ZONAUTARA.com – Sepanjang tahun 2024, Indonesia menghadapi gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) yang cukup signifikan. Tercatat sebanyak 257.471 pekerja kehilangan pekerjaan pada tahun tersebut.
Tren ini belum mereda di awal 2025—dalam dua bulan pertama saja, lebih dari 73.000 pekerja kembali tercatat terkena PHK.
Kondisi ini memberikan dampak langsung terhadap meningkatnya kebutuhan masyarakat akan dana, baik untuk memenuhi kebutuhan konsumsi harian maupun sebagai modal memulai usaha baru.
Sebagai respons terhadap tekanan ekonomi ini, masyarakat mulai beralih ke pinjaman berbasis teknologi finansial (fintech) sebagai solusi cepat untuk memenuhi kebutuhan dana.
Data menunjukkan lonjakan penyaluran pinjaman fintech sejak Mei 2024, dengan nilai pinjaman yang naik dari Rp25,07 triliun menjadi Rp28 triliun pada Desember 2024. Selama periode yang sama, jumlah akun peminjam turut meningkat tajam dari 11,45 juta menjadi 14,53 juta akun.
Menurut pengamat ekonomi digital dari Celios, Nailul Huda, masyarakat yang terkena PHK cenderung memilih pinjaman daring sebagai jalan keluar instan.
Meskipun sekitar 65–70 persen pinjaman masih bersifat konsumtif, ada pertumbuhan yang cukup mencolok pada pinjaman produktif—terutama yang digunakan untuk memulai usaha kecil di sektor perdagangan ritel dan reparasi kendaraan.
Namun, lonjakan kebutuhan ini juga membawa risiko yang tidak kecil. Banyak dari peminjam fintech pasca-PHK kini tidak lagi memiliki penghasilan tetap, sehingga berpotensi gagal memenuhi kewajiban pembayaran.
Hal ini mendorong perusahaan fintech besar seperti Amartha dan Samir untuk memperketat proses credit scoring, termasuk menilai kelayakan usaha calon peminjam dan melakukan pemantauan portofolio secara berkala.
Data dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat peningkatan penyaluran pinjaman fintech ke sektor produktif sebesar 46,6 persen sepanjang 2024, dari Rp3 triliun menjadi Rp4,4 triliun. Namun, OJK juga mengingatkan pentingnya penerapan manajemen risiko yang baik, mengingat rasio wanprestasi 90 hari (TWP90) sudah menyentuh angka 2,78 persen pada Februari 2025.
Fenomena ini mencerminkan dinamika ekonomi masyarakat yang tengah mencari pijakan baru di tengah tekanan ekonomi. Fintech hadir sebagai alternatif yang menjanjikan, tetapi tetap membutuhkan kehati-hatian dari semua pihak—baik pelaku industri maupun konsumen.