Oleh: Nick Bainton, The University of Queensland dan Deanna Kemp, The University of Queensland
Banyak negara berlomba-lomba memperbanyak penggunaan energi terbarukan. Industri bahan bakar fosil kian surut. Namun, apa yang akan terjadi terhadap tenaga kerja lokal, komunitas, ataupun bisnis yang bergantung padanya?
Dalam konferensi iklim global di Glasgow (COP26) tahun 2021 lalu, perwakilan dunia usaha, pemerintah, dan organisasi masyarakat sipil mendiskusikan bagaimana “just transition” atau “transisi berkeadilan” dapat mengatasi tantangan-tantangan di atas.
Harapannya, proses peralihan ke energi terbarukan ini turut menjamin kepastian pekerjaan yang layak nan pantas bagi pekerja di tambang batu bara, kilang minyak, pembangkit listrik yang segera berakhir.
Walau begitu, penelitian kami menekankan gagasan transisi berkeadilan harus diperluas. Pasalnya, banyak tambang baru yang harus dibuka demi memenuhi kebutuhan bahan mineral untuk infrastruktur energi terbarukan.
Tambang-tambang ini dapat berdampak besar bagi masyarakat, seperti menghasilkan ketimpangan baru, eksklusi sosial, maupun gangguan terhadap sumber daya alam daratan daratan.
Kegagalan menyeimbangkan dampak sosial akibat perubahan iklim dengan aksi yang bertanggung jawab sama saja dengan menukar masalah; bukan mengakhirinya.
Keadilan dalam transisi energi
Dunia akan membutuhkan banyak sekali bahan mineral serta logam untuk teknologi bersih. Misalnya, bijih besi untuk pembangkit listrik tenaga surya maupun angin, tembaga untuk sistem kelistrikan, ataupun nikel untuk baterai.
Sementara, tambang-tambang yang ada saat ini terletak jauh di bawah permukaan tanah, bermutu rendah, lebih boros air dan energi. Tak sedikit pula yang berlokasi di tanah masyarakat adat. Aktivitas pengerukan ataupun pengolahan barang tambang akan memproduksi lebih banyak sisa hasil pertambangan ataupun limbah berbahaya dan beracun.
Proyek-proyek energi bersih seperti panel surya dan kincir angin juga berdampak sosial dan lingkungan. Pasalnya, proyek ini membutuhkan lahan yang besar, sehingga bisa membatasi hak-hak ulayat kaum adat.
Badan Energi Internasional (IEA) memprediksi keuntungan dari industri critical mineral (sumber daya mineral yang penting bagi infrastruktur teknologi bersih) akan melampaui pendapatan industri bahan bakar fosil sebelum 2040. Pertumbuhan fantastis ini akan merangsang pemerintah untuk membuka keran investasi sederas mungkin dan menyetujui proyek pertambangan baru.
Nah, ambisi besar pada investasi akan menguji kepatutan pelaksanaan konsultasi publik, terutama upaya mendapatkan persetujuan informasi yang tanpa paksaan (free, prior and informed consent) dari masyarakat adat.
Pertambangan besar baru juga berisiko memicu kerugian pascatambang. Sejak dulu, pemulihan lingkungan akibat tambang-tambang terlantar menjadi masalah global. Sebab, batuan yang ditambang menghasilkan air asam dan logam berat yang mencemari aliran air selama berpuluh-puluh tahun. Penambangan baru akan memperberat masalah ini.
Salah satu dampak dari penambangan mineral untuk transisi energi terjadi di Australia. Di Sungai McArthur, masyarakat adat setempat terus menolak penambangan timbal dan seng di daerah Borroloola karena merugikan lingkungan dan penduduk setempat.
Penambangan ini mengakibatkan pencemaran bahan berbahaya serta limbah batuan panas.
Beberapa negara tengah berjuang mengamankan material yang dibutuhkan untuk transisi energi mereka. Cina, misalnya, yang memonopoli produksi mineral tanah jarang (rare earth), seperti neodymium yang penting bagi teknologi terbarukan seperti turbin dan kendaraan listrik.
Ketidakpastian pasokan mineral dapat memicu konflik geopolitik baru yang mengganggu era pasar bebas dalam perdagangan komoditas global. Gangguan ini dapat merusak iklim transparansi, sehingga meningkatkan risiko pelanggaran hak asasi manusia (HAM) dalam rantai nilai industri.
Transisi berkeadilan harus menghindari risiko-risiko di atas. Masyarakat di kawasan pertambangan terpencil maupun sepanjang rantai pasok global tidak boleh menjadi tumbal atas nama aksi iklim.
Memperluas jangkauan transisi berkeadilan
Istilah transisi berkeadilan dikenalkan pertama kali oleh pergerakan serikat pekerja pada dekade 1970-an. Istilah ini juga disebutkan dalam mukadimah Perjanjian Paris dan diperkuat dalam Deklarasi Silesia tahun 2018.
Perundingan di Glasgow pada 2021 lalu menjadi pemicu karena menempatkan ide transisi berkeadilan sebagai salah satu agenda pembahasan. Dalam pembukaan konferensi, eks presiden dan pengampanye keadilan iklim, Mary Robinson, menyatakan bahwa transisi energi harus menjunjung tinggi hak asasi manusia, kesetaraan gender, dan hak pekerja di seluruh dunia.
Senada dengan Mary, Sekretaris Jenderal International Trade Union Confederation–konfederasi serikat pekerja global–Sharan Burrow, mengatakan bahwa aksi iklim harus menyejahterakan pekerja maupun komunitas dalam perekonomian hijau yang inklusif (melibatkan semua golongan).
Pernyataan mereka menambah gaung seputar Green New Deal (paket kebijakan yang mendukung pelestarian lingkungan) di berbagai negara.
Institute for Human Rights and Business, lembaga internasional yang mendukung bisnis berkelanjutan, yang mengadakan pertemuan pada COP26 juga berencana menjadi tuan rumah dalam perbincangan seputar transisi energi berkeadilan di setiap konferensi iklim PBB.
Apa yang harus kita lakukan?
Butuh waktu puluhan tahun untuk kita mengangkat dampak sosial perubahan iklim menjadi agenda global. Kini, kita harus lebih berfokus pada dampak sosial aksi iklim.
Prinsip Panduan PBB tentang Bisnis dan Hak Asasi Manusia bisa menjadi acuan. Instrumen ini sangat penting agar perusahaan—pertambangan, teknologi energi terbarukan, dan keuangan— lebih bertanggung jawab terhadap dampak sosial dan lingkungan yang mereka timbulkan.
Prinsip-prinsip di atas mewajibkan sektor bisnis melakukan uji tuntas seputar pemenuhan HAM. Harapannya, usaha mereka tidak membahayakan pekerja, warga lokal, ataupun orang-orang lainnya di sepanjang rantai pasok. Prinsip tersebut juga mewajibkan perusahaan untuk memahami hal apa saja yang berisiko dilanggar HAM, sekaligus bertindak jika ada pelanggaran.
Prinsip ini senada dengan gagasan untuk meng-iklim-kan HAM, maksudnya para peserta bertanggung jawab secara hukum terhadap aksi iklim yang mereka lakukan ataupun dampaknya.
Uni Eropa pun sedang mempertimbangkan aturan kewajiban uji tuntas HAM. Harapannya, pelaku bisnis—mulai dari penambang mineral hingga kontraktor proyek energi terbarukan—dapat mengevaluasi dampak sosial dan HAM atas aksi iklim mereka. Usulan ini menjadi langkah penting agar aksi iklim lebih menghargai HAM.
Inisiatif-inisiatif di atas menjadi batu loncatan kita untuk berubah. Kini, yang kita perlukan adalah langkah nyata untuk mengavaluasi pemenuhan HAM setiap aspek transisi energi.
Itulah mengapa pemantauan progres menjadi penting. Aliansi untuk penerapan bisnis berkelanjutan—-The World Benchmarking Alliance telah meluncurkan alat penilaian transisi energi.
Temuan mereka mencengangkan: korporasi penghasil besar emisi gas rumah kaca gagal memakai pengaruh mereka untuk melindungi masyarakat, mengelola dampak sosial, dan mengadvokasi transisi berkeadilan.
Situasi tersebut perlu segera diubah, seiring naiknya angka pengerukan sumber daya alam di tengah tekanan perubahan iklim yang berisiko menciptakan petaka baru.
Nick Bainton, Associate Professor, The University of Queensland dan Deanna Kemp, Professor and Director, Centre for Social Responsibility in Mining, The University of Queensland
Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.