Oleh: Shüné Oliver, National Institute for Communicable Diseases
Artikel ini untuk memperingati Hari Malaria Sedunia, 25 April.
Pada 2017, malaria membunuh 435 ribu orang di seluruh dunia. Sebagian besar kasus kematian – 403 ribu – terjadi di benua Afrika. Mayoritasnya di Afrika sub-Sahara.
Saya dan kolega di Institut Nasional untuk Penyakit Menular melacak kasus malaria dan perilaku nyamuk di Afrika Selatan.
Kami, dalam penelitian, mengamati tiga aspek utama. Salah satunya adalah pengaruh aktivitas manusia terhadap biologi nyamuk. Di sini kami melihat efek polusi logam berat pada berbagai ciri riwayat hidup serta ekspresi resistensi insektisida di Anopheles arabiensis, yang merupakan salah satu spesies nyamuk yang menularkan penyakit malaria.
Kami juga melakukan penelitian mengenai dampak perubahan iklim terhadap kemanjuran insektisida yang ditujukan untuk vektor malaria.
Kami kemudian melihat bagaimana efek suhu yang hangat pada vektor malaria utama, An. arabiensis.
Nyamuk An. arabiensis sangat sulit dikendalikan. Selain resistensi insektisida yang sudah dilaporkan, mereka cenderung menghindari jaring dan dinding yang diberi insektisida. Nyamuk ini juga cenderung menggigit orang di luar ruangan, tempat ini hanya sedikit yang bisa dilakukan untuk perlindungan.
Riset kami bertujuan untuk memahami aspek biologi nyamuk kompleks ini untuk melacak bagaimana perubahan lingkungan mempengaruhi perilaku hewan ini. Mudah-mudahan ini akan menginformasikan strategi pengendalian malaria dan membawa kita lebih dekat untuk menghilangkan penyakit ini.
Racun-racun
Tahap larva nyamuk adalah akuatik atau hidup dekat air. Tahap rentan ini sangat penting untuk kesejahteraan nyamuk dewasa. Ini mirip dengan kesehatan bayi manusia akan menentukan kesehatan masa depan orang dewasa.
Banyak faktor lingkungan larva memiliki efek mendalam pada kesejahteraan nyamuk dewasa. Ini termasuk suhu lingkungan, tingkat kepadatan, dan akses nutrisi. Namun, aktivitas manusia telah mengakibatkan peningkatan tingkat polusi air, dan jentik nyamuk terpapar lebih banyak racun.
Hal ini berdampak besar pada nyamuk penular malaria. Serangga ini biasanya berkembang biak di air bersih, tapi telah beradaptasi dengan berkembang biak di air yang tercemar. Ini berarti vektor malaria sekarang berpotensi meningkatkan jangkauan mereka ke daerah yang malaria biasanya tidak terjadi.
Penelitian kami menunjukkan bahwa sumber air yang tercemar menjadi tempat berkembang biak nyamuk yang toleran atau tahan terhadap berbagai racun. Kami menemukan bahwa nyamuk dewasa yang terpapar logam sejak tahap larva menjadi resisten terhadap insektisida.
Saat ini kami tidak tahu apakah nyamuk yang resisten terhadap insektisida atau rentan lebih baik dalam menularkan malaria. Tapi aktivitas pencemaran menghasilkan perluasan jangkauan dan perubahan prosedur seleksi pada nyamuk.
Suhu pada insektisida dan nyamuk
Penelitian lebih lanjut yang kami lakukan menunjukkan bahwa suhu tinggi juga mempengaruhi kemanjuran (efikasi) insektisida tertentu.
Insektisida umumnya digunakan sebagai intervensi kesehatan masyarakat terhadap vektor malaria di beberapa negara Afrika seperti Afrika Selatan, Kamerun, dan Kenya. Mereka adalah bagian penting dari kebijakan dan strategi pengendalian malaria untuk menghilangkan penyakit tersebut.
Temuan kami penting dalam upaya menentukan kemanjuran insektisida yang saat ini digunakan. Namun, penelitian kami berbasis di laboratorium dalam kondisi terkontrol sehingga masih harus diuji dalam kehidupan nyata. Pasalnya, suhu yang berbeda dapat memiliki efek yang berbeda. Kondisi lingkungan juga bervariasi dan dapat berdampak pada kemanjuran insektisida.
Terkait nyamuk, penelitian kami menunjukkan bahwa suhu dapat berdampak signifikan pada siklus hidup serangga ini. Misalnya, perubahan iklim dapat mempengaruhi distribusi vektor malaria. Kami mempelajari bagaimana kenaikan suhu mempengaruhi vektor utama malaria. Kami berfokus secara khusus pada bagaimana vektor yang resisten terhadap insektisida terpengaruh vektor yang rentan terhadap insektisida.
Nyamuk yang mengembangkan resistensi lebih toleran atau mampu bertahan terhadap suhu tinggi dibandingkan nyamuk yang tidak resisten. Ini berarti bahwa ketika suhu naik, maka nyamuk bisa kebal terhadap insektisida. Ini akan mempersulit pengendalian malaria.
Mengapa kita harus khawatir
Aktivitas manusia mendorong evolusi nyamuk. Kegiatan pencemaran mengakibatkan nyamuk penular malaria meluas ke daerah yang sebelumnya tidak ada. Adaptasi terhadap polusi air menghasilkan peningkatan toleransi terhadap pestisida.
Nyamuk yang tahan insektisida atau toleran lebih baik mengatasi polutan yang lebih beracun. Saat ini tidak diketahui apakah nyamuk ini lebih mungkin menularkan malaria daripada nyamuk yang rentan terhadap insektisida.
Para ilmuwan baru mulai mengungkap apa artinya ini bagi pemberantasan malaria.
Shüné Oliver, Medical scientist, National Institute for Communicable Diseases
Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.