ZONAUTARA.com – Transisi energi bukan sekadar wacana belaka. Jika dikelola dengan serius, energi baru dan terbarukan (EBT) berpotensi menggantikan separuh konsumsi energi fosil Indonesia dalam sepuluh tahun mendatang.
Meski saat ini Indonesia masih sangat bergantung pada minyak dan batu bara, potensi pertumbuhan EBT dinilai masih sangat besar. Founder & Chief Executive Officer Finvesol Consulting, Fendi Susiyanto, menyebut bahwa pangsa EBT saat ini masih di bawah 20 persen. Namun, peluang untuk meningkat dua hingga tiga kali lipat masih sangat terbuka, asalkan eksekusi program dilakukan secara tuntas.
“Kalau kita melihat dari data Kementerian ESDM, kontribusi energi terbarukan itu masih di bawah 20 persen. Artinya, ruang improvement-nya luar biasa besar,” ujar Fendi kepada awak media di Jakarta, Senin, 26 Mei 2025.
Fendi menyatakan bahwa dengan langkah pengembangan yang konsisten dan konstruktif, kontribusi energi terbarukan dalam bauran energi nasional bisa melonjak signifikan.
“Paling tidak, energi terbarukan bisa menyumbang 40 persen hingga 50 persen dari kebutuhan energi nasional. Dan itu sangat realistis untuk dicapai jika programnya berjalan dengan baik,” katanya.
Ia menekankan pentingnya peningkatan kontribusi EBT untuk mengurangi ketergantungan pada energi fosil yang dinilai tidak berkelanjutan dan menghasilkan emisi tinggi. Menurutnya, kebijakan energi nasional harus diarahkan secara serius untuk mencapai target net zero emission pada tahun 2060.
“Pada akhirnya, kita akan bicara tentang bagaimana menurunkan emisi. Kita sudah punya komitmen zero emission di 2060. Artinya, 10–20 tahun ke depan harus kita manfaatkan sebagai masa percepatan,” ungkapnya.
Fendi melihat peluang besar dalam sektor ini bagi investor domestik maupun asing. Ia menilai bahwa saat ini sudah mulai terjadi rotasi sektor oleh para investor ke arah energi hijau, seiring dengan meningkatnya tekanan global terhadap dekarbonisasi.
“Investor sudah mulai shifting ke sektor-sektor yang ramah lingkungan. Energi terbarukan menjadi salah satu sektor yang dianggap future-proof karena mendukung transisi energi dan keberlanjutan,” ucapnya.
Namun, ia juga menegaskan bahwa percepatan investasi harus dibarengi dengan kepastian regulasi, insentif yang menarik, serta dukungan infrastruktur yang memadai. Ia menyarankan agar pemerintah mempercepat harmonisasi kebijakan dan regulasi terkait EBT.
“Tanpa kepastian regulasi, investor akan ragu. Mereka butuh roadmap yang jelas, skema insentif fiskal yang menarik, dan jaminan bahwa proyek mereka bisa berjalan sesuai rencana,” tegasnya.
Ia mencontohkan negara-negara yang berhasil menarik investasi besar ke sektor EBT umumnya memiliki sistem insentif kuat dan roadmap energi jangka panjang yang konsisten.
Fendi menyebut sepuluh tahun ke depan sebagai “dekade emas” bagi pengembangan energi terbarukan di Indonesia. Ia mengajak seluruh pemangku kepentingan untuk menjadikan periode ini sebagai momentum transformasi struktural sektor energi nasional.
“Ini saatnya kita fokus. Potensinya sudah jelas. Sekarang tinggal bagaimana kita eksekusi dengan cepat dan tepat. Energi terbarukan bukan sekadar masa depan, tapi kebutuhan masa kini,” katanya.