Oleh: Jatna Supriatna, Universitas Indonesia
Artikel ini merupakan bagian dari serangkaian analisis untuk meramaikan perhelatan Wallacea Science Symposium di Universitas Hasanuddin, Makassar, pada 13 – 15 Agustus 2023.
Wallacea adalah wilayah daratan dan lautan seluas 338 ribu km2 yang penuh keajaiban dan keunikan.
Wilayah ini membentang dari pulau Lombok dan Sulawesi di sebelah baratnya sampai kepulauan Maluku di timur. Di utara, Wallacea membentang dari Kepulauan Talaud (Sulawesi Utara) hingga Kabupaten Rote Ndao di selatan. Batas-batas tersebut digambarkan dalam garis imajiner yang disebut Wallacea line.
Wallacea dihuni oleh berbagai jenis hewan dan tumbuhan campuran dari wilayah Asia dengan Australia dan Papua. Ada ratusan jenis burung, mamalia kecil dan sedang, primata, reptil, dan tumbuhan-tumbuhan di di wilayah ini. Sebagian di antaranya adalah spesies endemik alias tidak akan ditemui di daerah lainnya.
Tengok saja spesies seperti komodo, anoa, tarsius, babi rusa, hingga lebah raksasa, yang merupakan spesies asli penghuni pulau-pulau yang tersebar di Wallacea. Ini belum dihitung dengan kekayaan laut di Wallacea yang termasuk dalam kawasan Segitiga Karang Dunia (Coral Triangle)–wilayah dengan keanekaragaman makhluk perairan yang luar biasa.
Ialah Alfred Russel Wallace, naturalis asal Inggris yang pertama kali menjelajahi keanekaragaman hayati di wilayah ini. Dia membukukan catatan perjalanan bersama ratusan asistennya dalam Malay Archipelago (Kepulauan Melayu). Tahun ini menjadi penanda 200 tahun kehidupan Wallace yang lahir pada Januari 1823.
Dua abad berlalu setelah kelahiran Wallace. Kawasan Wallacea sudah jauh berubah dari apa yang naturalis itu amati. Saya melakukan banyak penelitian di kawasan ini sejak dekade 80-an dan merasa risau dengan sesaknya aktivitas baik pertambangan, perkebunan, pembangunan infrastruktur, maupun alih fungsi lahan lainnya di Wallacea.
Sesaknya pembangunan
Sejak empat dekade silam, saya melakukan banyak studi di kawasan Wallacea. Misalnya tentang kehidupan primata, ataupun mamalia terkecil tarsius, yang tersebar di pulau-pulau besar maupun kecil.
Saat itu, hutan-hutan di sekitar Sulawesi, Maluku, dan kepulauan sekitarnya belum banyak dibabat. Deforestasi pada tahun-tahun tersebut lebih banyak berlangsung di Sumatra dan Kalimantan. Belakangan perambahan hutan juga terjadi di Papua.
Namun, pada akhirnya Wallacea terimbas juga. Mulai dari perkebunan sawit di Sulawesi Barat, pembukaan lahan dan pembangunan di kawasan ini terus terjadi.
Berdasarkan penelitian saya, Sulawesi telah kehilangan sekitar 10,89% wilayah hutannya selama periode 2000-2017–setara dengan sekitar 2,07 juta hektare. Sulawesi Barat dan Sulawesi Tenggara mencatat tingkat deforestasi tertinggi dengan kehilangan masing-masing sekitar 13,41% dan 13,37% dari tutupan hutan pulau Sulawesi dalam kurun waktu tersebut.
Pada dekade terakhir, perusahaan juga berbondong-bondong datang merambah hingga ke pulau-pulau kecil di Maluku maupun di sekitar Sulawesi. Hutan dan ekosistem lainnya dibabat untuk perkebunan sawit, coklat, maupun kakao. Ada pula untuk pencarian serta penambangan nikel–komoditas bahan baku baterai mobil listrik yang tengah digandrungi di seluruh dunia. Mayoritas cadangan nikel dunia ada di Wallacea.
Pertambangan nikel memang ada sejak puluhan tahun silam, tapi hanya di beberapa wilayah seperti di Sulawesi Selatan bagian timur. Kini, banyak tanah-tanah di Sulawesi dan pulau sekitar yang dikeruk penambang tanpa memperhatikan pengelolaan lingkungan yang baik. Ada di antara mereka yang membuang sisa pertambangan (tailings) ke laut.
Selain pertambangan dan perkebunan, kawasan Wallacea juga marak digunakan untuk Proyek Strategis Nasional. Ada lebih dari 40 proyek strategis di kawasan ini, mulai dari bendungan, jalan, infrastruktur kereta api, lapangan minyak dan gas bumi, dan sebagainya.
Cepatnya pembangunan sungguh terasa. Di laut, ekosistem penting seperti terumbu karang banyak yang rusak akibat praktik perikanan berlebihan dan destruktif.
Di sebagian daratan dan pulau-pulau di Wallacea, berkurangnya tutupan hutan mengakibatkan homogenisasi atau penyempitan keberagaman jenis burung. Kelangsungan populasi kera dan tarsius juga terancam karena laju deforestasi. Ini belum dihitung dengan penurunan biodiversitas tumbuhan di Wallacea akibat pembukaan lahan.
Langkah ke depan
Dunia harus benar-benar memperhatikan kelangsungan serta keutuhan ekosistem di Wallacea. Tanpa upaya perlindungan yang serius, hutan-hutan di kawasan ini dapat berubah menjadi gurun-gurun. Warna-warni terumbu karang dapat berbalik menjadi kuburan bawah laut yang tak lagi dihampiri makhluk perairan.
Selain meredam laju alih fungsi lahan, Indonesia bersama dunia harus berusaha keras meredam laju perubahan iklim yang memicu kenaikan air laut sehingga pulau-pulau di Wallacea berisiko tenggelam.
Semua pihak harus duduk bersama: pemerintah, ilmuwan, perusahaan tambang, perkebunan, pelaku pariwisata, hingga masyarakat adat untuk membicarakan usaha perlindungan Wallacea di masa depan.
Kepentingan inilah yang mendasari kami untuk mengadakan Wallacea Science Symposium pada pertengahan Agustus ini di Sulawesi Selatan. Selain mengenalkan keajaiban dan keunikan Wallacea, forum ini sepatutnya menjadi ajang seluruh pihak untuk merencanakan pembangunan yang ramah lingkungan agar ekosistem Wallacea tetap terjaga.
Jatna Supriatna, Professor of Conservation Biology, Universitas Indonesia
Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.