Apakah Cek Fakta masih dibutuhkan?

Jurnalisme berkualitas dibutuhkan untuk memberikan informasi yang berkualitas bagi publik, dan jurnalisme cek fakta termasuk di dalamnya.

Ronny Adolof Buol
Editor: Redaktur
Ilustrasi

Masih banyak orang di Indonesia percaya pada hoaks, bahkan jumlahnya meningkat pasca Pemilu 2024. Penelitian Safer Internet Lab CSIS menemukan salah satu penyebabnya: upaya pemeriksa fakta belum mampu mengimbangi laju penyebaran hoaks. Gangguan informasi ini, menurut Safer Internet Lab CSIS, dapat menurunkan kepuasan atau dukungan seseorang terhadap demokrasi serta mempengaruhi kepercayaan pada hasil pemilu.

Oleh: Anastasya Andriarti

Hoaks bumi datar masih mudah ditemui di berbagai media sosial pada awal 2025. Menggunakan medium video dengan pendekatan menyerupai berita televisi yang dibawakan presenter, narasi bumi berbentuk datar atau piringan disertai penjelasan tanpa argumen dan sumber data yang jelas tersebar di Facebook, TikTok dan YouTube. Media sosial memang meningkatkan popularitas hoaks soal bumi datar melalui algoritma (Olshansky, 2018, Paolillo, 2018, Halimatusa’diah, 2021).

Kenyataan ini tentu sangat ironis mengingat sudah banyak konten cek fakta yang menyangkal klaim-klaim hoaks bumi datar dan teori konspirasi yang menyertainya. Konten verifikasi itu terus diproduksi oleh pemeriksa fakta dari sejumlah media massa. Sayangnya, penganut hoaks teori bumi datar masih tetap ada.

Survei Nasional Opini Publik Peta Mis/Disinformasi Dalam Politik Indonesia: Tingkat Kepercayaan dan Dampaknya pada Demokrasi yang digelar CSIS dan Safer Internet Lab pada 31 Oktober-7 November lalu di 34 provinsi di Indonesia menemukan masih banyak orang yang mempercayai klaim bahwa bumi itu datar. Hoaks bumi datar merupakan satu dari delapan hoaks di luar isu pemilu yang ditanyakan enumerator kepada 1.200 responden yang diwawancarai secara tatap muka dengan menggunakan kuesioner.

Survei juga menanyai responden tentang hoaks, atau informasi salah lainnya, seperti Joko Widodo adalah keturunan Tionghoa; chip atau alat pelacak ditanamkan dalam vaksin Covid-19; Covid-19 adalah senjata buatan pembunuh massal; vaksinasi Covid-19 yang membuat cacat anak-anak; Menteri Agama pernah mengganti logo halal yang menggunakan huruf Arab menjadi gambar wayang; pengesahan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual ditujukan untuk melegalkan seks bebas; serta adanya upaya membangkitkan kembali Partai Komunis Indonesia (PKI).

Survei mencatat 51,6 persen responden percaya pada gangguan informasi nonpemilu pasca Pemilu 2024. Bila dibandingkan dengan survei sejenis pada September 2023 yang juga digelar CSIS, jumlah itu meningkat. Tingkat kepercayaan publik akan gangguan informasi untuk isu nonpemilu sebelum Pemilu 2024 digelar berjumlah 48,4 persen

survei

Survei yang digelar untuk memotret penyebaran hoaks di Indonesia setelah Pemilu 2024 dan dampaknya terhadap nilai-nilai demokrasi dan pemilu, menggunakan istilah “gangguan informasi”. Istilah itu untuk menggambarkan misinformasi dan disinformasi yang tersebar di masyarakat. 

Lalu, bagaimana dengan gangguan informasi isu pemilu pasca pemilu serentak?

Sama halnya dengan gangguan informasi isu nonpemilu, periset membacakan sejumlah informasi yang sudah terverifikasi sebagai informasi salah oleh Koalisi Cek Fakta dan Kominfo kepada responden. Responden diminta untuk menjawab: apa mereka percaya atau tidak pada informasi (salah) tersebut.

Delapan gangguan informasi (hoaks) tersebut adalah: server KPU berada di China; Sirekap (Sistem Informasi Rekapitulasi) hasil pemilu direkayasa hasilnya agar mirip dengan hasil quick count; DKPP yang membatalkan kemenangan Prabowo-Gibran karena tidak memenuhi syarat usia; hasil pemilu di luar negeri sudah diumumkan KPU sebelum pemilu digelar, 14 Februari 2024; KPU menyusupkan 52 juta orang pemilih untuk menguntungkan capres/cawapres tertentu; ijazah Gibran Rakabuming Raka hanya setara SMK; Presiden Joko Widodo bagi-bagi sembako gratis di depan Istana dalam rangka Pemilu 2024; dan, hasil Pemilu 2024 sudah ditentukan KPU sebelum pelaksanaan.

Hasilnya, 54,6 persen responden percaya pada informasi (salah) tersebut. Angka itu meningkat bila dibandingkan survei serupa sebelum pemilu.

“Menurut kita, survei ini penting karena Pemilu 2024 lalu menunjukkan kompetisi yang cukup tinggi dan akses publik terhadap internet dan social media juga mengalami peningkatan cukup tajam,” jelas Arya Fernandes, Ketua Departemen Politik dan Perubahan Sosial CSIS saat merilis survei ini Januari 2025 lalu di gedung CSIS, Tanah Abang, Jakarta Pusat. 

Hasil survei menemukan kepercayaan masyarakat terhadap gangguan informasi pemilu meningkat dibandingkan gangguan informasi nonpemilu. Mengapa ini bisa terjadi?

“Yang pertama adalah kita menemukan dan menganalisis bahwa Pemilu Presiden [dan] Pemilu 2024 lalu volume gangguan informasinya meningkat cukup tinggi. Ada upaya pengecekan fakta yang juga meningkat. Tetapi, upaya pengecekan fakta yang meningkat itu, ternyata tidak atau mengalami kesulitan untuk mengimbangi laju gangguan informasi yang tinggi,” jelas Arya.

Selain dua alasan tersebut, penyebab lain dari meningkatnya gangguan informasi adalah partisipasi publik dalam melaporkan hoaks melalui kanal pelaporan di media sosial sangat rendah. Jumlahnya cenderung tidak berubah dibanding survei tahun lalu. Tercatat, hanya 3,4 persen responden yang pernah melaporkan konten hoaks melalui kanal media sosial.

survei

Meski kepercayaan publik akan hoaks meningkat, dampaknya tidak sebesar Pemilu 2019 lalu.

“Yang pertama, kita melihat polarisasi tidak terjadi begitu tinggi dibandingkan dua pemilu sebelumnya. Penggunaan ujaran kebencian juga menurun cukup tajam dibandingkan pemilu sebelumnya. Juga rendahnya penggunaan politik identitas dalam pemilu ini. Dan juga adanya penerimaan calon atau pendukung yang kalah terhadap hasil pemilu,” jelas Arya.

Selain itu, tim peneliti juga melihat lemahnya dampak gangguan informasi bisa juga dipengaruhi oleh adanya konsensus di kalangan elite untuk berkampanye sehat, peran perusahaan platform teknologi yang semakin terlibat dalam usaha-usaha menanggulangi gangguan informasi, serta peran media/lembaga pencari fakta. Artinya, upaya-upaya pemeriksaan fakta selama ini berdampak. Meskipun, belum dapat mengejar kecepatan dan dampak penyebaran hoaks.

Di Indonesia, sejak 5 Mei 2018 sudah muncul inisiatif pemeriksaan fakta. Koalisi Cek Fakta, sebuah kolaborasi Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI) dan Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo) bermula dengan menghimpun 22 organisasi media. Misi utamanya, memperkuat budaya cek fakta di ruang redaksi dan meningkatkan literasi digital masyarakat. 

Kini, Koalisi Cek Fakta sudah berbiak menjadi 100 media, serta didukung jurnalis dan pemeriksa fakta independen. Namun, tidak semua media dalam Koalisi mampu memproduksi konten cek fakta sendiri. Sebagian besar, hanya mereproduksi konten cek fakta dari anggota Koalisi lain yang memiliki tim pemeriksa fakta.

Penelitian Andriarti dan Novenanto (2024) menemukan bahwa kuantitas dan kualitas konten cek fakta yang diproduksi media massa dipengaruhi juga oleh ekosistem politik ekonomi internal masing-masing media yang menjadi anggota Koalisi. Media yang memiliki keteraturan produksi konten cek fakta biasanya disokong oleh pendanaan pihak ketiga. Dengan sokongan itu, media tersebut mampu menyediakan tim khusus pemeriksa fakta.

Sementara itu, media yang tidak mendapatkan sokongan pendanaan biasanya tidak punya tim khusus untuk pemeriksa fakta. Akibatnya, media tersebut terjebak dalam rutinitas produksi berita sesuai target harian. Dengan demikian, terjadi kesenjangan struktural dan kultural yang berujung pada perbedaan pemahaman dan standarisasi konten cek fakta. Singkatnya, upaya mencapai jurnalisme berkualitas melalui praktek cek fakta masih membutuhkan banyak dukungan konkret di tengah makin meningkatnya laju mis/disinformasi.

Analisis tim Survei Nasional Opini Publik Peta Mis/Disinformasi di Indonesia yang menggunakan metode multistage random sampling menemukan bahwa frekuensi diskusi politik mempunyai asosiasi yang kuat dan signifikan dalam mempengaruhi kepercayaan orang pada gangguan informasi.

“Semakin seseorang terlibat aktif pada diskusi politik, semakin dia berpotensi untuk percaya pada gangguan informasi. Tapi solusinya tentu bukan membatasi diskusi publik atau membatasi pembicaraan soal politik. Tapi kenapa begitu? Bisa jadi karena ekosistem informasi kita yang tidak baik, sehingga dalam diskusi diskursus politik itu kemudian beredar gangguan-gangguan informasi,” jelas Arya.

Selain itu, survei menemukan bahwa masyarakat perkotaan cenderung lebih mempercayai gangguan informasi dibandingkan masyarakat pedesaan.

Lalu, apa yang terjadi bila kita tidak bisa menangani gangguan informasi ini dengan baik? Survei dengan margin of error sebesar +/- 2,8%, pada tingkat kepercayaan 95 persen ini menemukan penyebaran gangguan informasi dapat menurunkan kepuasan dan dukungan seseorang pada demokrasi serta mempengaruhi kepercayaan pada hasil pemilu.

Variabel literasi politik juga mampu mempengaruhi dukungan seseorang pada demokrasi dan meningkatkan kepercayaan pada hasil pemilu. Responden yang percaya dengan mis/disinformasi cenderung tidak puas dengan demokrasi, tidak mendukung sistem demokrasi, serta menilai Pemilu 2024 tidak jujur dan adil.

“Kalau kita tidak bisa menangani gangguan informasi dengan baik, itu akan berpengaruh penting pada penurunan kepercayaan dan kepuasan. Pertama, penurunan dukungan publik pada demokrasi. Kedua, penurunan kepuasan publik pada pelaksanaan pemilu yang berintegritas,” kata Arya.

Tingkat kepercayaan publik yang meningkat pada gangguan informasi menunjukkan kerja-kerja cek fakta masih terus dibutuhkan. Media dan jurnalis juga harus berbenah diri untuk memperhatikan standar pengecekan fakta dan melibatkan partisipasi aktif publik dalam kerja-kerja cek fakta.

Saat ini, media-media yang setia melakukan kerja-kerja cek fakta berada di ujung tanduk. Ada kekhawatiran terhadap keputusan Meta yang baru-baru ini menghentikan program pemeriksaan fakta dengan pihak ketiga di Amerika Serikat dan menggantinya dengan sistem catatan komunitas.

Meta yang membawahi Facebook, Instagram, Whatsapp, dan Threads dalam pengumuman di laman resminya menyebut, para pakar memiliki bias dan perspektif sendiri. Hal ini terlihat dari pilihan konten apa yang harus diperiksa faktanya dan bagaimana memeriksanya. Ini yang disebut Meta, cek fakta sebagai alat untuk menyensor.

Koalisi Cek Fakta dalam rilisnya, menyayangkan Meta yang menyatakan pemeriksaan fakta melakukan penyensoran. Kebijakan ini dicemaskan dapat melemahkan upaya memerangi penyebaran informasi palsu di platform Meta. Khususnya, di negara-negara dengan tingkat literasi digital yang rendah, seperti Indonesia.

Lalu apa ini akan benar-benar berdampak pada kegiatan cek fakta di Indonesia? Wahyu Dhyatmika Ketua AMSI menyatakan, sejauh ini belum ada dampak langsung karena kontrak Meta dengan pemeriksa fakta di Indonesia masih terus berlanjut.

“Namun kita tidak tahu apakah tahun depan masih dilanjutkan. Saat ini, media-media pemeriksa fakta dan IFCN (International Fact-Checking Network) sedang berkomunikasi dengan Meta untuk tahu langkah selanjutnya apa dan apa yg bisa dilakukan komunitas cek fakta di regional dan global,” jelas Komang panggilan akrab Wahyu Dhyatmika.

Saat ini, AMSI menurut CEO Tempo ini, tengah mendorong workshop bisnis untuk menemukan siapa penerima manfaat terbesar dari cek fakta dan bagaimana manfaat itu bisa dikonversi menjadi nilai finansial. “Kita akan mencari model bisnis baru. Di level koalisi, kita masih ada lembaga donor lain seperti Google”.

Komang menambahkan, sepanjang bermanfaat bagi publik, keberlangsungan Cek Fakta tetap diupayakan, termasuk bekerjasama dengan stakeholder lain seperti kampus. “Sejak awal, kita menekankan bahwa hoaks adalah problem kita bersama, dan solusinya adalah penguatan ekosistem informasi, melibatkan multiple stakeholders. Semua pihak  harus mencari solusi, bukan cuma media,” jelasnya.

Selain itu, AMSI tengah menjajaki potensi mendirikan trust fund untuk jurnalisme berkualitas bersama stakeholders, yang selaras dengan rencana Bappenas, Kementerian Komunikasi Digital dan Dewan Pers melalui Komite untuk Perpres Publishers Rights. Dukungan pemerintah melalui dana abadi jurnalisme berkualitas, menurut Komang, bisa menjadi faktor kunci untuk keberlanjutan cek fakta.  

Sementara, Guru Besar Bidang Ilmu Media dan Jurnalisme Universitas Islam Indonesia Masduki menyatakan, sejauh media dan jurnalis menganggap cek fakta bagian dari jurnalisme, cek fakta akan bisa berjalan. “Kalau cek fakta itu bagian dari jurnalisme, maka cek fakta itu harus dikerjakan reguler oleh newsroom itu sendiri, bukan justru oleh pihak ketiga”.

Masduki menyebut media tidak perlu cemas akan rencana Meta ini. “Ada kecenderungan bahwa media assistance itu secara global sifatnya selalu short term gitu. Pertama, karena mereka sangat dipengaruhi oleh situasi geopolitik ya. Yang kedua, banyak pihak yang memang melihat bahwa kerja-kerja cek fakta belum menyentuh isu-isu yang radikal yang substantif.”

Alumnus Jurusan Ilmu Komunikasi UNS dan pascasarjana Ateneo De Manila University, Filipina ini menilai belum ada kesepahaman antara pelaku Cek Fakta. “Apa sih sebetulnya urgensi cek fakta itu? Nah, kita belum punya peta jalan mengenai against disinformation atau combating disinformation. Kan itu, isu utamanya di situ. Soal jurnalisme berkualitas misalnya, itu jauh lebih penting”.

Jurnalisme berkualitas dibutuhkan untuk memberikan informasi yang berkualitas bagi publik, dan jurnalisme cek fakta termasuk di dalamnya.


Artikel ini telah tayan lebih dulu di Independen.id

Bekerja sebagai jurnalis lebih dari 20 tahun terakhir. Sebelum mendirikan Zonautara.com bekerja selama 8 tahun di Kompas.com. Selain menjadi jurnalis juga menjadi trainer untuk digital security, literasi digital, cek fakta dan trainer jurnalistik.
1 Comment

Leave a Reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

WP2Social Auto Publish Powered By : XYZScripts.com