ZONAUTARA.com — Kawasan hutan di Kilo 12, Bukit Mobungayon, Desa Dumagin B, Kecamatan Pinolosian Timur, Kabupaten Bolmong Selatan (Bolsel) kini menjadi perhatian publik. Di lokasi ini terdapat aktivitas masyarakat yang melakukan pertambangan emas tanpa ijin atau PETI.
Aktivitas PETI di lokasi tersebut telah membawa dampak bagi lingkungan sekitar, seperti bukit yang nampak gundul dan lubang jejak eksploitasi emas. Area ini juga diklaim oleh kelompok warga dari Kunu Makalalag sebagai lahan mereka.
Persoalan di Kilo 12 ini memantik reaksi Akademisi Universitas Sam Ratulangi Manado, Dr. Ir. Rignolda Djamaluddin, MSc. Ia menyoroti kehadiran PETI di tengah kondisi topografi di Bolsel yang memiliki kemiringan lahan.
“Aktivitas PETI bisa menyebabkan kerusakan serius pada lingkungan, seperti pencemaran air dan ancaman bencana yang berdampak pada infrastruktur, akses jalan, dan pemukiman warga,” jelas Rignolda.
Ia mendesak pemerintah untuk segera mengambil tindakan tegas sebelum kerusakan lingkungan semakin parah.
Senada dengan Rignolda, mahasiswa asal Bolsel, Sucipto Podomi ikut meminta kepada pemerintah dan pemangku kepentingan untuk menangani aktivitas PETI yang berdampak pada masyarakat Pinolosian Bersatu.
“Ini wajib ditangani sebab berdampak buruk bagi lingkungan. Masyarakat sekitar Pinolosian Bersatu yang akan merasakannya,” ujar Sucipto, Senin (4/10/2024).
Sementara itu, Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (PERHAPI) ikut pula menyerukan pemberantasan PETI. Ketua PERHAPI Rizal Kasli menegaskan bahwa pengelolaan tambang itu harus memenuhi kaidah-kaidah pertambangan yang baik atau good mining practice (GMP).
“GMP harus dipenuhi, mulai dari izin. Apakah itu izin pertambangan rakyat (IPR) atau izin usaha pertambangan (IUP),” ungkapnya.
Tidak hanya itu, kegiatan pertambangan, menurutnya harus dilakukan oleh orang yang memiliki kompetensi seperti adanya kepala teknik tambang (KTT) dan pengawas operasi seperti POP, POM dan POU serta kompetensi lainnya yang terkait.
“Semua itu sangat diperlukan dan sangat penting untuk mencegah dampak negatif dari kegiatan pertambangan,” kata Rizal.
Secara terpisah, Kapolres Bolsel AKBP Handoko Sanjaya, melalui Kasatreskrim Polres Bolsel Iptu Dedi Matahari menjelaskan bahwa pihaknya telah menghentikan aktivitas PETI di Kilo 12 yang disorot oleh masyarakat.
“Kami telah berulang kali patroli bersama Forkopimda Bolsel dan melakukan penertiban. Dan aktivitas PETI di atas telah berhenti,” papar Dedi.
Polemik ganti rugi
Lokasi di Kilo 12 itu juga berpolemik, lantaran Kunu Makalalag mengklaim bahwa mereka memiliki surat keterangan tanah (SKT) atas area tersebut.
“Keluarga kami telah lama berkebun di sini. Kami mendukung aktivitas perusahaan (PT JRBM -red), namun kami berharap hak ganti rugi atas tanaman kami dapat segera dipenuhi,” ujar Kunu dalam wawancara pada 25 September 2024 lalu.
PT JRBM yang dimaksud adalah PT. J Resources Bolaang Mongondow, sebuah perusahaan tambang emas yang memiliki IUP di wilayah Bolaang Mongondow, dan wilayah konsesinya termasuk di Kilo 12 yang menjadi lokasi PETI dan klaim dari Kunu Makalalag.
Kunu mengaku telah menghadiri 12 undangan dari PT JRBM dan pemerintah daerah terkait masalah ini, namun belum ada kepastian. Kunu juga mengklaim memiliki dokumen yang pendukung lainnya, termasuk berita acara pembayaran kompensasi tanaman di area tersebut.
Berdasarkan SKT yang ditunjukkan oleh Kunu Makalalag, tanah itu berukuran panjang 350 meter dan lebar 300 meter.
Sementara itu, Kepala Seksi Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Ekosistem (PKSDAE) di Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi (KPHP) Unit 2 Sulawesi Utara, Rahmat Korompot, menyatakan keprihatinan atas situasi ini di Kilo 12.
Menurutnya, kawasan tersebut adalah Hutan Produksi Terbatas (HPT) dan hanya PT JRBM, yang memiliki Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH), dari Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup.
Rahmat menduga area tersebut telah beralih fungsi dari perkebunan dan pertanian ke aktivitas PETI sejak tahun 2022.
“Iya lokasi, yang diklaim oleh kelompok Kunu Makalalag itu, diduga mulai ada aktivitas PETI sejak 2022,” beber Rahmat, saat diwawancarai Senin (4/11/2024).
Rahmat juga menyoroti masalah ganti rugi tanaman yang menjadi polemik di kalangan masyarakat. Ia menjelaskan bahwa kebijakan ganti rugi merupakan wewenang PT JRBM.
“Ganti rugi wewenangnya ada di perusahaan, sebagaimana yang diatur dalam regulasi. Namun yang lahan yang harus diganti rugi oleh pihak PT JRBM sudah tidak ada, karena tanaman di atasnya telah rusak akibat aktivitas PETI,” ungkap Rahmat.
Ia juga menjelaskan bahwa aktivitas yang dilakukan PT JRBM saat ini di Kilo 12 itu baru tahap eksplorasi emas.
“HPT itu adalah tanah negara yang tidak dapat dialihkan atau dimiliki individu, sesuai dengan Undang-Undang Kehutanan,” papar Rahmat.
Rahmat menambahkan bahwa meskipun masyarakat tidak bisa memiliki lahan HPT secara pribadi, pemerintah membuka kesempatan pengelolaan melalui Program Perhutanan Sosial.
Program ini mencakup Izin Pengelolaan Hutan Kemasyarakatan (HKM), Izin Hutan Desa (HD), dan Izin Hutan Tanaman Rakyat (HTR), yang memungkinkan masyarakat mengelola hutan secara legal tanpa mengubah status kepemilikan negara.
“Penting bagi masyarakat untuk memahami peraturan ini agar fungsi ekosistem hutan tetap terjaga,” ujar Rahmat.
Ia berharap program tersebut dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekaligus menjaga kelestarian lingkungan.
Menangapi kondisi terkini di Kilo 12, Kasatreskrim Polres Bolsel Iptu Dedi Matahari, menjelaskan bahwa pihaknya menghadapi tantangan tambahan berupa blokade jalur menuju titik aktivitas PT JRBM, yang kerap dilakukan oleh kelompok Kunu Makalalag.
Menurut Dedi, pihaknya membuka blokade saat tim gabungan turun melakukan penertiban, namun seringkali kembali ditutup secara sepihak setelah penertiban.
“Karena ada tuntutan ganti rugi dari pihak kelompok Kunu Makalalag kepada perusahaan PT JRBM,” pungkasnya.