Oleh : Wawan Kurniawan, Universitas Indonesia
ZONAUTARA.com – Influencer atau pesohor media sosial telah menjadi kekuatan penting dalam lanskap politik modern. Dengan basis pengikut yang besar dan loyal, mereka memiliki kemampuan untuk memengaruhi opini publik. Melalui unggahan mereka yang dirancang sedemikian rupa, influencer ini tidak hanya menyampaikan informasi tetapi juga mengekspresikan pendapat pribadi yang dapat memengaruhi pemikiran dan perilaku pemilih.
Barack Obama adalah salah satu politikus pertama yang memanfaatkan kekuatan media sosial dan influencer secara efektif. Dia menggunakan selebritas dan influencer populer seperti Oprah Winfrey, yang memiliki pengaruh besar di kalangan pemilih Amerika Serikat (AS) untuk menjangkau pemilih muda dan beragam secara demografis. Jokowi pun melakukan hal serupa saat melakukan kampanye.
Terbaru, calon presiden (capres) Prabowo Subianto, menggandeng para influencer kondang, seperti Raffi Ahmad, Rachel Vennya, Ria Ricis, Nagita Slavina, Deddy Corbuzier, dan Atta Halilintar saat peresmian Grha Utama akademi militer (Akmil) di Magelang, Jawa Tengah.
Keberadaan influencer dalam politik saat ini merefleksikan pergeseran dari kampanye tradisional ke strategi yang lebih terfokus pada media sosial dan pemasaran digital. Lalu apa dampak keterlibatan mereka dalam kampanye politik?
Kekuatan influencer
Terdapat beberapa alasan mengapa influencer dapat berperan penting dalam usaha meraup suara, di antaranya:
1. Jangkauan audiens
Influencer mampu mencapai audiens dengan jangkauan yang luas secara instan, sehingga menjadikan mereka pilihan efektif dalam mendapatkan dukungan politik.
Dengan satu unggahan di media sosial, mereka dapat menyebarkan pesan, baik itu mendukung atau menentang kebijakan atau kandidat, ke jutaan orang dalam hitungan detik. Ini menciptakan efek domino yang bisa mengubah jalannya sebuah kampanye.
Kita bisa melihat bagaimana kekuatan media sosial berdampak pada kejadian Arab Spring. Saat itu, demonstrasi dan unggahan di situs seperti Facebook dan Twitter digunakan untuk mencoba melakukan protes dan memobilisasi massa. Hasilnya, beberapa pemerintahan di wilayah tersebut mengalami perubahan dan revolusi politik. Di pemilu AS, Donald Trump yang aktif di Twitter, terus memberikan berbagai narasi yang membangun dukungan kuat di antara pengikutnya.
2. Ilusi keterwakilan
Influencer sering dianggap sebagai ‘one of us’ atau bagian dari masyarakat umum. Mereka memiliki pengikut dan mampu memberikan opini yang membentuk pandangan followers atau pengikutnya sendiri. Pesan mereka mudah untuk diterima dan diikuti para pengikutnya, karena terasa lebih nyata dan dapat dipercaya, dibandingkan dengan iklan politik tradisional.
Sebuah riset membuktikan bahwa komunikasi influencer tentang topik politik atau isu-isu tertentu dapat meningkatkan minat politik pemilih khususnya kaum muda, hal ini disebabkan oleh penggambaran topik sosial-politik yang dianggap lebih mudah dipahami dan menarik dalam konten yang diberikan influencer.
Risiko keterlibatan influencer dalam politik
1. Akurasi dan bias
Dalam konteks politik, masalah kepercayaan dan verifikasi fakta menjadi lebih krusial, karena informasi yang salah atau menyesatkan dapat tersebar dengan cepat melalui influencer.
Sejumlah temuan di Jerman menunjukkan bahwa selain memiliki kekuatan untuk memobilisasi dukungan, influencer juga bisa menyebarkan propaganda atau informasi yang bias, baik disengaja maupun tidak, yang dapat memengaruhi pemilih pemula.
Apalagi, seperti halnya media tradisional, influencer dapat memiliki agenda tersendiri. Mereka sering kali bekerja dengan tim yang membantu menyusun pesan dan strategi mereka, yang mungkin tidak sepenuhnya transparan. Berdasarkan temuan Indonesia Corruption Watch (ICW), influencer bahkan dijadikan alat pemerintah untuk menyampaikan pesan atau agenda tertentu.
Hal itu dapat dilihat dari anggaran belanja pemerintah untuk aktivitas digital, yang berdasarkan kata kunci “influencer” atau “key opinion leader” yang pada periode 2017‒2020 ada 40 paket dengan nilai Rp90,45 miliar.
Dari 40 paket, jumlah terbanyak terdapat di Kementerian Pariwisata dengan 22 paket. Selanjutnya Kementerian Pendidikan, Budaya dan Pendidikan Tinggi dengan 12 paket, Kementerian Komunikasi dan Informasi 4 paket, dan Kementerian Perhubungan serta Kementerian Pemuda dan Olah Raga masing-masing 1 paket. Ini menimbulkan pertanyaan tentang integritas pesan yang disampaikan.
2. Efek halo
Influencer memiliki pengikut yang besar dan beragam. Berdasarkan data AJ Marketing, Raffi Ahmad dan Nagita Slavina yang digandeng pasangan Prabowo-Gibran termasuk dalam Top Instagram Influencers in Asia. Mereka berhasil menempati peringkat kedua dengan jumlah followers Instagram sebanyak 67,7 juta akun per 16 Maret 2023.
Dengan mendukung kandidat tertentu, mereka dapat meningkatkan kesadaran publik terhadap kandidat tersebut. Ini sangat berguna untuk meningkatkan popularitas, terutama di kalangan pemilih yang mungkin kurang terinformasi atau kurang tertarik pada politik.
Ada juga efek halo yang ditimbulkan oleh kondisi ketika persepsi positif tentang seseorang dalam satu area (misalnya, popularitas atau keahlian dalam bidang tertentu) dapat memengaruhi persepsi kita tentang mereka di area lain (seperti politik).
Jika influencer atau pesohor dianggap memiliki kredibilitas tinggi, dukungan mereka terhadap paslon dapat meningkatkan persepsi positif terhadap paslon tersebut. Pada akhirnya, mereka berfungsi sebagai magnet untuk mengumpulkan suara atau dukungan sebanyak mungkin.
Dalam ilmu psikologi sosial, ada perbedaan antara pengaruh yang dilakukan secara eksplisit, misalnya secara terbuka mendukung kandidat, dan pengaruh yang dilakukan secara implisit, seperti bertemu atau memuji kandidat tanpa menyatakan dukungan langsung. Pengaruh implisit ini seringkali lebih efektif dan mudah diterima audiens, karena tidak terasa seperti persuasi langsung.
Orang seringkali memproses informasi secara tidak langsung melalui pengamatan sosial. Melihat influencer yang mereka kagumi bertemu atau memuji suatu kandidat dapat secara tidak langsung membentuk persepsi positif terhadap kandidat tersebut, bahkan tanpa adanya dukungan verbal yang eksplisit.
Fenomena ini disebut strategi soft endorsement, yaitu ketika influencer tidak secara terbuka mendukung kandidat tertentu, tetapi tindakan mereka menciptakan persepsi positif atau membuka pintu bagi pengikut mereka untuk mendukung kandidat tersebut.
3. Pengalihan isu dan polarisasi
Penggunaan influencer juga berisiko menggeser fokus kampanye dari isu substantif ke popularitas dan hiburan. Ini bisa mengurangi diskusi serius tentang kebijakan dan isu-isu penting, menggantinya dengan narasi yang lebih berfokus pada citra dan kepribadian.
Mengandalkan influencer dalam politik juga bisa memiliki implikasi jangka panjang pada kualitas diskusi demokratis. Ini mungkin mengarah pada pengurangan keterlibatan politik yang serius dan berbasis isu, menggantinya dengan pendekatan yang berorientasi pada popularitas.
Selain itu, ada risiko bahwa penggunaan influencer dalam politik dapat menyebabkan polarisasi lebih lanjut di antara publik.
Bagaimana seharusnya?
Untuk mengurangi risiko ini, influencer dapat memainkan peran dalam mendukung demokrasi yang sehat dan berbobot, dengan memfasilitasi pertukaran ide yang konstruktif dan meningkatkan pemahaman lintas pandangan politik.
Selain itu, influencer perlu berusaha untuk mempromosikan diskusi yang inklusif dan menghindari retorika yang memecah belah. Mereka dapat melakukannya dengan membuka ruang dialog di antara pengikut yang memiliki berbagai pandangan politik dan mendorong diskusi yang sopan dan produktif.
Dari sisi pemilih, penting bagi kita untuk tidak hanya mengonsumsi konten influencer secara pasif, tetapi juga secara aktif menganalisis dan mempertanyakan motif di balik pesan yang disampaikan. Salah satu caranya dengan mencari informasi dari berbagai sumber dan membandingkannya untuk membuat keputusan politik yang terinformasi dengan baik.
Dengan pendekatan yang kritis dan informasi yang beragam, pemilih akan lebih berdaya dalam menavigasi lanskap politik yang semakin dipengaruhi oleh dunia digital, tidak terkecuali influencer media sosial.
Wawan Kurniawan, Peneliti di Laboratorium Psikologi Politik Universitas Indonesia, Universitas Indonesia
Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.