Panel Ahli: pemerintah akui pelanggaran HAM berat masa lalu, belum cukup tanpa tanggung jawab hukum

Ronny Adolof Buol
Penulis Ronny Adolof Buol
Ilustrasi dari Pixabay.com / Nikondian



Oleh: Nurul Fitri Ramadhani, The Conversation

Pemerintah Indonesia akhirnya mengakui terjadinya pelanggaran HAM berat masa lalu. Presiden Joko “Jokowi” Widodo pada Rabu, 11 Januari 2023 menyatakan ada 12 kasus pelanggaran HAM yang pernah terjadi di Indonesia dan menyampaikan penyesalannya.

Adapun 12 kasus tersebut yakni Peristiwa 1965-1966; penembakan misterius (Petrus) 1982-1985; Peristiwa Talangsari, Lampung 1989; peristiwa Rumah Geudong dan Pos Sattis, Aceh 1989; penghilangan orang secara paksa 1997-1998; Kerusuhan Mei 1998; Tragedi Trisakti dan Semanggi I-II 1998-1999; pembunuhan dukun santet 1998-1999; tragedi Simpang KKA, Aceh 1999; peristiwa Wasior di Papua 2001-2002; peristiwa Wamena di Papua 2003; dan peristiwa Jambo Keupok, Aceh 2003.

Jokowi berkomitmen bahwa pemerintah akan mengupayakan agar pelanggaran HAM berat tak terjadi lagi di masa yang akan datang dan hak-hak para korban akan dipulihkan secara adil.

Namun, mengakui saja tidak cukup untuk “membayar hutang” pemerintah terhadap para korban dan keluarganya. Menurut para pakar, proses hukum harus jalan terus dan para pelaku yang bertanggung jawab harus tetap diseret ke meja hijau.

Satu langkah maju, tapi belum “lunas”

Abdul Fickar Hadjar – Pakar Hukum Pidana Universitas Trisakti

Dalam hal penanganan HAM, pemerintahan Presiden Jokowi telah melakukan satu langkah maju jika dibandingkan kepemimpinan sebelum-sebelumnya. Baru kali ini ada pengakuan dari negara bahwa memang telah terjadi pelanggaran HAM berat pada masa lalu. Ini menjadi suatu hal baik untuk mendorong proses penegakan hukum berikutnya.

Sebelumnya, sudah bertahun-tahun lamanya, pemerintah Indonesia belum pernah menunjukkan itikad baik untuk mengungkapan kebenaran atas peristiwa pelanggaran HAM masa lalu yang seharusnya juga diikuti dengan permintaan maaf, penegakan hukum, dan pemulihan secara menyeluruh terhadap korban dan keluarganya.

Oleh karena itu, upaya pemerintah ini belum sempurna, karena pelanggaran HAM itu memiliki dua aspek yang harus “dilunasi”: kerugian yang diderita korban dan masyarakat yang terdampak, dan peristiwa hukum terhadap para pelakunya.

Meskipun pemerintah sudah memberikan, atau menjanjikan, pemberian ganti rugi atau apa pun namanya untuk para korban, tetapi peradilan terhadap para pelakunya itu jangan sampai dihentikan. Sebab, ini akan menjadi hutang terus menerus dari zaman ke zaman. Harus ada putusan pengadilan yang menyelesaikan kasus-kasus HAM sesuai dengan masanya.

Pekerjaan rumah pemerintah selanjutnya adalah bekerja sama dengan penegak hukum untuk menyeret para pelaku pelanggar HAM berat itu melalui penyelesaian proses peradilan. Jika ini sudah dilakukan, maka penanganan pelanggaran HAM sudah sempurna.

Masih banyak kasus yang belum disebutkan

Ari Pramuditya – Peneliti Amnesty International Indonesia

Jokowi hanya menyebutkan 12 kasus pelanggaran HAM berat. Padahal selain 12 yang disebutkan itu, masih banyak pelanggaran HAM yang pernah terjadi dan belum diusut tuntas.

Kasus lainnya di antaranya adalah Operasi Militer Indonesia di Timor Timur 1975-1999, peristiwa Tanjung Priok 1984, tragedi kudatuli 1996, operasi kepolisian di Abepura tahun 2000, pembunuhan Theys Eluay pada 2001, pembunuhan Munir 2004, dan peristiwas Paniai 2014.

Pemerintah juga luput mengutarakan dugaan keterlibatan aktor-aktor negara, baik secara langsung atau melalui pembiaran di berbagai pelanggaran HAM.

Padahal di salinan ringkasan Tim Penyelesaian Non-yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat Masa Lalu (PPHAM), peristiwa pelanggaran HAM berat masa lalu terjadi karena tindakan aktif aktor negara, tindakan pengabaian aktor negara, dan saling pengaruh antar budaya.

Jika negara memang ingin serius mengusut tuntas pelanggaran HAM dan mencegah keberulangan, maka negara wajib menyelidiki semua individu yang diduga bertanggung jawab atas terjadinya pelanggaran HAM masa lalu dengan efektif, menyeluruh dan tidak memihak. Negara juga wajib memenuhi hak-hak korban tanpa menegasikan penyelesaian yudisial.

Pernyataan belaka tanpa langkah konkret akan terus melanggengkan impunitas.

Setelah mengakui, lalu apa?

Bivitri Susanti – Dosen Hukum Tata Negara, Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera

Pengakuan Jokowi atas adanya pelanggaran HAM berat perlu diapresiasi, namun pengakuan hanyalah langkah awal dalam rangkaian penyelesaian kasus HAM berat.

Berikut beberapa langkah lain yang harus dilakukan oleh Jokowi selanjutnya yang secara garis besar juga sudah tercantum dalam 11 rekomendasi dari TIM PPHAM.

Pertama, pengungkapan kebenaran secara menyeluruh. Jadi, pemerintah tidak boleh berhenti di pengakuan tentang adanya peristiwa itu.

Kedua, memberikan keadilan kepada korban dan keluarganya, mulai dari meminta maaf pada mereka, menyusun ulang sejarah, memulihkan hak korban, melakukan pendataan kembali korban, serta memulihkan hak konstitusional sebagai korban dan warga negara.

Ketiga, menjamin ketidakberulangan. Negara harus menunaikan kewajibannya dengan melakukan resosialisasi korban dengan masyarakat, membuat kebijakan yang menjamin pelanggaran HAM berat tidak akan terjadi kembali, melakukan upaya pelembagaan dan instrumentasi HAM, serta membangun mekanisme untuk menjalankan dan mengawasi berjalannya perlindungan HAM secara menyeluruh.

Jika Jokowi memang bersungguh-sungguh menyelesaikan “hutang” kasus pelanggaran HAM, maka semua itu harus dijalankan.

The Conversation


Nurul Fitri Ramadhani, Politics + Society Editor, The Conversation

Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.



Jika anda merasa konten ini bermanfaat, anda dapat berkontribusi melalui DONASI. Klik banner di bawah ini untuk menyalurkan donasi, agar kami dapat terus memproduksi konten yang bermanfaat



Share This Article
Follow:
Pemulung informasi dan penyuka fotografi
Leave a comment
WP2Social Auto Publish Powered By : XYZScripts.com