Oleh: Andi Misbahul Pratiwi, University of Leeds
Indonesia perlu memiliki dokumen kebijakan dan strategi mengatasi perubahan iklim yang lebih melek gender alias responsif gender. Ini sekaligus menjadi pemenuhan komitmen Indonesia sebagai negara anggota Konvensi Kerangka Kerja Perubahan Iklim Badan Perserikatan Bangsa Bangsa (UNFCCC).
Aspek gender penting karena banyak penelitian mengungkapkan bahwa dampak pemanasan global lebih berat bagi perempuan ataupun kelompok gender minoritas. Misalnya, perempuan di wilayah pesisir Lombok, Nusa Tenggara Barat dan wilayah pertanian Lamongan, Jawa Timur. Mereka harus menanggung beban kerja lebih banyak saat terjadi kekeringan, banjir, dan gagal panen akibat perubahan iklim.
Pengarusutamaan gender (PUG) pun krusial untuk memastikan perempuan, laki-laki, dan kelompok lainnya mendapatkan akses, partisipasi, kontrol, serta manfaat yang sama dari kebijakan dan program adaptasi dan mitigasi perubahan iklim.
Meski masih memiliki banyak kebijakan yang diskriminatif, Indonesia mengalami banyak kemajuan dalam hal kebijakan yang pro-gender di bidang ekonomi, politik, hukum, hingga budaya.
Lalu, sejauh mana dokumen-dokumen iklim Indonesia responsif gender?
Untuk menganalisis hal tersebut, saya menelaah tujuh dokumen kebijakan iklim Indonesia. Hasilnya: jangankan responsif terhadap masalah gender, data yang terpilah gender saja tidak ada.
Analisis Gender
Saya menganalisis tujuh dokumen kunci adaptasi perubahan iklim yang dimiliki Indonesia:
- Peta Jalan Sektoral Perubahan Iklim Indonesia diterbitkan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) tahun 2010
- Rencana Aksi Nasional Adaptasi Perubahan Iklim, diterbitkan Bappenas pada 2014
- Rencana Adaptasi Nasional, diterbitkan Bappenas pada 2019
- Peta Jalan Kontribusi Iklim Nasional (Nationally Determined Contribution atau NDC) untuk Adaptasi Perubahan Iklim diterbitkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan tahun 2020
- Strategi Jangka Panjang Indonesia untuk Pembangunan Rendah Karbon dan Ketahanan Iklim 2050 yang ditebitkan Kementerian Lingkungan tahun 2021
- Kebijakan Pembangunan Berketahanan Iklim 2020-2045 diterbitkan Bappenas tahun 2021, dan
- Komunikasi Adaptasi Indonesia diterbitkan Kementerian Lingkungan tahun 2022.
Salah satu alat untuk menganalisis dan menyusun kebijakan yang responsif gender adalah Gender Analysis Pathway (GAP) yang diterbitkan Bappenas pada 2001. Dokumen ini bertujuan membantu para perencana untuk mengarusutamakan gender dalam perencanaan kebijakan, program, maupun kegiatan pembangunan.
GAP memuat sembilan langkah dalam melihat apakah sebuah kebijakan telah responsif gender:
1) analisis terhadap tujuan kebijakan
2) data terpilah gender
3) mengenali isu kesenjangan gender
4) menemukenali isu gender di internal lembaga
5) menemukenali isu gender di eksternal lembaga
6) rumusan kebijakan
7) rumusan rencana aksi
8) pengukuran hasil, dan
9) indikator gender.
Kesembilan langkah tersebut terbagi dalam 3 tahap, yaitu tahap analisis kebijakan yang responsif gender (langkah 1-5), tahap formulasi kebijakan yang responsif gender (langkah 6-7), dan tahap pengukuran hasil (langkah 8-9).
Sesuai langkah pertama dalam GAP, saya pun mengecek tujuan terbitnya dokumen tersebut. Hasilnya, semua dokumen telah memasukkan “gender” sebagai isu penting dalam agenda pembangunan ramah iklim di Indonesia.
Kendati disebutkan, kedalaman pembahasan terkait isu gender antardokumen masih sangat beragam. Misalnya, kata “gender” hanya disebut satu atau dua kali dalam beberapa dokumen.
Ada beberapa dokumen yang memasukkan isu gender dengan cukup serius, yakni tiga dokumen yang diterbitkan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK): Peta Jalan NDC untuk Adaptasi Perubahan Iklim, Strategi Jangka Panjang Pembangunan Rendah Karbon dan Ketahanan Iklim 2050, dan Komunikasi Adaptasi Indonesia.
Peta Jalan Kontribusi Iklim Nasional (Nationally Determined Contribution atau NDC) untuk Adaptasi Perubahan Iklim, misalnya, menyebutkan upaya memasukkan perspektif gender dalam adaptasi perubahan iklim sangat penting untuk mewujudkan adaptasi yang lebih inklusif dan efektif.
Ada juga satu dokumen terbitan Bappenas: Kebijakan Pembangunan Berketahanan Iklim 2020-2045. Dokumen ini memiliki 5 buku turunan yaitu: a) Buku 1: Daftar Aksi dan Lokasi Ketahanan Iklim; b) Buku 2: Kelembagaan untuk Ketahanan Iklim; c) Buku 3: Peran Lembaga Non-Pemerintah dalam Ketahanan Iklim; d) Buku 4: Pendanaan Ketahanan Iklim; e) Buku 5: Pemantauan, Evaluasi, & Pelaporan Aksi Ketahanan Iklim dalam Kerangka Perencanaan Pembangunan Nasional.
Buku 1-3 dan 5 menyebutkan perspektif dan kesetaraan gender sebagai aspek penting dalam adaptasi dan mitigasi perubahan iklim. Kata gender juga lekat dengan konsep inklusivitas dalam kebijakan iklim.
Namun, kata gender justru tidak muncul sama sekali dalam Buku 4: Pendanaan Ketahanan Iklim.
Hal ini sangat disayangkan karena agenda adaptasi dan mitigasi perubahan iklim akan sulit berjalan maksimal tanpa kebijakan pendanaan yang responsif gender.
Misalnya, di tingkat nasional, semestinya ada aturan khusus guna meningkatkan kepatuhan kementerian/lembaga dalam merencanakan pembiayaan iklim yang responsif gender.
Sementara di tingkat daerah, pengelolaan dana desa untuk adaptasi iklim sepatutnya turut mengakomodasi suara, aspirasi, dan kepentingan perempuan dan kelompok rentan.
Hasil telaah di atas juga menunjukkan bahwa adopsi isu gender lebih maju pada dokumen-dokumen yang terbit sejak tahun 2020.
Pertanyaan selanjutnya: apakah cukup isu gender hanya disebutkan dalam dokumen?
Data terpilah gender tak tersedia
Selanjutnya, kita memerlukan langkah 2 hingga langkah 9 untuk memastikan sebuah kebijakan telah responsif gender.
Nah, terkait hal ini, saya terbentur di langkah 2 yaitu analisis data yang terpilah gender (langkah 2). Data ini, misalnya, berkaitan dengan jumlah perempuan dan laki-laki yang berpotensi kehilangan pekerjaan akibat krisis iklim baik di perkotaan maupun perdesaan.
Tak ada satupun dokumen iklim yang menyediakan data semacam itu. Kalaupun disinggung, data terpilah gender hanya disebutkan dalam dokumen Komunikasi Adaptasi Indonesia (2022) sebagai tantangan yang sedang dihadapi Indonesia.
Tanpa data terpilah gender, kita akan sulit melakukan telaah lanjutan, misalnya analisis kesenjangan gender (langkah 3).
Indonesia dapat belajar dari Pemerintah Kanada yang memiliki data terpilah berdasarkan jenis kelamin, usia, ras, etnisitas, pendapatan, lokasi tempat tinggal. Data ini mereka gunakan untuk memahami dampak perubahan iklim dan situasi rentan kelompok tertentu, sekaligus mendesain kebijakan dan program adaptasi iklim selanjutnya.
Jika Indonesia tak melakukan ini, risikonya tidak akan ada perumusan indikator gender (langkah 9) yang konkret untuk agenda mitigasi dan adaptasi iklim nasional.
Peran Kementerian Perempuan belum optimal
Hasil telaah saya juga menunjukkan kebijakan adaptasi iklim belum melibatkan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak di dua klaster: infrastruktur dan teknologi.
Sejauh ini Kementerian Perempuan hanya terlibat dalam program klaster peningkatan kapasitas dan klaster tata kelola dan pendanaan. Padahal, keterlibatan di seluruh klaster sangat krusial untuk memastikan pembangunan berketahanan iklim yang responsif gender.
Apalagi, Kementerian Perempuan berpengalaman menerbitkan Panduan Umum Adaptasi Perubahan Iklim yang Responsif Gender.
Panduan tersebut menegaskan pengarusutamaan gender dalam adaptasi perubahan iklim tak hanya diperlukan pada level kebijakan. Aspek gender mesti diarusutamakan dalam program, aktivitas, sistem pengetahuan, dan kondisi konkret di lapangan. Dokumen ini juga menyediakan alat analisis untuk menilai kualitas pengarusutamaan gender.
Langkah ke depan
Indonesia dapat mencontoh langkah Kanada, Kenya, Vanuatu, Rwanda, and Fiji yang dianggap telah mearustamakan gender secara baik dalam dokumen komitmen iklimnya, atau Nationally Determined Contributions (NDCs).
Dokumen NDC Kanada, misalnya, menyebutkan langkah serius untuk memastikan keadilan dalam kebijakan iklim mereka menggunakan instrumen-instrumen perencanaan dan pengukuran seperti Gender Based Analysis Plus (GBA+) dan Gender Budgeting Act.
Untuk memastikan pengarusutamaan gender dalam kebijakan iklim, Indonesia memerlukan kerja sama antar lembaga.
Isu gender bukanlah isu yang terpisah dan hanya menjadi urusan Kementerian Perempuan saja, tetapi semua pihak. Ketersediaan data terpilah gender masih menjadi pekerjaan besar Indonesia, bahkan tidak hanya terkait persoalan perubahan iklim.
Konferensi iklim tahunan PBB atau COP 28 yang akan diselenggarakan pada November mendatang menjadi pengingat untuk pentingnya menjadikan “gender” tak hanya sekadar jargon dan lisptik dalam kebijakan publik. Ini pun tak hanya untuk Indonesia, tetapi juga negara lain.
Andi Misbahul Pratiwi, PhD Student, University of Leeds
Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.