ZONAUTARA.com – Wilayah pesisir Indonesia menghadapi ancaman serius dari banjir rob atau coastal inundation akibat dampak dari land subsidence dan sea level rise. Ancaman ini tergambar dari fenomena pesisir dalam dua puluh tahun terakhir.
Adapun wilayah pesisir yang tercatat mengalami banjir rob yang serius yaitu pesisir Pantai Utara Jawa atau PANTURA, pesisir Pantai Timur Sumatera dan Pesisir Kalimantan.
Pokjanas Land Subsidence dan anggota LASII UNESCO, Dr. Ir. Heri Andreas, ST., MT menjelaskan melalui rilis yang diterima Zonautara.com, Rabu (23/7/2024), bahwa hasil penelitian, menemukan setidaknya ada 112 kabupaten/kota pesisir di Indonesia mengalami banjir rob.
Lambat laun banjir rob kian meluas dikarenakan masih terus terjadi land subsidence dan sea level rise atau kenaikan muka air laut, bahkan di beberapa tempat banjir menjadi permanen, yang artinya daratan telah hilang menjadi lautan.
Hal ini tentu menjadikan sebuah bencana yang nyata. Tidak sedikit kerugian materi harus dikeluarkan akibat bencana banjir rob ini. Hitungan kasar konsekuensi biaya yang harus dikeluarkan oleh Pemerintah sudah menyentuh angka Rp 1.000 Trilyun.
“Karena sifat bencana-nya yang telah nyata menyebabkan kerugian, maka banjir rob akibat land subsidence serta sea level rise harus kita sikapi dengan serius, harus kita kurangi risiko bencananya melalui upaya manajemen kebencanaan,” jelas Heri Andreas saat Scientific Conference.
Langkah-langkah awal dalam rangka pengurangan risiko dilakukan oleh Pemerintah dengan cara pembuatan tanggul di pesisir pantai, meninggikan infrastruktur pesisir hingga melakukan evakuasi penduduk pesisir di beberapa wilayah tertentu.
Untuk Langkah-langkah yang lebih ultimate dan best practice kedepannya, harus dimulai dari pendalaman masalah, pemantauan dan pemetaan bahaya, kemudian dilanjutkan oleh upaya prevensi, mitigasi dan atau adaptasi yang lebih terukur.
Bertepatan dengan kegiatan bersama program LASII UNESCO ANNUAL MEETING dan Pokja Nasional Land Subsidence Indonesia, diselenggarakan acara Scientific Conference dengan tema “Insight Best Practice of Management against Land Subsidence Disaster”. Institut Teknologi Bandung menjadi panitia penyelenggaran beserta sejumlah sponsor.
“Melalui acara ini kita dapat melihat bagaimana pembicara dari berbagai negara memaparkan kondisi land subsidence dan best practice upaya penanganan bencananya di masing-masing negara,” harapnya.
Heri berharap ada pertukaran ilmu dan pengalaman tentang bagaimana mengurangi risiko bencana yang terjadi akibat land subsidence.
Secara garis besar dari pemaparan di conference memperlihatkan manajemen bencana, terutama melibatkan sisi non teknis berupa keberadaan regulasi dan kelembagaan yang jelas, sehingga program dan anggaran menjadi jelas pula.
Dari sisi teknis manajemen kebencanaan harus dimulai dari pembangunan sistem monitoring, diagnosa masalah, pemetaan potensi bencana, baru kemudian melakukan proses prevensi, mitigasi ataupun adaptasi.
“Sekali lagi karena sifat bencana akibat land subsidence dan juga sea level rise yang telah nyata menyebabkan kerugian yang tidak sedikit, secara khusus di Indonesia, maka kita harus bersama-sama menyikapinya dengan lebih serius. Kita harus berupaya semaksimal mungkin untuk mengurangi risiko bencananya, salah satunya mengikuti beberapa rekomendasi dari hasil LASII UNESCO Scientific Conference,” tutup Heri.