Oleh: Rian Mantasa Salve Prastica, The University of Queensland
Presiden Joko Widodo memilih pembangunan waduk dan bendungan sebagai salah satu program prioritasnya untuk mengatasi krisis air bersih bagi masyarakat dan lahan pertanian.
Dalam waktu sepuluh tahun, pemerintahannya telah membangun 53 bendungan. Ini membuat Jokowi mendapatkan julukan “Raja Bendungan” karena membangun lebih banyak infrastruktur tersebut dari pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono.
Namun, bendungan-bendungan seharusnya dapat menekan krisis air di daerah-daerah, justru masih jauh dari harapan. Dalam beberapa kasus, bendungan justru menambah masalah baru.
Sebagai peneliti di bidang sumber daya air, berikut ini adalah hasil telaah saya terhadap pelaksanaan program bendungan (baik yang sudah ada maupun yang baru) sebagai penyedia utama air bersih di sejumlah daerah di tanah air.
1. Bendungan memicu konflik sosial
Di Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT), pembangunan Bendungan Raknamo justru memicu konflik di kalangan petani akibat distribusi air yang dinilai tidak adil. Sebelum adanya bendungan, konflik hampir tidak terjadi. Sebab, para petani menanam padi dengan memanfaatkan air yang ada.
Bendungan seharusnya mampu mendukung masa tanam padi. Namun, kenyataannya, petani dengan sawah yang jauh dari bendungan justru tidak mendapatkan pasokan air secara memadai.
Situasi ini menunjukkan bahwa kehadiran infrastruktur bendungan saja belum cukup untuk menyelesaikan krisis air yang dihadapi masyarakat.
Kehadiran bendungan juga mengubah bentang pengaliran air di suatu daerah. Ini berdampak pada masyarakat yang bergantung pada pasokan air dari suatu ekosistem, misalnya sungai.
Tengoklah bendungan Sepaku-Semoi di Kalimantan Timur yang menjadi pemasok air utama untuk Ibu Kota Nusantara (IKN). misalnya, menahan akses masyarakat ke air Sungai Sepaku dari hulu untuk keperluan irigasi. Biasanya, meskipun kemarau, warga masih bisa memanfaatkan air dari Sungai Sepaku.
2. Bendungan merusak lingkungan
Bendungan Bener menjadi salah satu proyek strategis nasional (PSN) dengan investasi mencapai Rp2,06 triliun. Masyarakat Desa Wadas yang tinggal di sekitar bendungan menganggap penambangan batuan andesit sebagai material pembangunan bendungan merusak 28 titik sumber mata air dan mengakibatkan lahan pertanian mereka tidak produktif.
Pembangunan PLTA yang memanfaatkan bendungan di Batang Boru juga menuai kontra. Pembangunan tersebut menyebabkan fragmentasi bentang alam yang membatasi pergerakan dan akses orang utan tapanuli terhadap sumber makanan. Selain itu, akibat bendungan, orang utan yang hanya tersisa 800 ekor ini akan terbatasi aktivitasnya untuk kawin. Alhasil ini mengganggu upaya pelestariannya.
Pembangunan bendungan ini menjadi sorotan internasional. Power Construction Group of China Ltd (PowerChina), perusahaan yang membangun bendungan tersebut, masuk daftar hitam investasi oleh Norwegian Government Pension Fund Global atau GPFG.
3. Infrastruktur penunjang belum siap
Infrastruktur lanjutan, seperti jaringan pipa dan kanal untuk distribusi air dari bendungan ke kawasan yang memerlukan, sering kali belum memadai. Hal ini menurunkan efektivitas bendungan karena penduduk tidak bisa langsung memanfaatkan air yang terbendung.
Sebagai contoh, Warga di sekitar Bendungan Napun Gete, NTT, mengalami krisis air bersih meski infrastruktur tersebut sudah beroperasi sejak 2021. Kesulitan terjadi karena infrastruktur perpipaan belum menjangkau dusun-dusun dengan kontur daratan yang lebih tinggi dibandingkan bendungan.
Krisis berlangsung karena harga air di sana terlalu mahal dan aksesnya terlampau jauh. Warga perlu mengeluarkan uang Rp500 ribu untuk mengisi tangki air 5 ribu liter.
Di lain pihak, mereka yang tidak memiliki uang perlu berjalan jauh dengan kondisi terjal dan curam. Ini membuat mereka hanya bisa membawa 10-20 liter air. Ini terjadi pada masyarakat di Dusun Natarita, Nusa Tenggara Timur. Dusun ini hanya berjarak lima kilometer dari Bendungan Napun Gete yang beroperasi pada 2021.
Kesulitan akses air sebenarnya sudah dialami warga Dusun Natarita sejak puluhan tahun sebelumnya. Pada tahun 2000an, warga menyebutkan bahwa pemerintah telah membangun embung, tetapi tidak dapat menampung air.
4. Bendungan bocor
Kasus bendungan bocor menjadi masalah serius yang merugikan masyarakat di sekitar area bendungan. Kebocoran pada bendungan dapat menyebabkan kerusakan yang luas, mulai dari banjir mendadak di area pemukiman seperti di Sukabumi pada Januari 2024, kekeringan ratusan hektare sawah produktif di Jambi pada Juli 2024.
Kebocoran juga menghilangkan pasokan air bersih yang seharusnya disalurkan untuk kebutuhan sehari-hari, seperti di Aceh pada Januari 2020, dan di Ende pada Januari 2013.
Dalam banyak kasus, kebocoran ini terjadi akibat faktor konstruksi bendungan yang tidak optimal, kurangnya pemeliharaan berkala, atau perubahan geologi yang tidak terprediksi.
Pemerintah perlu melakukan evaluasi menyeluruh untuk mengatasi masalah ini. Pemeriksaan dapat bermula dari pemantauan struktur dan material bendungan secara berkala, hingga peningkatan sistem deteksi dini untuk memantau potensi kebocoran.
Selain itu, penting bagi pemerintah dan pengelola bendungan untuk memastikan adanya prosedur penanggulangan darurat yang efektif. Harapannya, jika kebocoran terjadi, otoritas dapat mengevakuasi masyarakat sehingga kerugian dapat berkurang.
5. Kurangnya pemeliharaan menyeluruh
Evaluasi terhadap pemeliharaan bendungan sangat penting. Infrastruktur yang tidak terawat menyebabkan deteksi dini kerusakan tidak optimal sehingga membahayakan fungsi bendungan dalam jangka panjang.
Kasus ini terjadi dalam Bendungan Irigasi Kasang II Sikayan di Kelurahan Balai Gadang rusak. Kurangnya pemeliharaan bendungan dan curah hujan tinggi diikuti dengan perubahan iklim ekstrem memperparah dampak buruknya. Sebanyak 247 orang dievakuasi karena banjir terjadi dengan ketinggian 50-150 cm.
Bendungan sungai bawah tanah Bribin II di Gunungkidul, Yogyakarta, pun rusak dari tahun 2017 karena badai Cempaka. Badai mengganggu pemompaan air hidrolik untuk mengangkat air ke permukaan. Alhasil, efektivitas bendungan dalam menyediakan air bersih warga sekitar jauh berkurang.
Di Bangli, Bali, sebanyak tiga bendungan—Tingkad Batu, Yeh Badung, dan Tungak Alas, rusak sehingga mengurangi pasokan air untuk pertanian di Bangli.
Refleksi program bendungan
Dari contoh-contoh ini, kita dapat menyimpulkan bahwa keberhasilan suatu bendungan dalam memenuhi kebutuhan air bersih dan irigasi masyarakat bukan hanya ditentukan oleh pembangunan fisik dan desain awalnya.
Optimalisasi fungsi bendungan sangat bergantung pada kesiapan dan pemeliharaan infrastruktur penunjang secara menyeluruh—mulai dari jaringan distribusi air, pompa, hingga kanal irigasi.
Jika aspek-aspek ini tidak diprioritaskan dalam perencanaan dan penganggaran, maka efektivitas bendungan akan tereduksi, dan manfaat jangka panjangnya tidak dapat dirasakan secara optimal oleh masyarakat.
Hal ini menekankan pentingnya kerangka kerja pemeliharaan yang terpadu, yang tidak hanya meliputi inspeksi rutin dan perbaikan, tetapi juga mekanisme mitigasi risiko bencana seperti banjir dan cuaca ekstrem. Tujuannya untuk memastikan keberlanjutan fungsi dan ketahanan infrastruktur bendungan di Indonesia.
Pemerintah seharusnya tidak hanya berfokus pada pembangunan bendungan-bendungan baru, tetapi juga memberi perhatian serius terhadap pemeliharaan bendungan yang sudah ada. Bendungan yang sudah dibangun bertahun-tahun lalu menghadapi risiko penurunan kualitas struktur, sedimentasi yang mengurangi kapasitas penyimpanan air, dan ancaman kebocoran yang dapat membahayakan masyarakat sekitar.
Bendungan yang ada maupun bendungan baru di era Jokowi masih membutuhkan banyak evaluasi. Pemerintahan Prabowo semestinya menampung berbagai rekomendasi solusi dengan pendekatan non-struktural langsung kepada masyarakat, yang memanfaatkan teknologi tepat guna agar dapat dipelihara secara swadaya atau melalui bantuan insentif pemerintah.
Rian Mantasa Salve Prastica, PhD student studying urban stormwater management, Environmental Engineering research group, School of Civil Engineering, The University of Queensland
Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.