Oleh: Yali Du, King's College London
Microsoft dan Google baru-baru ini menanamkan investasi besar di dua perusahaan terbesar dalam bidang kecerdasan buatan (AI). OpenAI, yang mengembangkan ChatGPT, telah menerima investasi masif sebesar US$10 miliar (Rp 149,4 triliun) dari Microsoft, sementara Google menginvestasikan US$300 juta (Rp 4,4 triliun) di Anthropic.
Dukungan finansial dari para raksasa teknologi ini terhadap AI telah membuat persiangan ketat mereka semakin tersorot publik. Perjuangan Google untuk berebut dominasi dengan Microsoft semakin menguat dan menjadi topik utama dalam diskusi tentang kesuksesan AI pada masa depan.
Google telah memberikan kontribusi yang sangat besar di bidang pengembangan AI, termasuk penemuan transformer – suatu bentuk pembelajaran mesin (machine learning) dengan algoritme terus berkembang dalam menjalankan fungsi-fungsi tertentu seiring “dilatih” dengan data – kemajuan beragam teknik untuk mengotomatiskan terjemahan bahasa dan akuisisi perusahaan AI DeepMind.
Meskipun Google secara konsisten memosisikan dirinya di garis depan pengembangan AI, hadirnya ChatGPT menjadi sebuah tonggak sejarah yang signifikan. Perusahaan OpenAI yang berbasis di California, Amerika Serikat (AS) merilis ChatGPT pada November 2022 dan versi yang lebih canggih, GPT-4, diluncurkan pada Februari 2023.
Kehadiran ChatGPT memicu diskusi luas tentang kecerdasan umum buatan (artificial general intelligence atau AGI) – yakni ketika mesin melampaui kecerdasan manusia. Ini juga menjadi fokus dalam peringatan dari Geoffrey Hinton, seorang tokoh berpengaruh dalam bidang AI, yang dalam beberapa wawancara menguraikan kekhawatirannya tentang teknologi ini setelah mengundurkan diri dari Google awal tahun ini.
Akibatnya, jumlah penelitian yang berfokus pada model bahasa besar (large language models atau LLM) – jenis teknologi AI yang mendasari ChatGPT – melonjak. Topik penelitian lainnya terkait AI, seperti sistem dialog dan pencarian informasi, berpotensi kalah populer.
Di tengah gangguan teknologi yang cepat ini, tampaknya Google takut kehilangan keunggulan teknologinya dan dominasi pasar.
Posisi yang bertolak belakang?
Kekhawatiran Google bukan tanpa alasan. ChatGPT, yang dibuat oleh pesaingnya langsung, telah memanfaatkan teknik pencarian internet rintisan Google untuk menghasilkan keuntungan yang signifikan. Selain itu, perpindahan talenta dari Google ke OpenAI – bersamaan dengan cepatnya perkembangan OpenAI – sepertinya menjadi tren yang mengkhawatirkan bagi sang raksasa mesin pencari.
Ketika OpenAI didirikan, salah satu prinsipnya adalah membuat perangkat lunak yang bersifat “open source” (sumber terbuka). Artinya, perangkat lunak ini tersedia untuk umum dan memungkinkan pengembang untuk berbagi serta memodifikasinya. Google, sementara itu, bertahan dengan pendekatan komersial yang relatif konsisten dalam berbagai rencana dan ambisinya.
Namun, pergeseran OpenAI menuju komersialisme baru-baru ini dan penerapan closed-source – alias membuat sumber-sumber jadi tertutup – tampaknya bertentangan dengan filosofi awal perusahaan ini.
Beberapa “orang dalam” industri mengkritik OpenAI karena pendekatannya yang agak kontradiktif. Meskipun menampilkan dirinya sebagai juara teknologi AI yang menggunakan sumber terbuka, tapi tidak diragukan lagi bahwa OpenAI tetap entitas komersial, sebuah fakta yang memang tidak mudah mereka akui.
Ketegangan antara citra publik OpenAI dan realitas bisnis ini telah membuat persaingannya dengan Google semakin menarik.
Salah satu hal yang mungkin muncul dari kompetisi ini adalah evolusi dan penyempurnaan teknologi AI yang terus berlanjut, didorong oleh kebutuhan untuk tetap unggul di pasaran. Teknik-teknik Google, yang sebelumnya dieksploitasi oleh OpenAI untuk keuntungan komersial, mungkin akan mengalami inovasi lebih lanjut.
Evolusi ini tidak hanya akan meningkatkan fungsionalitas aplikasi AI, tetapi juga akan sangat meningkatkan pengalaman pengguna.
Yusuf Mehdi, Wakil Presiden Korporat di Microsoft, baru-baru ini mengindikasikan bahwa perusahaan tersebut merasa tidak perlu merombak lanskap persaingan mesin pencari, mengingat peningkatan hanya satu poin saja dalam pangsa pasar sudah sama dengan kenaikan nilai sebesar US$2 miliar (Rp 30,1 triliun). Perampingan strategis terkait ambisi ini bisa menjadi upaya untuk mengurangi tekanan persaingan di industri teknologi.
Pengawasan yang lebih ketat
Perlu dicatat bahwa asosiasi Microsoft dengan OpenAI telah mempertebal persaingan yang sudah kompleks ini. Google juga telah menunjukkan keinginan untuk berinvestasi dalam proyek-proyek AI eksternal untuk memperluas pengaruhnya.
Investasi Google di Anthropic, sebuah perusahaan riset AI, misalnya, mencerminkan strategi Google untuk mempertahankan keunggulan teknologinya melalui kemitraan strategis.
Salah satu kekhawatiran yang dirasakan banyak orang, termasuk saya, adalah potensi misinformasi, disinformasi, dan distorsi yang dibuat oleh ChatGPT. Dengan lebih dari 200 juta pengguna, teknologi ini melayani sekitar 2,53% dari populasi global.
Disinformasi yang tersebar luas di media sosial telah secara signifikan mengikis kepercayaan pada konten-konten online dan bahkan dilaporkan telah memengaruhi pemilihan presiden AS tahun 2016.
Dengan basis pengguna yang begitu luas untuk ChatGPT, mungkin saja perusahaan teknologi bisa memanipulasi percakapan, memengaruhi preferensi dan keputusan pengguna secara halus dengan berbagai cara. Oleh karena itu, kebutuhan akan pengawasan dan regulasi yang lebih kuat terhadap model bahasa besar ini menjadi semakin mendesak.
Terlepas dari meningkatnya persaingan atas AI, Google tetap menjadi entitas yang dihormati di industri teknologi global. Persaingan AI antara Google dan Microsoft telah mendorong kedua perusahaan untuk mendobrak batasan-batasan teknologi ini. Hal ini menjanjikan kemajuan yang menarik pada tahun-tahun mendatang.
Berbagai strategi yang digunakan dalam kompetisi ini, mulai dari akuisisi talenta hingga investasi strategis, mencerminkan betapa besarnya pertaruhan dalam lanskap AI. Secara khusus, memperoleh talenta terbaik memungkinkan perusahaan-perusahaan ini meningkatkan kemampuan AI mereka, sehingga memberi mereka keunggulan kompetitif.
Investasi strategis, di sisi lain, memungkinkan diversifikasi dan perluasan ke berbagai aplikasi dan sektor AI baru, sehingga meningkatkan pengaruh dan pangsa pasar mereka di bidang AI. Ini semua menunjukkan tingginya nilai dan potensi teknologi AI dalam membentuk masa depan kita.
Yali Du, Lecturer in Artificial Intelligence, King’s College London
Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.