Oleh: Robby Irfany Maqoma, The Conversation
Institute for Essential Services Reform (IESR) merilis studi terbarunya seputar peluang ekspansi energi terbarukan di empat sistem besar kelistrikan Indonesia: Jawa-Madura-Bali (Jamali), Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi. Hasilnya, pada delapan tahun mendatang, PT PLN (Persero) masih berpeluang besar menambah pasokan listrik energi terbarukannya hingga 42% secara nasional. Angka tersebut lebih tinggi dari rencana perseroan saat ini yaitu 24,8% pada 2030.
Apabila dilihat lebih dekat, sistem kelistrikan Pulau Sulawesi akan menjuarai kontribusi energi terbarukan Indonesia. Pada 2030, energi bersih akan menyumbang 51% kapasitas setrum Sulawesi.
Sementara, pada tahun yang sama, sistem kelistrikan Kalimantan dan Sumatra hanya mendapatkan suplai energi terbarukan masing-masing sebesar 35%. Sistem Jamali berada di urutan paling buncit, yakni 32,6%.
Apa yang spesial dari Sulawesi?
Peneliti sistem kelistrikan IESR, Akbar Bagaskara, menilai sumbangan energi terbarukan sistem Sulawesi menjadi yang terbesar karena listrik energi fosil yang jauh lebih sedikit dibandingkan sistem lainnya.
Berdasarkan data PLN, kontribusi setrum energi fosil di sistem Sulawesi tak sampai 75% pada 2021. Angka ini memang cukup besar, tapi paling sedikit jika dibandingkan sistem lainnya pada tahun yang sama. Contohnya, energi fosil – batu bara dan gas bumi – menyumbang lebih dari 90% kapasitas listrik sistem Kalimantan dan Jamali.
“Persentase PLTU dan gas itu (di Sulawesi) dibandingkan sistem yang lain paling sedikit. Sehingga pembangkit baru, terutama energi terbarukan, masih bisa masuk lebih banyak,” kata Akbar dalam diskusi virtual The Paris Agreement Compatible Power System Planning oleh IESR, beberapa waktu lalu.
Adapun faktor pendukung lainnya adalah ekspansi energi terbarukan di sistem Sulawesi yang massif. Pada 2018, misalnya, sistem Sulawesi mendapatkan pasokan listrik tenaga angin pertamanya dari pembangkit listrik tenaga bayu (angin) atau PLTB Sidrap di Sulawesi Selatan. Setahun kemudian, Sulawesi kembali memanen angin dari PLTB Jeneponto – berlokasi di provinsi yang sama.
Selain PLTB, sistem kelistrikan Sulawesi juga mendapatkan pasokan listrik energi surya sebesar 25 megawatt (MW) dari proyek PLTS di Kabupaten Selayar. Angka ini setara dengan 3,55% dari total permintaan listrik Sulawesi pada 2021.
Pasokan energi terbarukan juga lebih mulus di sistem ini karena, berdasarkan rencana PLN, akan ada pembangkit listrik bertenaga gas sebesar 378 MW yang akan pensiun hingga delapan tahun mendatang. Kajian IESR juga memprediksi produksi listrik PLTU dapat dikurangi hingga 30% dari total kapasitasnya supaya ekspansi energi terbarukan semakin lancar.
Nah, berdasarkan studi IESR, sumbangan energi bersih di Pulau Sulawesi bisa digenjot hingga 5,94 gigawatt (GW) pada 2030. Sebagian besar di antaranya akan berasal dari PLTS sebesar 5,8 GW, diikuti PLTB sebesar 140 MW. Kelebihan pasokan kedua energi ini dapat ditopang oleh baterai berkapasitas 37 GW.
Bagaimana dampaknya?
Ekspansi energi terbarukan di sistem Sulawesi ditaksir bakal berbuah manis. Studi IESR mencatatkan emisi sektor kelistrikan di sistem ini pada 2030 hanya 14 juta ton CO2. Bandingkan dengan sistem Kalimantan dan Sumatra yang masing-masing sebesar 23,5 dan 63,7 juta ton CO2. Mayoritas emisi ini berasal dari pembakaran batu bara.
Kendati begitu, menurut Akbar, penambahan kapasitas energi terbarukan dapat berdampak pada infrastruktur distribusi dan transmisi listrik terutama pada malam hari saat pemakaian listrik sedang memuncak. Dampak ini dapat dicegah sejak dini melalui pembaruan infrastruktur serta pemerataan lokasi pembangkit.
IESR juga memberi catatan seputar pentingnya penggunaan PLTS atap bangunan sebagai opsi pemakaian energi bersih dengan dampak minimum terhadap jaringan transmisi PLN. “Introduksi solar rooftop (PLTS di atap bangunan) akan membantu agar jaringan transmisi tidak terlalu terbebani,” tutur Akbar.
Soal PLTS atap, Direktur lembaga riset Tropical Renewable Energy Center Universitas Indonesia, Eko Adhi Setiawan, mengemukakan kemajuan penggunaannya di atap-atap bangunan turut ditentukan oleh partisipasi masyarakat. Supaya partisipasi meningkat, mesti ada tarif yang menguntungkan konsumen untuk memasang panel-panel surya di atap bangunan mereka.
“Tanpa adanya perbedaan tarif, enggak akan mungkin masyarakat mau shifting load mereka (mengalihkan listrik dari jaringan PLN ke PLTS atap) pada waktu-waktu tertentu,” ujar Eko.
Peluang besar
Executive Vice President Energy Transition PLN, Kamia Handayani, menyatakan bahwa peluang ekspansi energi terbarukan besar-besaran bisa terwujud. Yang penting, kata dia, sektor lainnya seperti industri dan transportasi juga melakukan inisiatif elektrifikasi. Misalnya melalui penggunaan transportasi listrik.
“Untuk memenuhi demand, selanjutnya kami akan berfokus pada renewable energy. jika memang demand-nya ada itu sangat baik,” ujar Kamia.
Perusahaannya bersama pemerintah juga berencana melakukan simulasi untuk pemangkasan emisi karbon sektor listrik secara lebih agresif dan merata. Pasalnya, Indonesia memiliki komitmen baru dalam Just Energy Transition Programme (JETP) untuk menekan emisi karbon hingga 290 juta ton CO2 pada 2030. Berdasarkan pemodelan saat ini, menurut Kamia, emisi baru bisa ditekan ke sekitar 300-an juta ton CO2.
Beberapa langkah yang dilakukan, kata Kamia, adalah memberlakukan pensiun dini PLTU-PLTU. Ada juga langkah untuk mengurangi pembakaran batu bara dengan menggunakan sumber energi biomassa, misalnya dari pelet kayu.
Robby Irfany Maqoma, Environment Editor, The Conversation
Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.