Oleh: Denny Gunawan, UNSW Sydney
Tahun 2022 merupakan tahun pemantik Indonesia untuk mempercepat transisi energi, yakni sebuah peralihan dari penggunaan energi fosil ke energi terbarukan yang ramah lingkungan. Misalnya, pemerintah menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 112 Tahun 2022 yang menjadi dasar hukum pengakhiran operasi pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) pada 2050.
Pemerintah juga menetapkan target pengurangan emisi yang lebih ambisius. Dalam dokumen komitmen iklim yang disebut Nationally Determined Contribution (NDC) versi 2022, Indonesia menaikkan target pengurangan emisi pada 2030 menjadi 31,89% dengan usaha sendiri, atau 43,20% dengan dukungan internasional.
Selain itu, sebagai tuan rumah KTT G20, Indonesia juga memperoleh dukungan pendanaan transisi energi melalui skema Just Energy Transition Partnership (JETP) dari negara-negara G7 plus Denmark, Norwegia, dan Irlandia Utara. Kelompok negara tersebut menjanjikan pembiayaan hingga US$20 miliar atau sekitar Rp311 triliun untuk proyek-proyek yang mendukung penurunan emisi di Indonesia.
Kendati begitu, tahun 2022 juga menyisakan catatan kewalahan berulang Indonesia dalam mengelola anggaran subsidi energi fosil. Pemerintah, demi menjaga daya beli masyarakat, terpaksa menaikkan anggaran subsidi energi hingga tiga kali lipat pada 2022 karena lonjakan harga energi fosil sebagai imbas invasi Rusia terhadap Ukraina.
Memasuki 2023, Indonesia sudah seharusnya berfokus pada aksi transisi energi yang lebih radikal. Setidaknya, terdapat tiga aspek yang perlu digenjot Indonesia pada 2023 agar target iklim untuk mencapai emisi nol bersih tidak tergelincir.
Peningkatan kapasitas listrik energi bersih
Pertumbuhan bauran energi terbarukan di Indonesia menurun dari 11,5% pada 2021 menjadi 10,4% pada 2022.
Penurunan ini disebabkan terhambatnya program biodiesel. Peningkatan kapasitas pembangkit listrik energi terbarukan juga amat kecil dibandingkan penambahan kapasitas PLTU sebesar 4 gigawatt (GW) di Pulau Jawa selama 2022. Hal ini merupakan imbas dari pemulihan ekonomi pasca-pandemi yang masih bertumpu pada bahan bakar fosil.
Guna mencapai target emisi 2030, pemerintah perlu mengambil beberapa langkah strategis untuk mempercepat penambahan kapasitas energi terbarukan. Pertama, pemerintah sudah sepatutnya segera merevisi Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) agar sejalan dengan komitmen baru yang tercantum dalam dokumen E-NDC.
Kedua, pengembangan proyek-proyek pembangkit listrik energi terbarukan harus dimulai pada 2023 dan berlanjut hingga 2025 agar dapat mulai beroperasi sebelum 2030.
Seiring peningkatan dukungan global terhadap usaha transisi energi Indonesia, 2023 bisa menjadi tahun emas untuk menggenjot pertumbuhan bauran energi terbarukan. Beberapa proyek energi bersih yang akan mulai beroperasi pada 2023 antara lain pembangkit listrik panas bumi Patuha di Jawa Barat (55 megawatt/MW), pembangkit listrik tenaga air Peusangan di Aceh dan Asahan di Sumatra Utara (45 MW dan 174 MW), serta pembangkit listrik tenaga surya terapung Cirata di Jawa Barat (145 MW).
Dalam rangka mendorong proyek energi terbarukan lainnya, pemerintah perlu mengguyur insentif berupa pengurangan pajak, serta memperjelas dan menyederhanakan proses perizinan untuk investasi energi terbarukan.
Selain itu, regulasi dan insentif untuk instalasi panel surya atap di daerah pemukiman dan perkantoran harus diperbaiki untuk merangsang minat masyarakat menggunakan energi bersih.
Pengembangan industri hidrogen hijau
Hidrogen hijau merupakan bahan bakar yang diproduksi dari energi terbarukan. Energi ini berperan penting untuk memangkas emisi sektor industri yang sulit melakukan elektrifikasi mesinnya. Misalnya industri baja, semen, pupuk, serta alat berat.
Di Indonesia, pengembangan industri hidrogen hijau masih berada di tahap sangat awal.
Dalam dokumen peta jalan menuju emisi nol bersih yang belum dilegalisasi, pemerintah memasang target kapasitas produksi hidrogen hijau sebesar 328 MW pada 2030 kemudian melonjak hingga 52 GW pada 2060.
Namun, implementasi rencana pengembangan hidrogen hijau ini masih terkendala tingginya biaya produksi dan keterbatasan infrastruktur pendukung.
Kendala pengembangan hidrogen hijau di Indonesia harus segera diatasi pada 2023 dengan mengambil beberapa langkah awal.
Pertama, pemerintah perlu menyusun peta jalan terperinci pengembangan industri hidrogen hijau nasional serta kebijakan pendukung. Langkah ini penting untuk membantu tercapainya biaya produksi yang kompetitif serta menarik investasi dari dalam dan luar negeri.
Kedua, proyek percontohan harus segera direalisasikan untuk menunjukkan bahwa industri hidrogen layak secara ekonomi. Tahun ini menjadi titik tolaknya dengan rencana Pertamina memproduksi hidrogen hijau skala percobaan dengan kapasitas 100 kg per hari di Wilayah Kerja Panas Bumi (WKP) Ulubelu, Lampung.
Hilirisasi industri nikel menjadi baterai mobil listrik
Dalam era transisi energi, nikel merupakan komoditas vital karena menjadi salah satu bahan baku utama pembuatan baterai kendaraan listrik.
Indonesia merupakan salah satu negara dengan cadangan nikel terbesar di dunia (21 juta ton). Sayangnya, sebagian besar nikel masih diekspor dalam bentuk bahan mentah atau ore.
Guna meningkatkan nilai komoditas nikel, Indonesia mulai membatasi ekspor bijih nikel demi memenuhi ambisi menjadi “raja” produsen baterai kendaraan listrik dunia. Namun, kebijakan ini tersandung sengketa dengan Uni Eropa.
Pemerintah mesti maju terus untuk mencapai ambisi ini – sembari menyelesaikan sengketa nikel dengan Uni Eropa. Pasalnya, industri pengolahan nikel dalam negeri yang menggeliat bisa memicu ekonomi yang berkelanjutan, serta mendukung program konversi kendaraan bermotor menjadi kendaraan listrik.
Sejauh ini, usaha pemerintah untuk mengolah nikel terkesan setengah hati. Saat ini, bijih nikel hanya diolah menjadi barang setengah jadi yang nilai tambahnya sedikit.
Pada 2023, pemerintah perlu segera merumuskan peta jalan pengolahan nikel yang terarah dan berfokus tujuan akhir, yaitu produk baterai listrik atau kendaraan listrik.
Dengan menggenjot setidaknya 3 aspek transisi energi tersebut, Indonesia berpeluang mencapai target emisi nol bersih pada 2050 sesuai dengan Perjanjian Paris. Harapannya, pertumbuhan ekonomi nasional juga bisa berkelanjutan.
Denny Gunawan, PhD Candidate, ARC Training Centre for the Global Hydrogen Economy, Particles and Catalysis Research Laboratory, UNSW Sydney
Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.