Oleh: Ica Wulansari, Paramadina University
Di tengah perubahan iklim yang kian ganas, petani di berbagai negara berjibaku untuk menjaga tanamannya tetap tumbuh dan produktif.
Di Afrika Selatan, Kenya, Pakistan, Bangladesh, dan Malaysia, petani menggunakan varietas padi yang toleran terhadap kekeringan, melakukan diversifikasi tanaman, menggunakan kalender tanam, melakukan konservasi air dan tanah, maupun menggunakan pupuk organik.
Sementara itu, di Tanzania, petani juga giat mengembangkan benih lokal yang lebih tahan terhadap kekeringan. Pengembangan ini merupakan inisiatif mereka, guna melengkapi benih-benih rekomendasi pemerintah.
Sayangnya, di Indonesia, inisiatif petani untuk beradaptasi belum dilakukan dalam skala yang masif. Upaya petani beradaptasi dengan perubahan iklim secara mandiri masih terbentur oleh sistem pertanian yang tidak berkelanjutan secara lingkungan, sosial, maupun ekonomi.
Beberapa contoh aspek dalam sistem ini adalah ketergantungan terhadap pupuk kimia, ketiadaan asuransi petani, dan seretnya pendampingan negara.
Mandeknya inisiatif petani menyebabkan lahan-lahan pertanian kita semakin rawan gagal panen. Jika dibiarkan, kegagalan berulang akan menggerus ketahanan pangan, mengerek inflasi, hingga memarginalkan sektor pertanian Indonesia.
1. Ketergantungan terhadap pupuk dan pestisida sintetis
Karena praktik-praktik tak berkelanjutan, sistem pertanian Indonesia sangat rapuh di segala sisi.
Sebagai contoh, sistem pertanian kita amat menyokong penggunaan pupuk kimia dan pestisida sintetis untuk menguatkan tanaman dari cuaca ekstrem dan hama. Sebagai gambaran, Indonesia adalah negara pemakai pestisida dan insektisida terbesar ketiga di dunia. Pemerintah pun memiliki program subsidi pupuk yang diarahkan ke komoditas pupuk kimia.
Padahal, kedua praktik tersebut justru berisiko mencemari air dan tanah. Serangan hama juga berisiko meningkat karena mereka semakin resisten terhadap pestisida dan insektisida. Alhasil, tindakan tersebut menyebabkan maladaptasi—upaya adaptasi iklim yang salah sehingga berbalik merugikan lingkungan.
Penelitian saya di Jawa Barat menemukan pupuk dan pestisida semakin berlebihan saat kekeringan melanda. Ini pun terjadi karena persoalan sistem pertanian Indonesia lainnya, yaitu minimnya penyuluhan pertanian.
Alih-alih mempromosikan pemakaian pupuk organik, saya menemukan penyuluh pertanian justru berkomplot dengan agen perusahaan pupuk dan pestisida untuk meraup konsumen dalam jumlah besar.
2. Irigasi tidak memadai
Sistem pertanian kita juga tidak didukung oleh sistem irigasi yang memadai. Sekitar 46% infrastruktur irigasi Indonesia rusak.
Pengelolaan irigasi juga masih belum fleksibel—dengan aliran air yang konstan. Pengelolaan ini justru tidak efisien dan berisiko melepaskan emisi metana, gas rumah kaca yang lebih kuat menangkap karbon di atmosfer.
3. Minimnya kehadiran negara
Kehadiran negara pun hampir tidak terasa dalam sistem pertanian. Hal ini terbukti dari minimnya akses petani terhadap informasi seputar sistem dan teknologi informasi cuaca dan iklim. Petani juga semakin terjepit lantaran tidak mendapatkan kemudahan akses kredit bertani, akses pasar, dan ketiadaan subsidi pertanian.
Tak hanya itu, saat petani gagal panen, mereka tidak mendapatkan perlindungan sosial memadai dari negara. Program asuransi pertanian yang melindungi petani dari gagal panen hanya untuk pembudi daya padi. Ditambah lagi, peserta asuransi pun terus menurun dari tahun ke tahun.
Di tengah keterbatasan itu semua, petani akhirnya terdesak. Mereka kemudian memilih jalan pintas dengan menjual lahan pertanian lantaran tidak sanggup melakukan budi daya. Ini terjadi di Bengkulu yang kehilangan 74% persen sawah, ataupun migrasi tenaga kerja ke sektor nonpertanian di Kabupaten Minahasa Utara.
Evaluasi besar-besaran
Pemerintah perlu melakukan evaluasi sistem pertanian Indonesia besar-besaran untuk mengakomodasi upaya-upaya petani beradaptasi dengan perubahan iklim.
Evaluasi harus mencakup telaah ketahanan sistem pertanian dalam jangka pendek, menengah, dan panjang. Dalam jangka pendek, ketahanan sistem dapat kita amati dalam waktu hitungan pekan maupun bulan, seperti dampak temperatur, curah hujan, pilihan tanaman, dan kegiatan bertani baik on farm (langsung di sawah maupun kebun) maupun off farm (di luar sawah maupun kebun, seperti di pabrik industri agro, fasilitas pengolahan, dan sebagainya).
Perbaikan dapat dilakukan dengan membangun sistem penyebaran informasi cuaca dan iklim yang mudah diakses dan dipahami petani setiap waktu. Langkah lainnya adalah mengakomodasi petani untuk mengembangkan benih secara mandiri—agar lebih sesuai dengan kondisi lokal dan tahan iklim.
Adapun jangka menengah meliputi skala waktu tahun yang mengamati perubahan metode produksi pertanian, perubahan kepemilikan lahan pertanian, maupun keterlibatan dalam komunitas sosial. Terakhir, jangka panjang meliputi hitungan waktu dalam lingkup tahun hingga dekade. Ini terkait kondisi lahan organik, erosi tanah, degradasi struktur tanah, dan berubahnya pola penghidupan bertani.
Penguatan ketahanan sistem pertanian jangka menengah dan panjang tidak bisa dilakukan dalam semalam. Indonesia membutuhkan investasi untuk pengembangan riset dan teknologi. Misalnya, penelitian dan pengembangan lebih banyak benih-benih yang tahan terhadap cuaca ekstrem dan serangan hama.
Terakhir, pemerintah juga dapat menggalakkan pertanian organik untuk menyehatkan praktik pertanian kita sekaligus ketahanan dalam jangka panjang.
Ica Wulansari, Lecturer of International Relations, Paramadina University
Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.