ZONAUTARA.com – Tim Advokasi Kebebasan Digital (TAKD) menyayangkan amar putusan Majelis Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta yang menolak gugatan terkait dampak pemblokiran delapan platform pada 30 Juli 2022.
Putusan tersebut mengabaikan serangkaian fakta hukum mengenai tindakan pemblokiran oleh Kemenkominfo yang merugikan warga, bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, asas-asas umum pemerintahan yang baik (AUPB), dan prinsip-prinsip HAM.
Amar putusan perkara nomor 424/G/TF/2022/PTUN.JKT tersebut dibacakan secara elektronik (e-court) oleh Majelis Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta pada Selasa 16 Mei 2023. Meskipun belum mendapatkan salinan putusan secara utuh, secara garis besar Majelis Hakim PTUN Jakarta menolak seluruh gugatan dua penggugat individu dan penggugat organisasi yakni Aliansi Jurnalis Independen (AJI).
Selain itu, Tim Advokasi Kebebasan Digital (TAKD) juga menyoroti tidak diakuinya kedudukan hukum (legal standing) Penggugat IV, yakni SINDIKASI untuk mengajukan gugatan tersebut. Putusan ini mengerdilkan posisi serikat pekerja/buruh dalam menjalankan kewajibannya untuk membela kepentingan dan memperjuangkan hak-hak pekerja/buruh yang menjadi anggotanya. Padahal serikat pekerja memiliki hak untuk menggugat sebagaimana tertera dalam Pasal 27 UU Serikat pekerja/serikat buruh maupun preseden dalam Putusan PTUN Bandung Nomor: 9/G/2020/PTUN.
Menurut Tim Advokasi, Majelis Hakim menutup mata atas adanya pelanggaran hak internet (internet rights) yang dialami oleh para penggugat dengan diblokirnya delapan platform oleh Kominfo. Hak internet telah diakui sebagai bagian dari hak asasi manusia (HAM) berdasarkan berbagai instrumen hukum, standar HAM baik nasional maupun internasional.
Pelanggaran hak atas internet tersebut berdampak pula pada pelanggaran hak-hak lain. Hal tersebut terjadi dengan adanya kerugian material dan non-material yang dialami jurnalis dan warga pasca pemblokiran yang dilakukan pada 30 Juli 2022 lalu, khususnya bagi yang bergiat di industri kreatif maupun yang memanfaatkan platform digital sebagai alat penunjang pekerjaannya.
Pengacara Publik LBH Pers, Mulya Sarmono mengatakan Majelis Hakim seharusnya belajar pada Putusan PTUN Jakarta 230/G/TF/2019/PTUN.JKT pada 3 Juni 2020 yang mengabulkan gugatan dan menyatakan tindakan pemblokiran internet di Provinsi Papua dan Papua Barat yang dilakukan oleh Kemenkominfo merupakan perbuatan melanggar hukum oleh badan atau pejabat pemerintahan.
“Putusan tersebut setidaknya memberikan kaidah hukum yang jelas mengenai tindakan pemblokiran internet harus sesuai dengan peraturan perundang-undangan, AUPB, dan prinsip-prinsip HAM,” kata Mulya.
Sedangkan Pengacara Publik LBH Jakarta Fadhil Alfathan mengatakan berulangnya tindakan pemblokiran yang dilakukan oleh Kemenkominfo seharusnya ditangkap sebagai itikad buruk dan ketiadaan niat (political will) untuk memperbaiki tata kelola internet secara demokratis dan menjunjung tinggi prinsip-prinsip HAM. Hal ini menunjukkan bahwa Pemerintah gagal memberikan jaminan tidak berulangnya tindakan-tindakan yang melanggar hak atas internet yang dapat merugikan korban dan masyarakat luas.
“TAKD menilai Majelis Hakim seharusnya mengambil posisinya sebagai benteng terakhir bagi para pencari keadilan dengan mengoreksi tindakan pemerintah yang keliru dan memberikan pemulihan yang efektif dalam kapasitasnya sebagai lembaga peradilan (effective judicial remedies),” kata Fadhil.
Terkait tidak diakuinya legal standing SINDIKASI, Tim Advokasi sebenarnya telah menghadirkan bukti yang menunjukkan bahwa SINDIKASI merupakan serikat pekerja/buruh yang memiliki nomor bukti pencatatan di Suku Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi setempat. Bahkan sebelumnya, SINDIKASI membuka pos pengaduan dan mencatat terdapat 44 anggotanya yang terdampak langsung dari pemblokiran 30 Juli 2022 dengan estimasi kerugian sekitar Rp 136 juta.
Menurut Fadhil, putusan tersebut dapat memberikan preseden buruk bagi serikat pekerja/buruh lainnya yang akan menempuh langkah hukum berupa gugatan ke pengadilan. Padahal langkah ini sebagai pelaksanaan kewajiban serikat pekerja untuk membela kepentingan dan memperjuangkan hak-hak pekerja/buruh.
Sebelumnya, Tim Advokasi Kebebasan Digital menggugat Kementerian Komunikasi dan Informatika ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta pada Rabu, 30 November 2022. Para penggugat terdiri dari dua individu serta dua lembaga nonpemerintah yaitu Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia serta Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif untuk Demokrasi (SINDIKASI).
Gugatan tersebut terkait tindakan Kominfo memutus akses delapan platform digital yang belum melakukan registrasi pada 30 Juli 2022 yakni PayPal, Yahoo, Epic Games, Steam, Dota, Counter Strike, Xandr.com, dan Origin (EA). Pemutusan akses tersebut merupakan pelaksanaan Peraturan Menteri Kominfo No 5 Tahun 2020 /2020, yang diubah melalui Permen Kominfo 10/2021.
Pemutusan akses tersebut menimbulkan kerugian materil dan immateril bagi para penggugat, seperti tidak bisa mengakses delapan aplikasi tersebut serta kehilangan pendapatan dan pekerjaan.