Indonesia masih menjadi negara ketiga dengan kasus kusta terbanyak di dunia. Kementerian Kesehatan (Kemenkes) mengatakan tantangan terbesar dalam mengeleminasi kasus kusta di tanah air adalah stigma buruk yang masih melekat pada masyarakat. Penyakit yang termasuk dalam kategori penyakit tropis terabaikan atau neglected tropical disaeses (NTD) masih sering dianggap sebagai sebuah kutukan.
Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) Kementerian Kesehatan Maxi Rein Rondonuwu mengungkapkan selama kurang lebih dua dekade, Indonesia merupakan negara penyumpang kasus kusta terbanyak nomor tiga di dunia setelah India dan Brazil.
“Secara nasional, (tingkat) prevalensi (kusta) kita sudah di bawah satu per 10 ribu atau saat ini 0,56. Jadi setiap 10 ribu orang, ya sudah enggak satu lagi, sebenarnya sukses. Tapi memang ini belum merata, untuk di provinsi di kabupaten/kota. Data kita masih 200-an kabupaten/kota yang masih prevalensinya masih di atas satu,” ungkap Maxi dalam acara peringatan World Neglected Tropical Diseases (NTD) Day, di Jakarta, Senin (30/1).
Maxi menjelaskan, pada saat pandemi COVID-19, case detection rate (CDR) atau penemuan kasus kusta menjadi stagnan dengan kecenderungan yang meningkat, dimana dari 100 orang, hanya bisa menemukan tiha hingga empat orang penderita kusta dari target yang seharusnya lima orang.
Menurutnya, hal ini juga disebabkan oleh berbagai faktor lainnya seperti kurangnya sumber daya manusia (SDM) berupa tenaga kesehatan yang terlatih di berbagai puskesmas di seluruh pelosok tanah air.
“Sementara melatih tenaga-tenaga untuk penyakit NTD tidak gampang. Boleh dibilang orang (nakes) yang tertarik untuk mengurusi kusta di puskesmas jarang. SDM saya kira penting, dan pelatihannya juga tidak mudah dan mengenali kusta tidak mudah,” tuturnya.
Selain itu, menurutnya tantangan lain dalam mengeliminasi kusta di Indonesia ini adalah stigma negatif masyarakat pada penderita kusta, yang menyebabkan penderita enggan untuk berobat sehingga timbul kecatatan yang sebenarnya sangat bisa dicegah.
“Jadi kusta itu stigmanya lebih besar, kalau orang melihat ada cacat, stigmanya masih sulit dihilangkan. Penemuan atau deteksi dini penyakit kusta itu sangat penting dan sudah dapat diobati dengan tuntas sehingga tidak ada timbul kecatatan,” paparnya.
Sebelas Kabupaten Masih Berjuang Atasi Kusta
Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Imran Pambudi menjelaskan masih ada 11 kabupaten/kota di tanah air yang belum terjadi eliminasi kusta. Temuan terbanyak ada di wilayah timur yakni Papua, Papua Barat, Maluku, Maluku Utara, Sulawesi Utara, Gorontalo dan Sulawesi Barat.
“Dan sampai saat ini yang terdaftar ada 15 ribuan kasus. Kemudian proporsi kasus baru tanpa cacat sudah 83 persen, namun proporsi cacat tingkat dua itu masih sekitar enam persen, dan proporsi kasus baru pada anak masih hampir 10 persen,” kata Imran.
Guna mengeliminasi kusta ini, pihak Kemenkes akan melakukan berbagai strategi, diantaranya penguatan advokasi dan koordinasi lintas program, penguatan peran serta masyarakat dan organisasi kemasyarakatan, penyediaan sumber daya yang mencukupi, serta bagaimana memperkuat sistem surveillance serta pemantauan dan evaluasi.
“Kembali lagi karena kusta ini dampak sosialnya cukup tinggi, maka tidak bisa hanya sektor kesehatan saja yang bergerak. Harus dari sosial, pemda, dan juga teman-teman dari organisasi yang peduli terhadap penderita kusta,” ucap Imran.
Stigma Persulit Pengobatan Kusta
Sementara itu Sri Linuwih dari Departemen Dermatologi dan Venereologi FKUI-RSCM menjelaskan, kusta merupakan penyakit yang menyerang kulit dan syaraf yang disebabkan oleh bakteri yang bernama microbacterium leprim.
“Penyakit ini menular namun memiliki daya tular yang rendah. Jadi kalau kita ketemu dengan penderita, belum tentu kita serta merta sakit minggu depan, itu memerlukan waktu, bulanan, tahunan. Kalau tahunan itu kira-kira lima tahun bahkan bisa sampai 40 tahun baru bisa muncul sakitnya,” ungkap Sri.
Menurutnya, siapa saja bisa terkena penyakit kusta tersebut. di Indonesia sendiri, pasien kusta termuda ada pada balita berusia 2,5 tahun yang kemungkinan besar tertular dari orang dewasa di sekitarnya yang belum diobati.
Meskipun masa inkubasi dan pengobatan penyakit kusta ini cukup panjang, ia menekankan kusta dapat diobati dengan metode Multi Drug Therapy (MTD) yang mana pengobatannya dapat dikominasikan, dan tersedia gratis diberbagai puskesmas.
Penyakit yang termasuk ke dalam kategori NTD tersebut sampai saat ini masih dianggap sebagai sebuah kutukan atau kesialan oleh masyarakat. Sehingga banyak di antaranya terlambat untuk diobati dan menjadi cacat.
“Faktanya penyakit ini karena infeksi, disebabkan oleh bakteri. Mitos lain menyebutkan bahwa bisa menyebabkan jari tangan, jari kaki cacat. Jadi kusta itu identik dengan cacat. Sebetulnya tidak , bisa dicegah untuk tidak cacat, bukan berarti kusta pasti cacat, tidak. Kalau kita temukan dan diobati di awal maka kecatatannya bisa dicegah,” katanya.
Penyakit Kaki Gajah Juga Masih Tinggi
Dalam kesempatan ini, pihak Kemenkes juga melaporkan masih tingginya temuan kasus kaki gajah atau filariasis di Indonesia. Imran memaparkan setidaknya masih ada 8.635 kasus kaki gajah yang terdeteksi di tanah air.
Sedangkan pada tingkat global ada sekitar satu miliar penduduk yang tinggal di 72 negara endemi kaki gajah. Setidaknya ada sekitar 120 juta masyarakat di dunia yang terinfeksi dan 36 juta di antaranya sudah mengalami kecatatan.
Secara nasional katanya, masih ada lima provinsi yang memiliki kasus kaki gajah cukup tinggi yakni Aceh, Jawa Barat, NTT, Papua dan Papua Barat. Selain itu, masih ada 236 kabupaten/kota di 28 provinsi masih masuk ke dalam kategori wilayah endemi kaki gajah.
“Kita akan menggenjot kabupaten/kota agar surveillance-nya ditingkatkan. Kadang-kadang bukannya mereka masih ada, tapi gak termonitor saja, jadi kita tidak ada bukti bahwa dia itu nol. Makanya yang kita lakukan adalah mewajibkan daerah yang endemis ini untuk meningkatkan surveillance selama setahun,” paparnya.
Guna mencegah meluasnya penderita kaki gajah ini, pemerintah akan memberikan obat pencegah kaki gajah secara massal di wilayah yang masih masuk dalam kategori endemi kaki gajah tersebut. Menurutnya hal ini tidak mudah mengingat kesadaran masyarakat yang masih kurang. [gi/em]
Jika anda merasa konten ini bermanfaat, anda dapat berkontribusi melalui DONASI. Klik banner di bawah ini untuk menyalurkan donasi, agar kami dapat terus memproduksi konten yang bermanfaat
Artikel ini terbit atas kerjasama afiliasi Zonautara.com dengan Voice of America (VOA) Indonesia