ZONAUATARA.com – Pandemi COVID-19 mungkin telah membatasi pergerakan manusia, namun sayangnya tidak menghentikan laju perdagangan tumbuhan dan satwa liar (TSL), khususnya secara daring (online).
Tingginya penggunaan jaringan internet selama pandemi juga berkontribusi terhadap meningkatnya kasus perdagangan online spesies satwa liar di Indonesia yang terjadi selama beberapa tahun terakhir. Hal ini menunjukkan bahwa penegakan hukum terhadap spesies di Indonesia masih jauh dari harapan.
Melansir data patroli siber pada tahun 2018 – 2021 yang dilakukan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), setidaknya tercatat 4,463 iklan perdagangan ilegal TSL teridentifikasi di media daring, baik media sosial maupun e-commerce. Lebih lanjut, INTERPOL juga merekam bahwa angka kejahatan terhadap spesies satwa liar meningkat sebanyak 5-7% setiap tahunnya.
Efektivitas penegakan hukum dipengaruhi oleh salah satunya ketetapan dari norma hukum yang berlaku, dalam hal ini legislasi.
“POKJA Konservasi menilai, agar legislasinya efektif, norma penegakan hukum terhadap tindak kriminal perdagangan tumbuhan dan satwa liar perlu diperkuat, khususnya di dalam materi RUU KSDAHE sebagai perubahan dari UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistemnya yang saat ini masih dalam proses revisi oleh DPR-RI bersama Pemerintah,” ujar Koordinator POKJA Konservasi, di Jakarta (23/12).
Mengutip data terkini yang diungkap dalam sebuah webinar “Penguatan Kebijakan Pencegahan Perdagangan dan Peredaran Satwa Liar di Indonesia Berbasis Daring”, dalam rangka memperingati 60 tahun Departemen Kriminologi FISIP UI (10/10), terjadi pergeseran modus perdagangan TSL dari cara konvensional ke arah digital yaitu melalui platform e- commerce.
Platform e-commerce menjadi pilihan, baik bagi penjual, makelar, maupun pembeli karena sifat kejahatan ini berisiko rendah tetapi memberi keuntungan tinggi (low risk, high value) dan memberikan kemudahan bagi para pelaku untuk beroperasi.
Pasar burung yang tadinya menempati areal tertentu di sebuah kota, misalnya, kini pindah melapak secara online. Data Kepolisian RI (POLRI) menunjukkan bahwa perdagangan TSL di Indonesia mencapai 7,8 – 19 miliar dolar Amerika Serikat (AS) pada tahun 2018.
Menurut Koordinator POKJA Konservasi, transaksi ilegal tersebut mengakibatkan kerugian ekonomi negara mencapai Rp 9 triliun. Di sisi lain, kerugian yang bersifat biologis juga turut menyertai seperti kerusakan lingkungan yang menyebabkan hilangnya jasa ekosistem dan berdampak terhadap krisis air, pangan dan energi, serta punahnya spesies tumbuhan dan satwa.
Perdagangan satwa liar
Lebih lanjut, interaksi antara manusia dan satwa liar yang terjadi dalam perdagangan ilegal satwa liar tersebut berpotensi besar terhadap penularan risiko zoonosis yang berdampak pada kemunculan gelombang pandemi baru lainnya.
Perdagangan TSL ilegal di Indonesia sudah sepatutnya menjadi prioritas banyak pihak. Pasalnya, selama ini hanya ada satu peraturan, yakni UU No 5 Tahun 1990 atau UU Konservasi, sebagai instrumen utama yang menangani soal perdagangan satwa liar ilegal.
Untuk jenis-jenis TSL dilindungi, lapak-lapak e-commerce tersebut memang ilegal, namun untuk jenis yang tidak dilindungi secara hukum perdagangan tersebut tidak dianggap ilegal.
Persoalannya adalah bahwa jenis-jenis yang tidak dilindungi secara hukum tersebut saat ini sudah menjadi semakin langka. Di sisi lain, ketiadaan pengaturan khusus terkait perdagangan TSL secara online pada lapak-lapak e-commerce tersebut juga menjadi faktor pendorong eksploitasi TSL yang akan berdampak pada kelangkaan jenis-jenis tersebut.
Peraturan yang sudah berusia 32 tahun ini tak lagi sesuai untuk mengatur persoalan kejahatan perdagangan satwa liar yang makin masif, rapi, terorganisasi, memanfaatkan berbagai platform teknologi komunikasi terkini serta menciptakan kerugian serta kerusakan yang semakin mengkhawatirkan.
POKJA Konservasi menilai, revisi UU No. 5 Tahun 1990 antara lain hendaknya mampu mengantisipasi kebutuhan penegakan hukum atas kejahatan TSL yang semakin rumit menyangkut jejaring pelaku, modus, serta jenis perbuatan/deliknya, ditambah ragam lokasi yang sering kali melibatkan lintas negara.
Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah dengan memisahkan delik yang mengatur pelaku korporasi dengan delik yang dilakukan secara terorganisasi, bahkan yang dilakukan lintas batas negara.
Dengan perubahan tipologi dan modus kejahatan TSL khususnya dengan menggunakan platform teknologi informasi dan sosial media, maka POKJA Konservasi mendorong lembaga penegak hukum juga melakukan perubahan pola penegakan hukum bidang TSL ini dengan penguatan kelembagaan, penguatan perangkat teknologi dan penguatan instrumen hukum/regulasi terkait.
Di luar masalah perdagangan ilegal TSL, POKJA Konservasi juga telah menyusun 6 (enam) policy brief sebagai masukan untuk materi penguatan revisi UU No. 5 Tahun 1990 tersebut, masing-masing yaitu:
- Perlindungan spesies termasuk non-native spesies yang sesuai dengan status konservasinya dan pengaturan spesies dengan risiko invasif;
- Perlindungan sumber daya genetik Indonesia;
- Pengelolaan, penanganan, dan pengamanan tumbuhan dan satwa liar yang mempertimbangkan risiko zoonosis melalui kerangka pendekatan One Health;
- Pengelolaan keanekaragaman hayati berdasarkan pendekatan ekosistem;
- Penegakan hukum konservasi yang berorientasi pada pemulihan keanekaragaman hayati serta efek jera, utamanya pada aktor korporasi serta pelaku kejahatan transnasional dan terorganisir; dan
- Pendanaan berkelanjutan untuk konservasi keanekaragaman hayati.
“Melalui seri policy brief tersebut, POKJA Konservasi berupaya untuk menyediakan masukan ilmiah yang dapat memperkuat RUU KSDAHE yang sedang dirancang saat ini. Lebih lanjut, POKJA Konservasi juga mengapresiasi DPR RI dan Pemerintah yang saat ini sedang dalam proses pembahasan RUU KSDAHE. Karena saat ini kita sedang berpacu dengan laju kejahatan TSL dan juga kepunahan terhadap spesies, harapannya, RUU KSDAHE dapat segera disahkan menjadi UU yang efektif di tahun 2023”, tutur Koordinator POKJA Konservasi melalui rilis, Kamis (23/12).