ZONAUTARA.com – Kabinet Merah Putih yang baru dibentuk oleh Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka mengundang perhatian publik, terutama karena lonjakan jumlah kementerian yang signifikan.
Dari sebelumnya 34 kementerian di bawah Presiden Joko Widodo, kini jumlahnya membengkak menjadi 48. Namun, yang menjadi sorotan adalah apakah penambahan kementerian ini akan efektif bekerja atau justru menambah beban pembiayaan negara yang berat di tengah situasi ekonomi yang menantang.
Dengan adanya penambahan kementerian, tentu biaya yang diperlukan untuk pembentukan, operasional, dan pengelolaan akan meningkat tajam. Publik juga mempertanyakan beberapa figur yang mengisi pos kementerian. Misalnya, penunjukan Sugiono sebagai Menteri Luar Negeri, tanpa latar belakang diplomasi, mengundang tanda tanya publik.
Selain itu, munculnya nama Budi Santoso sebagai Menteri Perdagangan dan Profesor Stella Christie sebagai Wakil Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi juga menjadi bagian dari wajah baru kabinet. Apakah posisi-posisi baru ini akan memberikan kontribusi nyata bagi rakyat atau sekadar memperluas kekuasaan koalisi politik pendukung Prabowo?
Di sisi lain, ada 17 menteri era Jokowi yang kembali mengisi kabinet, termasuk Sri Mulyani Indrawati sebagai Menteri Keuangan, Budi Gunadi Sadikin sebagai Menteri Kesehatan, dan Erick Thohir yang masih memimpin Kementerian BUMN. Keberlanjutan ini bisa dilihat sebagai sinyal stabilitas, tetapi juga bisa memunculkan pertanyaan mengenai potensi oligarki yang terus bercokol dalam pemerintahan.
Pembengkakan jumlah kementerian juga memperbesar beban logistik negara. Dengan beberapa kementerian memiliki dua hingga tiga wakil menteri, seperti Kementerian Koordinator Politik dan Keamanan yang dipimpin oleh Budi Gunawan, efisiensi birokrasi menjadi tanda tanya besar.
Banyak pihak mempertanyakan apakah jumlah kementerian yang besar ini benar-benar diperlukan atau hanya sekadar untuk memenuhi tuntutan pembagian kekuasaan di antara partai-partai pendukung Prabowo.
Kritik lain juga muncul terkait rendahnya representasi perempuan dalam kabinet ini. Meskipun kabinet diperluas, jumlah menteri perempuan hanya lima, sekitar 10% dari total menteri yang ada. Hal ini menunjukkan bahwa peningkatan jumlah kementerian belum tentu berarti peningkatan inklusivitas atau keberagaman dalam pemerintahan.
Lebih jauh lagi, kehadiran kementerian baru seperti Kementerian Hak Asasi Manusia yang dipimpin oleh aktivis Natalius Pigai memberikan dinamika tersendiri, terutama terkait janji pemerintahan Prabowo untuk menuntaskan berbagai kasus pelanggaran HAM di masa lalu. Bersama dengan tokoh-tokoh aktivis 1998 seperti Nezar Patria, Mugiyanto, dan Fahri Hamzah, publik menunggu apakah pemerintahan ini akan benar-benar berkomitmen pada isu-isu HAM atau tidak.
Meski tampak seperti upaya memperluas jangkauan pemerintahan, penambahan kementerian ini juga dapat memicu inefisiensi dalam birokrasi. Jumlah kementerian yang besar dapat mengakibatkan proses koordinasi antar kementerian menjadi lebih rumit, sehingga memperlambat pengambilan keputusan. Ini tentu bertentangan dengan janji reformasi birokrasi yang kerap digaungkan untuk membuat pemerintahan lebih ramping dan efektif.
Akhirnya, tantangan terbesar bagi Kabinet Merah Putih adalah membuktikan bahwa pembengkakan ini bukan hanya soal “gemuk” di atas kertas, melainkan dapat benar-benar memberikan hasil nyata.
Jika tidak, pembengkakan ini hanya akan menambah beban anggaran negara dan memperkuat persepsi bahwa kabinet ini lebih untuk memenuhi tuntutan politik daripada meningkatkan pelayanan publik.