ZONAUTARA.com – Tim Universalitas Hak Asasi Manusia (HAM)kembali mengikuti sidang di Mahkamah Konstitusi pada Jumat, (14/04/2023). Agenda kali ini adalah pembacaan putusan setelah rangkaian proses pembuktian dilaksanakan. Permohonan dengan Nomor 89/PUU-XX/2022 ini sekaitan dengan pengujian materil Pasal 5 UU Pengadilan HAM yang mengatur mengenai kewenangan Pengadilan HAM untuk memeriksa dan memutus perkara pelanggaran HAM yang berat yang dilakukan di luar batas teritorial wilayah negara Republik Indonesia oleh warga negara Indonesia.
Para Pemohon dalam permohonan ini adalah Marzuki Darusman, Busyro Muqoddas, serta AJI-Indonesia. Permohonan para pemohon pada pokoknya mengenai frasa oleh warga negara Indonesia yang bertentangan dengan konstitusi yang menganut prinsip universalitas hak asasi manusia. Artinya, Pengadilan HAM tidak terbatas pada mengadili pelaku pelanggaran HAM yang berat yang berwarga negara Indonesia, tetapi juga setiap orang, tidak terbatas kewarganegaraannya.
Namun Hakim Mahkamah Konstitusi dalam putusannya menyatakan bahwa permohonan para pemohon ditolak untuk seluruhnya. Atas putusan tersebut, para pemohon beserta kuasanya menanggapi hal tersebut dalam konferensi pers yang dilaksanakan secara online.
Pemohon Organisasi dari Aliansi Jurnalis Independent, yaitu Sasmito Madrim menyampaikan bahwa, “AJI Indonesia kecewa terhadap putusan hakim. Pada pertimbangannya, Majelis Hakim mengakui nilai-nilai universalitas HAM seperti di konstitusi. Tapi, pertimbangan yang diambil hakim adalah pertimbangan politik, bilateral, ekonomi, dan sebagainya. Aspek itu bukanlah kewenangan MK. MK seharusnya mengacu pada konstitusi”.
“Putusan MK juga berarti menutup kemungkinan bagi para korban di Myanmar mendapatkan keadilan. Lebih dari itu, menutup kemungkinan bagi para korban kejahatan HAM di seluruh dunia. Ini tentu kabar mengecewakan bagi rasa kemansiaan kita,” lanjut Sasmito.
Ibnu Syamsu dari Themis Indonesia selaku kuasa hukum juga menyampaikan catatannya. Menurutnya, “Pertimbangan hakim pada awalnya mengakui Indonesia menganut asas universal jurisdiction. Hakim juga mengelaborasi konstitusi yang pernah ada di Indonesia. Akan tetapi, pertimbangan-pertimbangan akhir justru mementingkan aspek politik, diplomasi, dan ekonomi”.
Lebih lanjut Ibnu menyampaikan; “MK tidak mengelaborasi secara dalam, ketika kami menghadirkan saksi-saksi korban. Padahal saksi memperlihatkan peristiwa yang dialami korban di Myanmar. Artinya, menurut kami MK masih parsial dalam melihat masalah ini, lebih berat kepada diplomasi saja”.
Gufroni dari LBH PP Muhammadiyah yang juga selaku kuasa hukum menyampaikan bahwa Hakim dalam putusan tidak mempertimbangkan jumlah korban yang berjatuhan akibat dari kesewenangan junta militer di Myanmar. Indonesia harusnya mengambil peran yang lebih progresif dalam mewujudkan ketertiban dunia dengan menerapkan yurisdiksi universal.
Lebih lanjut, Gufroni menyampaikan bahwa dengan yurisdiksi universal, kita bisa menyeret pelaku pelanggaran HAM Ketika mereka masuk teritori Indonesia.
Mulya Sarmono dari LBH Pers juga menyampaikan bahwa dalam persidangan kita menghadirkan ahli yang menyatakan penerapan yurisdiksi universal di beberapa negara tidak memengaruhi diplomasi. Tapi fakta ini tidak dipertimbangkan oleh hakim MK.
Lebih lanjut, Ia menyampaikan bahwa putusan MK ini sangat mengecewakan. Ini menandakan bahwa kita gagal menjadi masyarakat internasional yang bermartabat, yang tindakannya mengacu pada hak asasi manusia secara universal. (*)