Oleh: Denny Gunawan, UNSW Sydney; Anastasia H. Soeriyadi, dan David Firnando Silalahi, Australian National University
Indonesia membutuhkan lebih banyak listrik energi terbarukan untuk mengurangi ketergantungan terhadap energi batu bara yang memperparah perubahan iklim dan merusak lingkungan.
Untuk memenuhi kebutuhan tersebut, Indonesia sebenarnya dapat mengandalkan sinar matahari sebagai sumber energi sangat besar dan tak terbatas.
Studi dari Australian National University menyatakan, Indonesia akan membutuhkan miliaran panel surya untuk memenuhi seluruh kebutuhan listriknya dari energi bersih pada 2050.
Persoalannya, dari mana kita mendatangkan miliaran panel ini?
Jangan bergantung pada impor
Menurut catatan Kementerian Perindustrian, kemampuan produksi panel surya dalam negeri baru sebesar 1.600 megawatt-peak (MWp) per tahun.
Kapasitas ini jauh dari cukup sekalipun mengikuti target penambahan PLTS sesuai versi pemerintah, yaitu sebesar 300-400 gigawatt (GW) hingga 2060. Apalagi, untuk transisi penuh menuju kondisi nol emisi (net zero emissions), Indonesia membutuhkan energi surya 3.700 GW. Kapasitas yang ada saat ini masih jauh dari memadai.
Pemerintah perlu merencanakan produksi miliaran panel surya di dalam negeri sesegera mungkin. Jangan sampai, Indonesia hanya menjadi pasar dari panel surya produk impor. Apalagi, selain untuk kebutuhan dalam negeri, Indonesia juga tengah berupaya mengekspor listrik dari PLTS ke negara tetangga seperti Singapura, maka pasar untuk panel surya ini jelas akan terbentuk secara masif di Indonesia.
Maksimalkan potensi dalam negeri
Bahan baku utama panel surya adalah silikon—dapat ditemukan di alam dalam bentuk senyawa berupa silikat dan pasir kuarsa. Menurut catatan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Indonesia memiliki potensi sumber daya pasir kuarsa yang besar hingga 25 miliar ton, dengan jumlah cadangan terbukti mencapai 330 juta ton.
Dengan perkiraan kebutuhan 10 ton pasir silika per MW panel surya, maka Indonesia berpotensi memiliki kapasitas produksi panel surya hingga sekitar 30 terawatt (TW).
Pasir kuarsa tersebut tersebar di 23 provinsi, dari Aceh hingga Papua Barat. Bahkan, kualitas pasir kuarsa di beberapa wilayah seperti Kalimantan, Lampung, Bangka Belitung, Sumatera Barat, dan Kepulauan Riau, memenuhi spesifikasi industri panel surya dan dinilai cukup kompetitif di kancah dunia.
Sayangnya, dengan potensi yang begitu besar, pengolahan pasir kuarsa menjadi silikon masih terbilang minim. Saat ini, Indonesia hanya memiliki pabrik panel surya PT Ali Solar Cell (ASC) di Batam. Pabrik ini beroperasi sejak 2019 untuk memproduksi wafer silikon sampai sel surya, tapi lebih berfokus ke ekspor untuk Amerika Serikat (AS).
Ada juga pabrik PT Trina Mas Agra Indonesia (TMAI) di Kendal, Jawa Tengah, yang direncanakan mulai beroperasi pada kuartal ketiga 2024. Kapasitas produksinya 1 GWp per tahun. Meski patut diapresiasi, pembangunan pabrik sel surya ini masih belum mencukupi kebutuhan ekspansi PLTS Indonesia di masa depan.
Apa yang perlu dilakukan?
Dengan potensi pasar yang besar, Indonesia perlu melakukan penghiliran bahan mentah pasir kuarsa hingga menjadi produk akhir berupa panel surya. Hal-hal berikut perlu dilakukan agar Indonesia bisa bertransformasi menjadi salah satu produsen utama panel surya dunia:
1) Indonesia perlu menyiapkan peta jalan pembangunan industri panel surya dari hulu ke hilir. Investor akan memandang ini undangan penanaman modal ke Indonesia. Hal ini sejalan dengan rencana pemerintah menyetop ekspor pasir silika atau pasir kuarsa, sebagai langkah yang tepat untuk mengamankan pasokan bahan baku jangka panjang.
2) Libatkan akademisi, pakar sosiologi lingkungan, terutama masyarakat adat. Penyusunan kebijakan terkait pengembangan pabrik panel surya juga harus melibatkan aspek sosial serta lingkungan. Berkaca pada riuhnya protes dan kecaman terhadap rencana pembangunan industri panel surya di Rempang, Kepulauan Riau, penting bagi pemerintah untuk melibatkan masyarakat dalam program ekspansi industri panel surya di Indonesia. Pemerintah dapat mengundang akademisi, pakar sosiologi lingkungan, terutama masyarakat adat yang akan terdampak langsung pada aktivitas penambangan bahan mentah pasir silika hingga pabrik pengolahannya dan pembuatan panel surya.
3) Tenaga terampil dari dalam negeri perlu kita siapkan untuk mengelola industri panel surya. Jangan lagi bergantung atau mendatangkan tenaga asing. Anak bangsa harus menjadi tuan di negeri sendiri. Dengan potensi pasar serta sumber daya bahan baku yang besar, tenaga kerja terampil, Indonesia memiliki kemampuan untuk memproduksi panel surya sendiri dengan harga bersaing.
4) Menyiapkan pasokan energi bersih untuk pabrik panel surya. Untuk menaikkan nilai jual produk panel surya dan selaras dengan transisi energi di sektor industri, Indonesia perlu memastikan pabrik-pabrik panel surya menggunakan sumber energi bersih.
Harus diakui bahwa saat ini, sumber energi panel surya masih mengandalkan bahan bakar fosil. Meski demikian, menurut Badan Energi Internasional (IEA), panel surya hanya memerlukan waktu 4-8 bulan operasi untuk menyeimbangkan (offset) jejak karbon selama proses produksi. Setelahnya, listrik yang dihasilkan dari panel surya—dengan rata-rata umur pakai selama 25 tahun—merupakan listrik bersih tanpa emisi.
Listrik bersih dari panel surya ini kemudian dapat menjadi sumber energi pabrik pembuat panel surya. Dengan begitu, panel surya yang dihasilkan juga merupakan produk rendah karbon.
5) Insentif dan subsidi. Pemerintah perlu mencontoh India dan Amerika Serikat yang jor-joran memberikan insentif dan subsidi pabrik panel surya, agar menghasilkan produk yang mampu bersaing di pasar global. Tidak berlebihan jika insentif berupa libur pajak 30 tahun sebagaimana investasi di proyek ibu kota negara (IKN) juga diberikan untuk pabrik panel surya.
6) Kolaborasi. Pemerintah dapat mendorong kolaborasi dengan pabrik panel surya dari Cina—sebagai produsen terbesar panel surya di dunia saat ini—untuk membawa teknologi mereka dan membangun pabriknya di Indonesia. Contohnya, kolaborasi perusahaan Trina Solar Co. Ltd. dengan PT Dian Swastika Sentosa and PT Agra Surya Energy, dapat direplikasi lebih banyak lagi. Dengan cara ini, akan terjadi alih teknologi kepada tenaga kerja di Indonesia.
Melalui langkah-langkah tersebut, diharapkan Indonesia mampu menjadi pemain penting rantai pasok panel surya yang berkelanjutan. Tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan pasar dalam negeri, tapi juga ekspor.
Akhirnya, hal ini dapat berkontribusi pula pada pertumbuhan ekonomi hijau, penciptaan lapangan kerja ramah lingkungan (green jobs), dan kemampuan transisi energi di Indonesia.
Denny Gunawan, Postdoctoral Research Associate, ARC Training Centre for the Global Hydrogen Economy, Particles and Catalysis Research Laboratory, UNSW Sydney; Anastasia H. Soeriyadi, Postdoctoral research associate, Department of Materials, University of Oxford, dan David Firnando Silalahi, Phd Candidate, School of Engineering, Australian National University
Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.