ZONAUTARA.com — Kabupaten Bolmong Selatan (Bolsel) merupakan salah satu daerah di Provinsi Sulawesi Utara (Sulut) yang memiliki kekayaan alam yang melimpah, termasuk potensi di sektor pertambangan. Namun, daerah ini menghadapi sejumlah tantangan dalam pengelolaan sumber daya alam khususnya mineral, terutama dalam hal perijinan.
Kepala Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Provinsi Sulut, Drs. Fransiscus Maindoka menuturkan bahwa tata kelola pertambangan Indonesia itu diatur berdasarkan Undang-undang nomor 3 tahun 2020 perubahan atas Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba Perubahan).
“Jadi acuan tata kelola pertambangan itu diatur dalam undang-undang tersebut,” beber Maindoka, saat dihubungi via WhatsApp, Selasa (5/10/2024).
Menurutnya, dalam regulasi tersebut ikut diatur soal sanksi apabila ada seseorang atau kelompok yang tidak menaati aturan.
“Artinya, bila aktivitas pertambangan tidak memiliki izin, maka akan ada sanksi pidananya,” ujarnya.
Ketika ditanyai soal lokasi di Kilo 12 Bukit Mobungayon Bolsel, Maindoka secara tegas mengatakan bahwa aktiviats di lokasi tersebut sudah masuk sebagai aktivitas PETI (pertambangan tanpa izin).
“Iya karena aktivitas pertambangan rakyat di lokasi tersebut tidak memiliki izin resmi dari pemerintah,” ungkapnya.
Sejauh ini, kata dia pihaknya gencar melakukan sosialisasi agar masyarakat mengurus izin.
“Kami selalu mensosialisasikan kepada masyarakat yang melakukan penambangan agar mengurus izin,” sebut dia.
Izin pertambangan menjamin semua aspek penambang lokal
Maindoka memaparkan bahwa Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR) itu diatur agar para penambang itu bisa bekerja dengan baik tanpa mengesampingkan dampak lingkungan, pasca penambangan.
“Jadi WPR itu diusulkan oleh Kabupaten/Kota, diteruskan ke Dinas ESDM Provinsi, lalu kami usulkan ke Kementerian ESDM, yang akan mengeluarkan Izin Pertambangan Rakyat (IPR) atau Izin Usaha Pertambangan (IUP),” paparnya.
Untuk IPR, katanya itu bisa diusulkan perorangan ataupun kelompok.
“Jadi pengelolaannya bisa dalam bentuk koperasi. Tujuannya agar tata kelola pertambangan itu teratur dan dampak negatif dari tambang itu sendiri bisa dicegah,” sebutnya.
Melalui mekanisme IPR, aktivitas penambangan dapat berjalan sesuai dengan kaidah-kaidah pertambangan yang baik.
“Kalau ada IPR, pasti ada kepala teknik tambang, sehingga keamanan para pekerja penambang itu terawasi dengan baik. Begitu pula halnya pengolahan limbah serta dampak terhadap lingkungan bisa dikendalikan,” paparnya.
Soal status di Kilo 12, apakah dapat diusulkan sebagai WPR, Maindoka menjelaskan bahwa di area tersebut sudah ada yang memegang izin kelola, yakni PT. J Resources Bolaang Mongondow (PT JRBM).
“Setahu saya daerah itu kalau tidak salah masuk konsensi PT JRBM. Sehingganya, bila ingin mengusulkan harus meminta izin terlebih dahulu kepada PT JRBM. Karena mereka memegang izin resmi,” jawabnya.