Akhir-akhir ini kabar media sosial (medsos) ramai dengan istilah ‘Aba’ dan ‘Uyo’. Disinyalir, istilah itu terkait dengan kontestasi perebutan mobil plat merah DB 1 D, Bupati Bolaang Mongondow (Bolmong).
Istilah tersebut menjadi perbincangan hangat dalam percaturan politik di wilayah Kabupaten Bolmong. ‘Aba’ merujuk pada calon pemimpin yang dianggap tidak memiliki marga asli Mongondow, sementara ‘Uyo’ digunakan untuk menggambarkan mereka yang dianggap sebagai pemimpin dengan garis keturunan asli Mongondow.
Istilah-istilah ini digunakan secara luas dan menjadi bahan diskusi di berbagai lapisan masyarakat.
Penggunaan istilah ‘Aba’ seringkali dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa seorang calon pemimpin tidak memiliki akar budaya dan etnis yang sama dengan mayoritas masyarakat Mongondow. Di sisi lain, ‘Uyo’ dianggap sebagai representasi dari pemimpin yang benar-benar memahami tradisi, budaya, dan nilai-nilai lokal.
Namun, penggunaan istilah-istilah ini bukan tanpa kontroversi. Ada yang berpendapat bahwa retorika semacam ini hanya memperkuat politik primordial yang berpotensi memecah belah masyarakat.
Mengapa istilah ini menjadi problematis?
Pertama, istilah seperti ‘Aba’ dan ‘Uyo’ cenderung menciptakan dikotomi yang berbahaya. Penggunaan istilah ini menjadi problematis karena memperkuat narasi politik primordial yang justru dapat menyesatkan masyarakat. Identitas seorang pemimpin tidak seharusnya hanya dilihat dari asal-usul etnis atau marganya. Ketika masyarakat terjebak dalam politik identitas yang sempit, mereka cenderung mengabaikan kualitas, kompetensi, dan integritas calon pemimpin tersebut. Hal ini dapat mengarah pada pemilihan pemimpin yang tidak tepat, hanya berdasarkan faktor-faktor primordial daripada kapasitas mereka untuk memimpin dan membawa perubahan positif.
Kedua, penekanan pada keaslian identitas dapat memperkuat sentimen eksklusivitas yang merugikan keberagaman. Bolmong adalah wilayah yang kaya akan berbagai kelompok etnis dan budaya.
Mengedepankan narasi yang mengutamakan “keaslian” justru dapat mengesampingkan kontribusi positif dari mereka yang mungkin bukan asli Mongondow, tetapi memiliki komitmen kuat untuk membangun daerah ini.
Ketiga, penggunaan istilah-istilah ini dalam kampanye politik juga bisa menjadi alat yang digunakan untuk mengalihkan perhatian dari isu-isu yang lebih penting, seperti perbaikan ekonomi, pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur. Ketika perhatian publik terfokus pada perdebatan tentang siapa yang lebih ‘asli’ atau ‘tulen,’ seringkali masalah-masalah yang lebih substansial dan berpengaruh pada kesejahteraan rakyat menjadi terabaikan.
Politik primordial cenderung mengeksploitasi perbedaan identitas untuk menggalang dukungan, bukannya membangun kesatuan di tengah keberagaman.
Dampak negatif terhadap demokrasi
Di era demokrasi modern, pemilihan pemimpin harus didasarkan pada kemampuan mereka untuk memimpin, membawa perubahan, dan mengatasi tantangan yang dihadapi masyarakat. Politik primordial yang berbasis pada identitas sempit justru menghambat proses demokratisasi karena lebih mementingkan simbolisme daripada substansi. Pemimpin yang dipilih hanya karena “tulen” atau “asli” belum tentu memiliki kompetensi atau kapasitas yang diperlukan untuk memajukan daerah.
Lebih dari itu, mengedepankan politik primordial justru bisa memperlemah kohesi sosial. Bolmong, seperti banyak daerah lainnya di Indonesia, memiliki keberagaman yang kaya. Menggunakan narasi yang membedakan ‘Aba’ dan ‘Uyo’ Mongondow tulen hanya akan memperkuat sekat-sekat antar kelompok, mengabaikan potensi kerjasama lintas identitas yang sebenarnya bisa memperkaya dan memperkuat masyarakat secara keseluruhan.
Mengajak masyarakat untuk lebih kritis
Masyarakat Bolmong diharapkan lebih kritis dalam melihat persoalan ini. Tidak ada salahnya memiliki kebanggaan atas identitas budaya, tetapi kebanggaan ini harus diarahkan untuk hal-hal positif, seperti melestarikan budaya, meningkatkan kualitas hidup, dan membangun masa depan yang lebih baik. Pemimpin yang baik bukanlah mereka yang hanya mengandalkan identitas etnis atau asal-usul mereka, melainkan mereka yang mampu membangun visi, memiliki integritas, dan dapat memberikan kontribusi nyata untuk kesejahteraan masyarakat daerah Totabuan tercinta.
Di era yang semakin kompleks ini, mari kita bergerak menuju politik yang lebih rasional, inklusif, dan berorientasi pada kepentingan bersama. Saatnya meninggalkan narasi politik primordial yang menyesatkan, dan memilih pemimpin berdasarkan rekam jejak, kapasitas, dan komitmen mereka untuk membawa perubahan nyata bagi seluruh rakyat Bolmong tercinta, tanpa memandang siapa mereka atau dari mana mereka berasal.
Dengan begitu, masyarakat Bolmong dapat membangun masa depan yang lebih adil, sejahtera, dan inklusif, di mana semua orang merasa dihargai dan memiliki kesempatan yang sama untuk berkontribusi.
Bukankah, lebih baik bila narasinya ‘Uyo’ dan ‘Aba’ adalah Mongondow tulen serta putra terbaik daerah Totabuan yang sedang bertarung gagasan dan ide demi mewujudkan kemajuan di daerah yang sama kita cintai ini. Dengan begitu perpolitikan kita lebih dewasa serta mengedukasi masyarakat.