Oleh: Dedi Arman, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN)
Munculnya berita tentang perempuan Orang Laut dari Kampung Air Mas, Batam, Kepulauan Riau, yang memulung sampah bak puncak gunung es yang tersingkap setelah puluhan tahun tertutup kabut. Bagaimana tidak, selama ini Orang Laut sangat jarang menjadi sorotan. Kehidupan mereka tak sepopuler masyarakat Badui di Banten ataupun orang Bajau di perairan timur Indonesia.
Orang Laut adalah salah satu penghuni asli kawasan perairan Riau. Sejak dulu, mereka sehari-hari tinggal di sampan dan hanya sesekali singgah ke daratan.
Kepiawaian Orang Laut di bidang maritim tak bisa dianggap enteng. Di masa lampau, mereka menjadi aktor penting dalam kegemilangan Kerajaan Sriwijaya, Kesultanan Malaka, Kesultanan Johor, hingga Kesultanan Riau Lingga. Banyak sumber sejarah menunjukkan peran penting Orang Laut sebagai penguasa maritim (lautan) dalam mempertahankan hegemoni sebuah kesultanan. Termasuk diantaranya Sultan Johor Riau Lingga Pahang, Mahmud Riayat Syah, yang kekuasaannya ditopang Orang Laut dalam menghadapi perang melawan Belanda.
Kini, mereka terkucilkan dalam sederet proyek pembangunan di Kepulauan Riau. Nasib Orang Laut, terutama yang bermukim di sekitar Pulau Rempang, semakin terombang-ambing karena megaproyek infrastruktur energi terbarukan dan kawasan hijau seluas 17 ribu ha.
Diabaikannya nasib Orang Laut dalam berbagai pembangunan tidak terjadi dalam semalam. Ini adalah hasil tumpukan pengabaian selama puluhan tahun akibat pembangunan yang tidak berorientasi pada kehidupan laut. Perlahan dan pasti, Orang Laut menjadi korban kekerasan infrastruktur di perairannya sendiri.
Sejarah Orang Laut
Banyak penamaan untuk masyarakat adat ini, tapi yang paling familier adalah Orang Laut. Ada juga yang menyebut Orang Mantang, Orang Sampan, Orang Barok, Orang Selat. Orang asing menyebut mereka sebagai sea nomads atau gipsi laut.
Secara fisik, Orang Laut umumnya memiliki raut wajah yang agak keras dan warna kulit agak gelap. Nenek moyang Orang Laut diperkirakan adalah bangsa Proto-Melayu (Melayu tua) yang bermigrasi dari Vietnam dan Kamboja sebelum abad ke-10 Masehi.
Ada juga yang memperkirakan Orang Laut telah ada sebelum masa Kerajaan Sriwijaya di abad ke-7 Masehi. Orang Laut yang tergolong ras Austronesia ini berasal dari daerah Sambas di Kalimantan yang kemudian berdiaspora ke wilayah pantai timur Sumatera. Mereka mendiami daerah rawa-rawa di pesisir pantai.
Selain bentuk fisik, bahasa sehari-hari yang digunakan oleh Orang Laut—berbeda dengan bahasa Melayu—semakin menguatkan asumsi bahwa etnis ini berbeda dengan etnis Melayu masa kini.
Jumlah Orang Laut di Kepulauan Riau lumayan besar. Yayasan Kajang—lembaga yang berfokus pada perlindungan dan pemberdayaan Orang Laut—menaksir jumlah Orang Laut mencapai [12.800 jiwa](https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpnbkepri/orang-suku-laut-kepulauan-riau-dalam-realita-pembangunan-dan-kebijakan-daerah/ yang mendiami 44 titik (perkampungan) di lima kabupaten/kota di Kepulauan Riau. Data riilnya bisa jadi jauh lebih besar karena selama ini dinas sosial setempat, Badan Pusat Statistik (BPS), dan instansi lainnya tidak memiliki data yang akurat tentang Orang Laut.
Pembangunan yang masif membuat sejumlah Orang Laut memiliki pola hidup menetap dan semi menetap (meninggalkan rumah sementara untuk melaut). Beberapa di antara mereka masih bertempat tinggal di sampan kajang (perahu beratap daun nipah) yang berlayar dalam kelompok kecil.
Hal menarik lainnya adalah adanya perubahan sosial budaya dari transisi perpindahan Orang Laut, yang semula memiliki pola hidup nomaden menjadi masyarakat lokal pesisir yang hidup menetap. Walau begitu, perubahan ini bersifat negatif akibat kekerasan infrastruktur yang mereka alami sejak puluhan tahun silam sampai sekarang.
Akar kekerasan terhadap Orang Laut
Dalam kasus Orang Laut, kekerasan infrastruktur terjadi akibat kebijakan pemerintah ‘mendaratkan’ Orang Laut yang awalnya hidup nomaden di Perairan Batam.
Kekerasan infrastruktur kerap tak disadari karena adanya kekeliruan pemahaman pemerintah mengenai kebudayaan masyarakat berbasis laut yang amat bias dengan perspektif masyarakat berbasis darat. Kebijakan yang dilahirkan sebagai “pemaksaan” untuk menangani masalah-masalah masyarakat kelautan pun pada akhirnya meleset dan justru melahirkan kekerasan.
Kekerasan ini berhulu dari pembangunan besar-besaran Kota Batam sebagai pusat investasi sejak 1970-an. Saat itu, Batam sebagai wilayah strategis daerah perbatasan negara tumbuh menjadi daerah Industri, perdagangan, galangan kapal, dan pariwisata yang mempunyai otoritas pengembangan wilayah.
Agar Kota Batam lebih ‘berstandar internasional’, Pemerintah secara khusus mencanangkan program Pembinaan Kesejahteraan Masyarakat Terasing (PKMT) di Batam dan sekitarnya tahun 1980-an. Melalui PKMT dan dalih pembangunan nasional, pemerintah berupaya mengubah pola hidup Orang Laut dengan mendaratkan mereka di sejumlah pulau yang telah disiapkan infrastrukturnya termasuk menyediakan perumahan.
Di Kota Batam, Orang Laut mendiami Pulau Caros (Kelurahan Karas), Tanjung Undap (Kelurahan Tembesi), Pulau Nipah ( Kelurahan Galang Baru), Pulau Nanga (Galang Baru), Pulau Bertam (Bulang). Orang Laut juga ada di Pulau Lingka (Bulang), Pulau Gara (Bulang) dan Pulau Air Mas (Ngenang).
Inilah kesalahan pertamanya. Sedari awal, negara membalikkan konstruksi moral dan kultural Orang Laut dengan melabeli mereka sebagai “masyarakat terasing”, kaum miskin, terbelakang, dan seterusnya. Padahal, fakta historis dan etnografis menunjukkan sebaliknya. Mereka memiliki sistem sosial yang kuat dalam mendukung keberlangsungan hidup mereka sebagai suku bangsa pengembara laut.
Akhirnya, kehidupan Orang Laut mulai berubah seiring pembangunan. Mereka tak lagi hidup mengembara dengan sampan di lautan bebas. Tidak pula mereka bebas melakukan aktivitas ekonomi secara subsisten atau untuk kebutuhan sehari-hari.
Terkungkung paradoks
Kehidupan Orang Laut kemudian terkungkung paradoks: menjadi manusia modern atau bertahan dalam tradisi moyang mereka di tengah bentang alam dan iklim yang berubah. Akses mereka terhadap sumber daya perairan seperti ikan telah dikurangi akibat maraknya reklamasi pantai untuk kawasan industri dan riuhnya lalu lintas kapal.
Perubahan inilah yang pada gilirannya melahirkan kesadaran baru dalam komunitas Orang Laut, yakni kesadaran untuk ‘mendarat’. Banyak Orang Laut yang akhirnya memilih bermukim tapi tetap melaut untuk mencari nafkah.
Mereka juga melengkapi sampan tradisional dengan perkakas modern seperti mesin perahu. Meski bisa bergerak lebih cepat, mesin membutuhkan bahan bakar yang kemudian menambah beban mereka.
Sayangnya, tidak mudah untuk mencari nafkah di laut di tengah bentang alam Batam yang berubah. Ikan-ikan juga tak lagi mudah didapat. Mereka harus melaut lebih jauh. Artinya, ongkos bahan bakar lebih besar dan lebih sedikit keuntungan yang dibawa pulang.
Kekerasan infrastruktur tak mereda setelah reformasi. Banyak program pembangunan desa dan daerah yang tidak digunakan secara utuh oleh Orang Laut. Beberapa di antaranya adalah bantuan panel surya, alat tangkap jaring, serta inisiasi pembuatan rumah yang menetap di satu pulau atau kawasan pesisir.
Studi tahun 2014 turut menggarisbawahi program merumahkan Orang Laut di pulau-pulau sekitar Batam seperti Pulau Bertam, memiliki sejumlah kelemahan. Program tersebut tidak mempertimbangkan analisis kebutuhan komunitas sasaran, mengesampingkan aspek budaya, adat dan istiadat komunitas setempat.
Studi tersebut juga menyebut Orang Laut di Pulau Bertam terjebak pada kehidupan tokenisme, alias sangat tergantung pada bantuan. Ini membuat Orang Laut sulit bangkit dari kemiskinan.
Kondisi Orang Laut saat ini justru semakin nahas karena perubahan iklim yang memperparah musim badai di perairan Kepulauan Riau. Sebagian dari mereka yang nelayan tak bisa berlayar mencari ikan. Sementara, di daratan tak banyak kesempatan karena pendidikan Orang Laut yang rendah dan stigma mereka sebagai warga kelas dua. Pencarian pun berakhir di tempat pembuangan akhir, untuk mengais sisa-sisa makanan dan pakaian.
Masa depan Orang Laut
Hingga saat ini pembangunan Batam belum menunjukkan tanda-tanda berhenti.
Tahun 2024, atas nama transisi energi terbarukan, rencana pengembangan kawasan industri Rempang Eco City akan berdampak pada Orang Laut yang ada di Rempang-Galang. Belum lagi rencana pembangunan jembatan Batam-Bintan yang melewati Tanjungsauh diyakini akan berdampak pada Orang Laut di Kampung Air Mas.
Pemerintah sepatutnya memberi perhatian pada kondisi Orang Laut di Kota Batam. Alangkah memilukan kalau Orang Laut yang merupakan penduduk asli Kota Batam malah tersisih dalam pembangunan di wilayah mereka sendiri.
Pemerintah dapat menginisiasi pemberdayaan Orang Laut sesuai apa yang mereka butuhkan. Jika mereka membutuhkan alat tangkap atau sampan untuk berlayar mencari hasil laut, pemerintah seharusnya tidak menjalankan program perbaikan rumah.
Sudah saatnya pemerintah turut menghentikan pola pembangunan top down alias dari atas ke bawah yang sudah berlangsung sekian lama. Proyek infrastruktur ataupun investasi besar lainnya perlu didahului dengan dialog bersama Orang Laut untuk mencegah kekerasan kembali terulang.
Dedi Arman, Peneliti, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN)
Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.