Di tengah pergulatan China mengatasi lonjakan besar penularan virus corona, studi baru yang dilakukan oleh universitas di negara tersebut memperkirakan virus itu telah menginfeksi sekitar 900 juta orang hingga saat ini.
China berhenti merilis data COVID harian setelah berakhir kebijakan nol-COVID. Pemerintah mengklaim jumlah total kematian sejak awal pandemi sekitar 5.200. Namun, banyak pakar kesehatan menganggap jumlah itu sangat kecil.
Studi Peking University menunjukkan sekitar 64% orang di China diperkirakan telah tertular. Jumlah itu diperkirakan meningkat selama arus mudik Tahun Baru Imlek.
Sementara penularan melonjak, jaringan media sosial China pekan ini menampilkan diskusi yang hangat tentang keputusan otoritas kesehatan bahwa obat untuk COVID, Paxlovid, tidak akan ditanggung oleh asuransi kesehatan dasar negara itu setelah 31 Maret.
Badan Asuransi Kesehatan Nasional China merilis pernyataan di situs resminya pada 8 Januari, yang mengatakan bahwa mereka gagal memasukkan obat Paket Kombinasi Nirmatrelvir dan Ritonavir (Paxlovid) untuk obat COVID ke dalam katalog asuransi kesehatan karena tingginya harga yang dikutip Pfizer, produsen obat yang berbasis di Amerika.
CEO Pfizer Albert Bourla mengungkapkan pada konferensi perawatan kesehatan J.P. Morgan di San Francisco pada 9 Januari bahwa pembicaraan dengan China tentang penetapan harga obat itu terhenti setelah China meminta harga yang lebih rendah daripada harga yang dikutip Pfizer untuk sebagian besar negara berpenghasilan menengah ke bawah. “Mereka adalah ekonomi tertinggi kedua di dunia. Menurut saya, tidak seharusnya mereka membayar kurang dari (apa yang dibayar) El Salvador,” kata Bourla, menurut kantor berita Reuters.[ka/ah]
Jika anda merasa konten ini bermanfaat, anda dapat berkontribusi melalui DONASI. Klik banner di bawah ini untuk menyalurkan donasi, agar kami dapat terus memproduksi konten yang bermanfaat
Artikel ini terbit atas kerjasama afiliasi Zonautara.com dengan Voice of America (VOA) Indonesia