SITARO, ZONAUTARA.com – Di sebuah rumah sederhana di Tagulandang, Max Goha, seorang pria berusia 67 tahun, duduk mengenang masa lalunya.
Matanya memandang jauh ke masa ketika Gunungapi Ruang meletus pada tahun 2002. Kejadian itu mengubah hidup banyak orang, termasuk dirinya.
Kenangan saat erupsi 2002
Max adalah salah satu dari banyak penduduk Pulau Ruang yang harus mengungsi dan pernah direlokasi ke Pulau Biaro saat erupsi terjadi.
Kala itu, menurut Max, saat bersua Tim ZONAUATAR.com, Sabtu, 25 Mei 2024, pemerintah telah berjanji akan membantu menanggung kebutuhan mereka selama tujuh bulan masa adaptasi. Namun, kenyataan berkata lain. Setelah dua bulan di Biaro, bantuan dari pemerintah tak kunjung datang.
Kehidupan menjadi sulit, dan para pengungsi harus mencari cara untuk bertahan hidup. Max mengenang masa itu dengan getir.
“Lalu kami mau makan apa? Daripada mati kelaparan mendingan pulang,” ujar Max dengan nada penuh kekecewaan.
Bersama banyak warga lainnya, Max memutuskan kembali ke Pulau Ruang meskipun pemerintah mengatakan bahwa pulau itu sudah tidak bisa dihuni lagi.
Kehidupan di Tagulandang
Berbeda dengan banyak warga yang kembali ke Pulau Ruang, Max kemudian memilih pindah ke Desa Balehumara, Tagulandang. Di sana, ia memiliki karib kerabat yang membantunya memulai hidup baru.
Keputusan itu terbukti tepat ketika erupsi kembali terjadi pada 16 dan 30 April 2024. Rumah Max di Tagulandang hanya mengalami kerusakan pada atap, sementara di Pulau Ruang, kehancuran lebih parah.
Namun, Max tidak sepenuhnya lolos dari dampak erupsi. Kebun kelapa miliknya di Pulau Ruang hancur, begitu pula rumah yang pernah ia tinggali.
“Kebun kelapa saya ada 4 lokasi di Pulau Ruang, rumah juga ada, sekarang sudah rusak semua,” katanya dengan nada sedih.
Relokasi ke Bolaang Mongondow Selatan
Kini, erupsi terbaru memaksa 301 Kepala Keluarga dari dua desa di Pulau Ruang, Pumpente dan Laingpatehi, untuk direlokasi ke Kabupaten Bolaang Mongondow Selatan.
Max, yang masih memiliki kenangan pahit dari relokasi sebelumnya, menanggapi berita ini dengan perasaan campur aduk.
“Warga Pulau Ruang tidak ada pilihan. Harus ikut sebab tidak ada lagi kehidupan di Pulau Ruang,” ujarnya.
Namun, jika diberi pilihan, Max mengatakan bahwa dirinya akan lebih memilih untuk tetap tinggal di tempat yang sudah ia kenal.
“Seribu kali lebih baik di sini. Bolsel itu tempat yang asing, jauh, dan tidak kita kenal. Saya khawatir akan terjadi kembali seperti saat relokasi di Biaro,” keluhnya.
Max berharap pemerintah benar-benar mendampingi warga Pulau Ruang selama masa adaptasi di tempat baru.
“Ya semoga saja, apa yang saat ini dikatakan pemerintah bisa seperti itu adanya, setidaknya memang mendampingi warga di masa-masa adaptasi,” kata Max menutup ceritanya dengan harapan.
Diketahui, saat ini warga di Pulau Ruang harus menunggu 6 bulan setelah erupsi, untuk bisa direlokasi ke Bolsel. Hal tersebut dikarenakan agar pemerintah bisa mempersiapkan rumah siap huni bagi warga.
Cerita Max Goha adalah potret dari banyak kehidupan yang berubah akibat erupsi gunungapi. Ini adalah kisah tentang ketangguhan, keputusan sulit, dan harapan akan masa depan yang lebih baik.