Oleh: Nurul Fitri Ramadhani, The Conversation
Presiden Joko “Jokowi” Widodo menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) No. 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja pada 30 Desember 2022.
Perppu yang berisi 1.117 halaman dan 186 pasal ini bertujuan menggantikan UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Sebelumnya, Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan UU tersebut “inkonstitusional bersyarat” (tidak sesuai konstitusi dan perlu direvisi sesuai syarat tertentu) selama dua tahun – sehingga membuat UU tersebut belum bisa diimplementasikan.
Artinya, Perppu baru ini secara otomatis menggugurkan status inkonstitusional bersyarat UU Cipta Kerja.
Pemerintah mengklaim bahwa penerbitan Perppu ini menjadi kebutuhan yang mendesak. Dalihnya, ekonomi Indonesia pada 2023 akan sangat bergantung pada investasi dan ekspor, sehingga perlu ada kepastian hukum dan persepsi baik bagi para investor.
Menurut pemerintah, putusan MK yang menyatakan UU Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat telah mempengaruhi perilaku dunia usaha di dalam dan luar negeri yang menunggu keberlanjutan implementasi UU tersebut.
Namun, di sisi lain, sejumlah organisasi serikat buruh menyatakan bahwa pasal-pasal klaster ketenagakerjaan dalam Perppu tersebut justru merugikan posisi pekerja.
Terlepas dari pro kontra isi yang terkandung dalam Perppu Cipta Kerja, para pakar hukum tata negara lebih menyoroti proses yang ditempuh pemerintah, utamanya Presiden Jokowi, dalam penerbitan Perppu ini. Mereka kompak menyatakan bahwa langkah pemerintah menerbitkan Perppu ini lagi-lagi inkonstitusional dan menunjukkan kuatnya karakteristik otoritarianisme pemerintah.
Tidak ada alasan mendesak untuk menerbitkan Perppu
Feri Amsari – Dosen Hukum Tata Negara, Universitas Andalas
Alasan pemerintah akan ketidakpastian ekonomi global yang melandasi penerbitan Perppu ini cenderung tidak masuk akal.
Mengutip Pasal 22 UUD 1945, sebuah Perppu hanya bisa diterbitkan apabila ada kegentingan memaksa. Berdasarkan putusan MK No. 138/PUU-VII/2009, ada tiga syarat untuk memenuhi ihwal “kegentingan memaksa”, yaitu (1) ada masalah hukum yang mendesak dan butuh ditangani sesegera mungkin, (2) ada hukum tetapi tidak menyelesaikan masalah atau masih menimbulkan kekosongan hukum, dan (3) butuh proses yang cepat untuk menghasilkan produk hukum.
Kenyataannya, tidak ada hal yang mendesak secara ekonomi dalam konteks masyarakat secara umum.
Rentang waktu dua tahun yang diberikan MK untuk memperbaiki UU Cipta Kerja pun cukup membuktikan bahwa penerbitan Perppu bukan hal yang mendesak – kecuali jika definisi kebutuhan mendesaknya adalah kepentingan investor dan pemerintah semata. Tapi, di titik ini saja sudah salah.
MK pun jelas mengamanahkan pemerintah untuk memperbaiki UU Cipta Kerja, bukan mengeluarkan Perppu. Apa yang dilakukan pemerintah tidak sesuai dengan perintah MK, bahkan bisa dibilang pemerintah lari dari tanggung jawab untuk memperbaiki UU tersebut. Artinya, penerbitan Perppu ini menunjukkan adanya upaya melanggar putusan MK.
Ini jelas tindakan inkonstitusional dan termasuk pembodohan publik.
Perppu Cipta Kerja ini bisa digugat – baik ke MK atau ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) – oleh publik maupun pihak yang merasa kurang puas. Gugatan bisa dilakukan dari segi proses administrasi pembentukan Perppunya hingga materi muatannya.
Pola otoritarianisme, abaikan konsitutisi
Bivitri Susanti – Dosen Hukum Tata Negara, Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera
Terbitnya Perppu Cipta Kerja ini bukan hanya melahirkan kembali isi dari UU Cipta Kerja yang bermasalah dan melanggar hak-hak pekerja, tapi juga terang-terangan menunjukkan praktik buruk pemerintah yang mengabaikan konstitusi – dan ini semua sesuai dengan karakteristik otoritarianisme.
Ucapan Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD yang menegaskan bahwa Perppu itu hak subjektif presiden juga tidak patut diutarakan oleh seorang menteri di situasi seperti ini.
Indonesia merupakan negara hukum, sehingga semua harus ada ukurannya, yaitu konstitusi. Subjektivitas seorang presiden tidak bisa dijadikan dasar utama dalam mengambil keputusan kebijakan. Jika terjadi, ini jadinya seperti titah raja, tidak lagi mencerminkan negara hukum.
Dengan begini, Presiden Jokowi seakan mengambil jalan pintas untuk menghindari pembahasan politik guna mengakomodasi kepentingan pengusaha semata. Ini sama saja dengan pembajakan demokrasi.
Berdasarkan UU No. 15 tahun 2019 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, penerbitan Perppu adalah kewenangan dan hak pemerintah, dalam hal ini penetapannya oleh presiden. Perppu ini selanjutnya harus diajukan ke DPR pada masa sidang berikutnya untuk mendapat persetujuan atau penolakan.
Jika disetujui oleh DPR, maka Perppu akan berlaku sebagai UU. Jika ditolak, maka akan kembali ke peraturan awal, yang berarti pemerintah dan DPR harus tetap merevisi UU Cipta Kerja sebagaimana putusan MK.
DPR sudah seharusnya menolak Perppu Cipta Kerja ini jika lembaga legislatif tersebut masih mau dianggap paham demokrasi dan menjunjung prinsip negara hukum.
Mengabaikan fungsi DPR
Jamiluddin Ritonga – Dosen Komunikasi Politik, Universitas Esa Unggul
Proses penerbitan Perppu Cipta Kerja oleh pemerintah juga mengindikasikan bahwa pemerintah telah mengabaikan fungsi legislatif DPR RI. Ini karena putusan MK adalah memperbaiki (revisi) UU Cipta Kerja, sedangkan merevisi UU tidak bisa dilakukan oleh pemerintah sendiri, melainkan harus bersama DPR.
DPR seharusnya berhak kesal atas langkah pemerintah menerbitkan Perppu itu karena dalam prosesnya, sama saja pemerintah tidak menganggap penting keberadaan DPR untuk memperbaiki UU Cipta Kerja bersama-sama.
Idealnya, DPR bisa menolak Perppu tersebut dan memposisikan dirinya setara dengan Presiden dalam kedudukan konstitusi, tidak boleh hanya menjadi lembaga stempel pemerintah.
Nurul Fitri Ramadhani, Politics + Society Editor, The Conversation
Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.