhadap 18 obat sirup menunjukkan 15 di antaranya masih mengandung EG.
Sampai kini (21 Oktober), otoritas kesehatan Indonesia belum mengetahui secara pasti penyebab gagal ginjal akut pada anak-anak tersebut, sehingga kejadian ini disebut sebagai gagal ginjal akut progresif atipikal. Hubungan sebab-akibat dalam kasus ini belum bisa dipastikan. Belakangan, Kementerian Kesehatan menyatakan bahwa kejadian gagal ginjal pada anak-anak itu diduga akibat obat batuk dan paracetamol. Kementerian telah melarang peresepan 91 obat sirup untuk pasien.
Sebuah riset menunjukkan hubungan antara kejadian gagal ginjal dan kontaminasi EG atau dietilen glikol (DEG) dalam obat sudah kerap diketahui di berbagai negara sejak 1937.
Bagaimana kita memahami masalah yang kompleks ini dan fakta-fakta kausalitas yang masih diselidiki ini? Berikut empat hal yang perlu Anda ketahui berdasarkan uji lab dan kasus hampir serupa di negara lain.
1. Hubungan obat sirup parasetamol dan kasus gagal ginjal akut di Gambia
Kasus obat sirup ini meledak bermula pada 5 Oktober, saat Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) merilis peringatan mengenai empat produk obat sirup yang punya kaitan dengan kasus gagal ginjal akut pada anak-anak di Gambia. Empat produk itu adalah Promethazine Oral Solution, Kofexmalin Baby Cough Syrup, Makoff Baby Cough Syrup, dan Magrip N Cold Syrup.
WHO menyatakan keempat produk obat ini tidak memenuhi standar mutu pembuatan obat yang baik. Melalui uji lab, ditemukan kontaminasi EG dan DEG dalam obat sirup tersebut, dalam jumlah yang melebihi batas aman.
Obat tersebut diproduksi oleh Maiden Pharmaceuticals Limited, India. BPOM menyatakan obat sirup ini tidak beredar di Indonesia.
Kecurigaan terhadap sirup parasetamol (obat penurun panas) di Gambia muncul saat ditemukan sejumlah pasien anak mengalami gejala gagal ginjal setelah menggunakan sirup parasetamol yang dijual di sana.
Saat itu, belum ada kejelasan merek sirup yang digunakan. Namun, otoritas kesehatan menangguhkan penggunaan sirup parasetamol. Setelah obat sirup ini ditarik dari peredaran, kasus-kasus gagal ginjal di sana berkurang.
Kurangnya fasilitas pengujian di Gambia membuat WHO ikut turun tangan dalam penanganan kasus ini.
Peringatan dari WHO tersebut menimbulkan kecurigaan bahwa kasus gagal ginjal akut pada anak dapat terjadi akibat penggunaan obat seperti sirup. Apalagi, beberapa laporan kasus dalam artikel ilmiah mengaitkan kontaminasi EG dan DEG dalam obat sirup parasetamol dengan gagal ginjal akut.
2. Kasus keracunan EG dan DEG di negara lain
Sebenarnya, kejadian gagal ginjal akibat kontaminasi EG atau DEG dalam produk farmasi merupakan kejadian berulang yang telah dilaporkan dari berbagai negara sejak 1937.
Kurang lebih terjadi 12 keracunan massal akibat DEG dalam produk obat telah dilaporkan pada periode 1937-2006 di beberapa negara seperti Amerika Serikat, India, dan Bangladesh. Telaah literatur menunjukkan beberapa kasus terjadi karena kesengajaan.
Setengah dari kasus keracunan tersebut terjadi untuk memperoleh keuntungan finansial. Misalnya, “orang-orang” tidak bertanggung jawab di industri farmasi menukar gliserin dengan DEG yang harganya lebih murah atau menambahkan DEG agar memenuhi standar yang dipersyaratkan oleh badan otoritas obat-obatan.
Ketidakpatuhan terhadap standar pembuatan obat dan persyaratan uji kualitas juga merupakan masalah utama penyebab keracunan DEG tersebut.
Pada 2009 di Bangladesh, misalnya, 24 anak meninggal setelah mendapatkan sirup parasetamol. Setelah diuji, ditemukan kandungan dietilen glikol dalam sirup tersebut. Otoritas kesehatan setempat menyatakan bahwa dietilen glikol digunakan oleh produsen obat bermasalah tersebut sebagai pelarut.
Kontaminasi EG atau DEG yang menyebabkan kasus keracunan produk farmasi di berbagai negara umumnya disebabkan oleh kurangnya pengujian kontaminasi. Juga karena kurangnya kontrol mutu yang dilakukan oleh produsen atau industri farmasi selama penerimaan bahan atau selama proses pembuatan sirup (sediaan) obat.
Kasus yang terjadi di Gambia juga berhubungan dengan tidak terpenuhinya persyaratan mutu produk obat sirup. Berdasarkan informasi dari WHO, produsen belum bisa memberikan bukti dan jaminan mengenai keamanan dan mutu produk-produk tersebut.
Produsen ini memiliki rekam jejak yang kurang baik, antara lain mereka dilarang mengedarkan produk di negara bagian Bihar, India, pada 2011 karena menjual sirup yang tidak memenuhi standar dan diperkarakan oleh regulator obat di India pada 2018. Hal ini terjadi akibat pelanggaran sistem pengawasan mutu gagal memenuhi standar pengujian mutu di daerah Jammu dan Khasmir.
Pada 2020, produsen ini gagal memenuhi standar pengujian mutu sebanyak empat kali di Kerala, India. Sementara pada 2022, mereka (bersama dengan 40 perusahaan farmasi India lain) dilarang untuk mengedarkan produk di Vietnam akibat produknya tidak standar.
Namun, produk obat dari produsen ini tidak terdaftar dan beredar di di Indonesia.
3. Mengapa EG dan DEG bisa ditemukan dalam obat sirup?
EG merupakan bahan baku pembuatan plastik yang juga digunakan dalam sistem pendingin seperti AC.
Sedangkan DEG merupakan gabungan dari dua molekul EG yang terikat kuat secara kimia membentuk senyawa baru. DEG biasanya diperoleh sebagai hasil sampingan reaksi kimia atau hidrolisis bahan obat etilen oksida, senyawa yang banyak digunakan dalam berbagai industri.
EG dan DEG merupakan senyawa yang berbahaya jika masuk ke dalam tubuh. Pada dosis 1.500 miligram per kilogram berat badan, EG dapat menyebabkan kematian.
Karena itu, di berbagai negara, termasuk Indonesia, EG dan DEG tidak boleh digunakan dalam pembuatan produk farmasi.
Namun beberapa bahan tambahan seperti gliserin dan polietilenglikol yang digunakan dalam sirup memiliki potensi terkontaminasi dengan DEG atau EG.
Pada proses pengujian oleh lembaga regulasi obat seperti BPOM, DEG/EG dapat ditemukan sebagai cemaran pada pelarut tambahan. BPOM telah menetapkan standar yang mengatur batas maksimal kandungan cemaran ini sesuai standar internasional.
Bahan tambahan dalam produk farmasi merupakan bahan yang digunakan agar senyawa obat atau zat aktif dapat lebih stabil, lebih dapat diterima, atau lebih efektif saat dibuat dan digunakan. Bahan tambahan yang boleh digunakan dalam produk obat harus memiliki pharmaceutical grade, bahan tersebut terjamin kemurniannya, tidak bersifat mempengaruhi bahan lain, dan tidak beracun.
Penjaminan keamanan dan mutu obat sudah diatur oleh standar Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB), atau secara internasional dikenal dengan Good Manufacturing Practice. Standar CPOB ini mengikat seluruh produsen obat.
CPOB mensyaratkan setiap penerimaan bahan baku dan bahan tambahan harus diuji sesuai standar oleh produsen. Bahkan, pemasok bahan baku juga harus diaudit. Regulator berperan untuk memastikan produsen obat mematuhi standar CPOB ini.
4. Dampak EG dan DEG pada ginjal
EG yang ditelan dan masuk ke dalam tubuh mengalami proses metabolisme di hati oleh beberapa enzim. Proses ini akan menghasilkan asam glikolat yang mengakibatkan penumpukan asam di dalam tubuh, dan asam oksalat. Asam oksalat inilah yang dapat menyebabkan kerusakan pada ginjal.
Pada keracunan berat, EG dapat menyebabkan gagal ginjal akut, sehingga terjadi penumpukan senyawa kimia beracun dan ketidakseimbangan kimiawi di dalam darah.
Sementara itu, DEG yang masuk ke dalam tubuh akan diolah di hati menjadi senyawa 2-hydroxyethoxyacetic acid (HEAA) yang bersifat asam dan dapat merusak ginjal dan saraf.
Segera cari hubungan sebab-akibat
Belajar dari kasus-kasus serupa di berbagai negara, otoritas kesehatan dan obat-obatan Indonesia harus segera menemukan bukti ilmiah soal ada atau tidaknya hubungan antara gagal ginjal akut pada ratusan anak-anak dan obat sirup yang mereka minum.
Langkah ini tetap harus dilakukan walau kini semua obat sirup telah ditarik dari peredaran. Hal ini sangat penting agar korban tidak terus berjatuhan. Langkah hukum perlu dilakukan jika memang ada indikasi tindak pidana dalam proses produksi obat sirup di Indonesia.
Catatan: Editor telah menambahkan penyataan terbaru Kementerian Kesehatan terkait ada hubungan gagal ginjal dan obat sirup.
Lailaturrahmi, Lecturer, Departemen Farmakologi dan Farmasi Klinis, Fakultas Farmasi, Universitas Andalas dan Azhoma Gumala, Pharmaceutics Lecturer, Fakultas Farmasi, Universitas Andalas
Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.