ZONAUTARA.com – Sebanyak delapan belas organisasi masyarakat sipil yang tergabung dalam Jaring Nusa Kawasan Timur Indonesia menyelenggarakan Coastal and Small Islands People Summit 2024, sebuah pertemuan tahunan yang kali ini diadakan di Banda Naira.
Acara ini merupakan pertemuan ketiga setelah sebelumnya dilaksanakan di Jakarta pada tahun 2023. Fokus dari pertemuan ini adalah mendorong pengakuan serta perlindungan wilayah pesisir, laut, dan pulau-pulau kecil di Kawasan Timur Indonesia, khususnya dalam menghadapi transisi kepemimpinan nasional.
Dalam pertemuan tersebut, Jaring Nusa menyampaikan sikap tegas terkait arah kepemimpinan baru yang akan dipimpin oleh Presiden terpilih Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka.
Menurut mereka, pemerintahan Jokowi selama satu dekade terakhir dianggap tidak memberikan perhatian yang cukup terhadap pengakuan dan perlindungan wilayah pesisir serta masyarakat yang hidup di atasnya. Jokowi justru dinilai memberi prioritas besar kepada investasi dengan memproduksi berbagai regulasi yang cenderung merugikan masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil, khususnya di Kawasan Timur Indonesia.
Jaring Nusa menilai bahwa pemerintahan Prabowo-Gibran berpotensi melanjutkan kebijakan investasi skala besar yang menggunakan pendekatan ekstraktif dan perampasan ruang laut secara terencana (planned ocean grabbing). Hal ini terlihat dari perencanaan pembangunan jangka panjang dan menengah, seperti Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2025-2045 dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2025-2029.
Jaring Nusa juga menyoroti bahwa baik Jokowi maupun pemerintahan selanjutnya belum pernah mengangkat isu keadilan ekologis dan keadilan iklim sebagai agenda utama, terutama bagi masyarakat pesisir dan pulau kecil. Menyikapi kondisi ini, Jaring Nusa menyerukan Resolusi Banda Naira 2024, yang merumuskan beberapa poin penting terkait keadilan ruang pesisir, laut, dan pulau kecil di Kawasan Timur Indonesia.
Poin utama Resolusi Banda Naira 2024
Krisis Iklim
Jaring Nusa mendesak pemerintah baru untuk memastikan keselamatan masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil di Kawasan Timur Indonesia dari dampak krisis iklim. Mereka juga meminta evaluasi terhadap berbagai regulasi yang dianggap memperparah dampak krisis iklim, seperti UU No. 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja dan UU No. 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Jaring Nusa berharap pemerintah memasukkan RUU Keadilan Iklim ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2025.
Pengelolaan Ruang Laut dan Hak Kelola Masyarakat
Jaring Nusa menentang pendekatan sektoral dalam mengelola ruang pesisir. Mereka mendesak pemerintah untuk mengakui hak masyarakat pesisir dalam mengontrol dan mengelola sumber daya pesisir, laut, dan pulau kecil. Selain itu, Jaring Nusa meminta evaluasi terhadap alokasi ruang dalam Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K) serta moratorium integrasi tata ruang darat dan laut hingga hak-hak masyarakat pesisir menjadi bagian utama dalam perencanaan tata ruang.
Kedaulatan Pangan, Air, dan Ekonomi Lokal
Jaring Nusa menekankan pentingnya kedaulatan pangan, air, dan ekonomi lokal sebagai agenda utama pembangunan di Kawasan Timur Indonesia. Mereka meminta evaluasi terhadap pembangunan yang merusak sumber daya alam dan ekonomi lokal masyarakat pesisir. Menurut mereka, pendekatan ekonomi agregat hanya menguntungkan segelintir orang dan mengancam ekonomi lokal masyarakat pesisir.
Industri Ekstraktif
Jaring Nusa menentang segala bentuk industri ekstraktif di wilayah pesisir, laut, dan pulau kecil. Mereka menegaskan bahwa daya dukung ekologis di kawasan ini terbatas dibandingkan dengan daratan besar. Contoh industri ekstraktif yang menjadi sorotan adalah pertambangan nikel, emas, dan pasir laut di wilayah Sulawesi, Maluku, Maluku Utara, Nusa Tenggara, dan Papua. Jaring Nusa menuntut penghentian total semua kegiatan industri ekstraktif di kawasan tersebut.
Konservasi dan Perikanan Berkelanjutan
Dalam isu konservasi, Jaring Nusa mengkritik kebijakan yang hanya menguntungkan perdagangan karbon dan target global 30 x 30, yang dianggap mengabaikan kepentingan masyarakat pesisir. Mereka mendesak pemerintah baru untuk menjadikan keadilan ekologis dan keadilan iklim sebagai tujuan utama dalam konservasi. Jaring Nusa juga menolak kebijakan Penangkapan Ikan Terukur (PIT) yang mereka anggap berpotensi merusak sumber daya ikan di Kawasan Indonesia Timur.
Ancaman Bencana Ekologis
Kawasan Timur Indonesia dikenal rentan terhadap bencana ekologis, baik bencana alam maupun dampak aktivitas industri. Jaring Nusa meminta pemerintah untuk memperkuat regulasi yang melindungi wilayah pesisir, laut, dan pulau kecil dari ancaman bencana. Mereka juga menekankan pentingnya perencanaan pembangunan yang sesuai dengan karakteristik wilayah kepulauan.
Pernyataan para tokoh Jaring Nusa
Asmar Exwar, Dinamisator Jaring Nusa, menegaskan bahwa, “Indonesia merupakan Negara kepulauan. Untuk itu pemerintahan ke depan harus secara sungguh-sungguh merumuskan dan mengeluarkan produk kebijakan yang memberikan jaminan dan kepastian terhadap perlindungan dan pengakuan wilayah kelola rakyat di pesisir, laut, dan pulau kecil. Memberikan jaminan perlindungan terhadap masyarakat di ribuan desa-desa pesisir dan wilayah adat yang terancam oleh dampak krisis iklim.”
Senada dengan Asmar Exwar, Gadri R. Attamimi dari Yayasan EcoNusa mengungkapkan, “Indonesia Timur sebagai benteng terakhir keanekaragaman hayati, baik hutan maupun laut, perlu dilindungi dengan kembali dikuatkannya kearifan lokal yang sudah mengakar di masyarakat.”
Parid Ridwanuddin, Manajer Kampanye Pesisir, Laut, dan Pulau Kecil WALHI Nasional, menambahkan, “Pemerintahan baru yang akan dipimpin oleh Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka wajib menempatkan keadilan ekologis dan atau keadilan iklim serta pemenuhan hak-hak masyarakat pesisir di Indonesia, khususnya di kawasan Timur Indonesia, sebagai agenda utama pemerintahannya.”
Faizal Ratuela, Direktur WALHI Maluku Utara, menegaskan bahwa, “Satu dekade arah kebijakan pembangunan negara gagal memberikan keadilan bagi masyarakat kepulauan terutama di kawasan timur Indonesia.”
Dalam konteks penegakan hukum, Jull Takaliuang, Ketua Yayasan Suara Nurani Minaesa, menyerukan, “Kami dari Pulau kecil Sangihe berharap penegakkan hukum terkait pencabutan IUP PT Tambang Mas Sangihe (TMS) harus dilakukan secara tegas oleh aparat penegak hukum.”
Zafira Daeng Barang, Manajer Program Perkumpulan PakaTiva, mengingatkan pentingnya mitigasi bencana yang sesuai dengan karakteristik wilayah kepulauan di Kawasan Timur Indonesia, terutama dalam menghadapi ancaman perubahan iklim.
Dengan berbagai tuntutan ini, Jaring Nusa berharap pemerintahan baru akan lebih memperhatikan dan melindungi kepentingan masyarakat pesisir, laut, dan pulau-pulau kecil, terutama di wilayah Timur Indonesia yang kaya akan keanekaragaman hayati namun juga rentan terhadap berbagai ancaman ekologis dan sosial.