ZONAUTARA.com – Hari ini akan terpatri dalam benakku. Selamanya. Langkah ini bersemi dari keraguan dan ketidakpercayaan diri yang membayangi. Jujur kukatakan, keterlibatan dalam hal semacam ini—seperti sekolah jurnalistik ini—awalnya bukanlah sesuatu yang kuinginkan. Jika saja Bang Ronny, Pemimpin Redaksi Zonautara.com, tak berbagi informasi di grup WhatsApp kantor dan seorang teman tak meneruskannya dengan pesan singkat, “gasss, Usi,” niscaya jejakku takkan tertoreh di Pematang Siantar.
Dengan debar jantung dan seratus persen ketidakpercayaan diri, kuutarakan niatku pada Bang Ronny untuk mengikuti kelas ini. Entah dari mana keberanian itu menyeruak, masih menjadi misteri yang belum terpecahkan hingga kini.
Hari-hari berlalu, percakapan dengan Bang Ronny mengalir membahas rencana perjalanan ini. Bagianku pun telah kulakukan: mendaftar dan mengirimkan curriculum vitae kepada pihak penyelenggara. Namun, selama masa persiapan itu, keraguan dan ketidakpercayaan diri masih setia menemani.
Anehnya, berkali-kali kulontarkan bahkan kukirim pesan singkat langsung padanya, “Bagaimana jika kubatalkan saja perjalanan ini?”. Namun, Bang Ronny teguh pada harapannya agar aku tetap melanjutkannya. Padahal, aku telah lolos seleksi berkas dan diterima; panitia hanya menanti konfirmasi lanjutanku, sekadar memastikan kesediaan dan komitmenku untuk hadir dan mengikuti kelas selama tiga bulan.
Pergulatan batin menjadi lawan terberat dalam menentukan pilihan. Sempat kuminta waktu satu atau dua hari pada Bang Ronny, dan beliau mengizinkannya. Setelah pertengkaran sengit dengan diri sendiri, akhirnya kupilih untuk melanjutkan perjalanan ini. Saat itu, sebuah kalimat singkat membungkam segala kekacauan dalam benak, “Kamu akan mengingatnya hari ini.” Kuputuskan untuk mengenang perjalanan ini tanpa secuil pun penyesalan. Mari menuju Pematang Siantar.
Aku bukanlah tipe orang yang pandai berkomunikasi. Tak satu pun anggota keluarga yang mengetahui rencana keberangkatanku. Bahkan orang tuaku sendiri, juga teman-teman yang tinggal bersamaku di kos, tak mengetahuinya. Aku memang cenderung tertutup tentang diri dan rencanaku.
Akhirnya, keberangkatan ini terungkap sehari sebelum hari-H, saat aku tengah mempersiapkan perlengkapan dan menata pakaian di ransel. Mereka mengetahuinya karena bertanya; jika tidak, mungkin takkan kuberi tahu hingga saat-saat terakhir. Biarlah, pikirku, nanti jika semuanya sudah siap, akan kukabari, mungkin sekitar tengah malam.
Kini, semua telah tahu: keluarga, orang tua, dan teman kantor. Hari itu pun, kalimat serupa terlontar dari mereka, “Perempuan tidak bercerita, tiba-tiba sudah ke Medan.”
Pertanyaan template
Malam berlalu, keberangkatanku terjadwal pagi buta. Papa menawarkan diri untuk mengantarku ke bandara. Pukul 05.40 WITA, aku sudah melaju menuju bandara, dengan diriku sendiri sebagai pengemudi, karena beliau memintaku untuk menyetir.
Sepanjang perjalanan, aku memilih membisu. Mulut, otak, jiwa, dan tubuhku hanya ingin menikmati pagi itu. Kumohon, jangan hadirkan dulu pikiran berat pagi ini. Aku hanya ingin menghayati hari ini, untuk mengenang perjalanan ini.
Kami hanya bisa sampai di gerbang luar bandara. Sepeda motor harus berhenti di sana karena beliau tak memiliki kartu akses. Aku berpamit, menggendong tiga tas: satu di depan, satu di belakang, dan satu tas kecil di samping. Bergegas menuju bandara dan melakukan check-in. Aku tak lagi menoleh ke belakang; sepertinya beliau masih di sana, mengawasiku hingga sosokku menghilang dari pandangannya.
Perasaan itu masih sama: bandara dan momen perpisahan di pagi hari. Sebelumnya, sudah kupikirkan bahwa dua tas ransel ini harus masuk bagasi. Transit delapan jam di Bandara Soekarno-Hatta Jakarta, ditambah aktivitas menjelajah yang tinggi, pasti akan membuat tulang belakangku terasa nyeri.
Usai check-in, aku bergegas menuju ruang tunggu Bandara Sam Ratulangi Manado. Aku beringsut ke satu sudut. Sebuah lagu mulai mengalun di telingaku, tulisan kubaca, dan pikiran-pikiran kecil mulai berdatangan. “Ini kali pertama kamu naik pesawat ke Jakarta, mari untuk mengingatnya.”
Seluruh penumpang pesawat kini diminta untuk boarding. Namun, jujur saja, tepat sebelum melangkah menuju pintu pesawat, sebuah pertanyaan sederhana kembali menghampiriku, “Apakah hari ini nyata?”.
Sepertinya semua manusia sama. Pertanyaan “template” dalam kehidupan miliaran insan di dunia ini: “Benarkah ini terjadi?”.