Paus Fransiskus akan bertolak ke Portugal pada minggu depan untuk menghadiri pertemuan global umat muda Katolik. Lawatan itu dilakukan saat negara tersebut bergulat dengan sejumlah laporan pelecehan seksual terhadap anak-anak yang dilakukan oleh anggota gereja selama beberapa dekade.
Paus berusia 86 tahun itu dijadwalkan akan tiba di Lisbon pada Rabu (1 Agustus) dan diperkirakan akan bertemu secara pribadi dengan para korban pelecehan klerus selama kunjungan lima harinya untuk menghadiri Hari Pemuda Sedunia.
Penyelenggara memperkirakan hingga satu juta orang akan mengikuti acara yang digelar pertama kali sejak 2019 akibat pandemi COVID-19.
Kunjungan itu dilakukan setelah komisi independen menerbitkan sebuah laporan pada Februari yang menemukan “setidaknya” 4.815 anak dilecehkan secara seksual oleh anggota rohaniawan di negara itu – kebanyakan pendeta – sejak 1950.
Penyelidikan, berdasarkan kesaksian dari lebih dari 500 korban, menyimpulkan hierarki Gereja Portugal “secara sistematis” berusaha menyembunyikan pelecehan tersebut.
Hasil penyelidikan, yang dilakukan oleh gereja di Portugal, menodai institusi di negara yang 80 persen dari populasi penduduk yang berjumlah sekitar 10 juta jiwa mengidentifikasi diri sebagai umat Katolik Roma.
Sebuah jajak pendapat yang dilakukan Universitas Katolik Portugal di Lisbon menunjukkan 68 persen dari seluruh warga Portugal merasa citra gereja memburuk.
Hierarki Gereja Portugal telah meminta maaf kepada para korban dan mengakui bahwa “budaya gereja” harus direformasi.
Namun, terlihat ada perpecahan di dalam tubuh gereja. Beberapa uskup terlihat lebih enggan untuk menghentikan para rohaniwan yang dikeluhkan dalam aksi pelecehan tersebut.
Akhir dari Tabu
Menyusul perilisan laporan tersebut, gereja membentuk komisi independen baru untuk mendukung para korban pelecehan. Mereka mengumpulkan pengaduan baru dan mengawal para pelaku untuk mencegah mereka melakukan tindakan serupa kembali.
“Liputan media tentang subjek tersebut telah mengeluarkannya dari hal-hal tabu,” kata psikolog Rute Agulhas, koordinator kelompok itu, kepada AFP. Dia menambahkan bahwa pihaknya telah menerima 20 pengaduan baru sejak didirikan.
Namun Filipa Almeida, salah satu dari tiga pendiri asosiasi pertama Portugal yang mewakili korban pelecehan seksual oleh anggota rohaniwan, mengatakan reformasi terlalu lambat.
“Sedikit yang telah dilakukan berkat tekanan media,” tambah pria berusia 43 tahun dari wilayah tengah Coimbra itu.
Almeida diperkosa oleh seorang pendeta saat melakukan pengakuan dosa saat dia berusia 17 tahun. Dia mengaku kecewa karena tidak diundang untuk berpartisipasi dalam pertemuan paus dengan para korban pelecehan.
“Penting untuk berbagi dengannya perasaan kami dan, di atas segalanya, untuk berbagi dengannya proposal kami,” katanya kepada AFP.
Konferensi Wali Gereja Portugis mengatakan dalam sebuah pernyataan bahwa itu akan menjadi “pertemuan pribadi” dan “tidak ada informasi sebelumnya yang akan disampaikan untuk menjaga identitas para korban.”
Langkah Pertama
Ribuan laporan terkait pedofilia di dalam Gereja Katolik muncul di seluruh dunia dalam beberapa tahun terakhir, dan hal tersebut menjadi tantangan bagi Paus.
Paus Fransiskus mengakui pada 2018 bahwa dia membuat “kesalahan besar” dalam menangani skandal pelecehan klerikal di Chili. Paus meminta maaf dengan mengundang para korban pelecehan – yang sebelumnya ragukan– untuk mengunjungi Roma.
Dia mengadakan pertemuan puncak yang belum pernah terjadi sebelumnya tentang pelecehan seksual yang dilakukan para pendeta pada tahun berikutnya. Paus melakukan reformasi yang mencakup kewajiban baru untuk melaporkan masalah pelecehan dan upaya untuk menutupi kejahatan itu.
Penyelenggara Hari Pemuda Sedunia di Portugal meminta Asosiasi Dukungan Korban Portugis (APAV) untuk melatih staf acara dan sukarelawan untuk menangani laporan pelecehan seksual.
Organisasi tersebut akan hadir di dua tempat di mana para jemaat diharapkan berkumpul untuk memberikan dukungan secara emosional atau hukum kepada siapa pun yang membutuhkannya, kata Carla Ferreira, yang bertanggung jawab atas masalah pelecehan seksual anak di APAV.
“Apa yang kami inginkan di dalam Gereja Katolik adalah apa yang kami inginkan untuk seluruh masyarakat: masyarakat yang tidak menoleransi dan tidak terlibat dalam situasi kekerasan,” katanya kepada AFP.
“Apa yang kami lihat adalah langkah pertama dan akan membutuhkan lebih banyak lagi,” tambahnya. [ah/ft]
Jika anda merasa konten ini bermanfaat, anda dapat berkontribusi melalui DONASI. Klik banner di bawah ini untuk menyalurkan donasi, agar kami dapat terus memproduksi konten yang bermanfaat
Artikel ini terbit atas kerjasama afiliasi Zonautara.com dengan Voice of America (VOA) Indonesia