KOTAMOBAGU, ZONAUTARA.com – Dalam konteks kasus perdagangan anak di bawah umur yang baru-baru ini terungkap di Kotamobagu, Budayawan Mongondow, Chairun Mokoginta, memberikan pandangan mendalam mengenai perlindungan anak dalam perspektif budaya Mongondow.
Pandangan ini memberikan wawasan penting tentang bagaimana adat istiadat dapat memainkan peran dalam upaya pencegahan dan penanganan kasus serupa di masa depan.
Chairun Mokoginta menjelaskan bahwa dalam budaya Mongondow, terdapat konsep kinolatag, yang mengacu pada perlindungan kaum wanita, terutama yang masih di bawah umur.
“Perlakuan terhadap perempuan yang tidak wajar adalah pelanggaran adat. Dalam budaya kami, pelanggaran adat seperti ini termasuk membawa lari anak orang, yang merupakan tindakan serius,” jelas Chairun, Minggu, (04/8/2024) saat dihubungi ZONAUTARA.com.
Konsep kinolatag mencerminkan nilai-nilai mendalam dalam masyarakat Mongondow, yang menekankan pentingnya perlindungan dan penghormatan terhadap anak-anak dan perempuan.
Chairun menegaskan bahwa pelanggaran terhadap prinsip-prinsip ini dianggap sangat berat dan memiliki konsekuensi sosial yang signifikan.
Peran pemerintah dan tokoh adat dalam pencegahan
Menurut Chairun, menangani kasus perdagangan anak memerlukan pendekatan komprehensif yang melibatkan berbagai pihak, termasuk pemerintah daerah, pihak keamanan, dan tokoh adat di desa. “Tidak lepas dari peran pemerintah daerah dan pihak keamanan, termasuk tokoh adat di desa, harus secara komprehensif melakukan pencegahan,” tambahnya.
Dalam budaya Mongondow, pelanggaran adat seperti perdagangan anak tidak hanya dilihat sebagai pelanggaran hukum, tetapi juga sebagai pelanggaran terhadap norma sosial dan moral.
Chairun menggarisbawahi pentingnya kolaborasi antara semua elemen masyarakat untuk memastikan bahwa nilai-nilai adat terus dilestarikan dan diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.
Untuk memperkuat perlindungan anak, Chairun juga mengimbau agar para pegiat budaya turut aktif memberikan pemahaman terutama di sekolah. “Momarakai adik, molukad kon adi’,” katanya, menekankan bahwa perspektif budaya Mongondow harus mencakup perlindungan anak-anak dari bayi hingga dewasa.
Dia mengusulkan program “Budayawan Menyapa Siswa” (BMS), di mana setiap sekolah akan mendapatkan sesi satu jam untuk pengenalan budaya, alat musik, serta memperdalam muatan lokal Mongondow.
Program ini bertujuan untuk memperkenalkan nilai-nilai budaya sejak dini dan mengajarkan kepada generasi muda tentang pentingnya menghormati dan melindungi hak-hak anak.
Dalam budaya Mongondow, pelanggaran adat dapat mengakibatkan hukuman serius, seperti diusir dari kampung dan dikenakan denda adat yang besar. Chairun menekankan betapa seriusnya pelanggaran adat dalam konteks budaya Mongondow dan mengharapkan penegakan nilai-nilai adat dapat membantu mencegah kasus serupa di masa depan.
“Upaya pencegahan dan penanganan perdagangan anak harus ditingkatkan melalui kerjasama yang solid antara pemerintah, LSM, tokoh masyarakat, dan seluruh elemen masyarakat,” tutup Chairun.