Oleh: Siti Wulandari Mamonto, M.Pd
Pendahuluan
Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) seringkali dipersepsikan secara sempit sebagai “tempat bermain” atau ruang menunggu sebelum anak memasuki sekolah dasar.
Padahal, periode usia dini merupakan fase paling sensitif dalam kehidupan manusia, di mana otak berkembang pesat, emosi mulai terbentuk, dan dasar keterampilan sosial mulai terbangun.
Pada tahap inilah anak pertama kali berinteraksi dengan dunia luar, mengenali dirinya sendiri, dan belajar bagaimana itu belajar.
Dengan demikian, PAUD sesungguhnya adalah ruang strategis untuk membentuk struktur otak, emosi, dan relasi sosial anak, yang kelak menjadi pondasi bagi minat dan kemampuan belajar sepanjang hayat.
Kesadaran akan pentingnya masa pra sekolah dan PAUD untuk anak-anak telah lama menjadi perhatian para ilmuwan dan pendidik.
Hasil riset neurosains, psikologi perkembangan, dan pendidikan menunjukkan bahwa pengalaman awal di PAUD memiliki dampak jangka panjang terhadap kesiapan belajar, kesehatan mental, dan kompetensi sosial anak (Thompson, 2024).
Karena itu, memandang PAUD hanya sebagai tempat bermain adalah penyederhanaan yang menyesatkan. PAUD adalah ruang pembentukan pondasi belajar seumur hidup.
PAUD dan landasan neurosains: Pengalaman membentuk struktur otak
Kajian neurosains modern menjelaskan bahwa masa usia dini adalah periode yang disebut sebagai critical period.
Masa di mana otak anak mengalami percepatan pembentukan jaringan saraf (sinaptogenesis) dan pemangkasan sinaps (synaptic pruning) yang menentukan bagaimana anak memproses informasi di masa depan (Deoni et al., 2016).
Proses-proses ini sangat dipengaruhi oleh pengalaman sehari-hari: interaksi sosial, stimulasi lingkungan, serta pola komunikasi yang diterima anak.
Penelitian menunjukkan bahwa pengalaman positif di lingkungan belajar yang kaya dan responsif mampu memperkuat konektivitas neural di area prefrontal cortex wilayah otak yang berperan dalam fungsi eksekutif, perhatian, dan regulasi emosi (Thompson, 2024).
Sebaliknya, kurangnya stimulasi dan interaksi bermakna di masa awal dapat menyebabkan “underdevelopment” pada jaringan yang mendukung kemampuan belajar.
Di sinilah PAUD berperan strategis: melalui aktivitas bermain terarah, guru dapat menghadirkan pengalaman multisensori yang menstimulasi seluruh aspek perkembangan otak anak.
Saat anak membangun menara balok, menyusun puzzle, atau mendengarkan cerita, ia sebenarnya sedang “melatih” jaringan otak yang berkaitan dengan logika, bahasa, memori kerja, dan kontrol diri.
Belajar melalui bermain: Kunci membangun minat dan motivasi intrinsik
Salah satu pendekatan yang paling efektif dalam PAUD adalah (play-based learning) pembelajaran berbasis permainan. Bermain tidak hanya menumbuhkan kesenangan, tetapi juga menumbuhkan rasa ingin tahu, berpikir kritis, keberanian mengambil risiko, serta ketekunan dalam menghadapi tantangan.
Menurut teori self-determination, motivasi intrinsik tumbuh ketika anak merasa memiliki otonomi, kompetensi, dan keterhubungan dengan orang lain. Bermain yang bermakna memberikan ketiga hal ini sekaligus.
Studi Viñuela et al. (2023) dalam Frontiers in Education menunjukkan bahwa penerapan metode pembelajaran aktif dan berbasis permainan pada anak prasekolah secara signifikan meningkatkan minat belajar, keterlibatan, serta rasa percaya diri anak.
Temuan ini sejalan dengan penelitian lokal di Indonesia (Murhum & Aulad, 2024) yang membuktikan bahwa kegiatan seperti proyek mini, eksperimen sederhana, atau permainan problem-solving dapat meningkatkan partisipasi aktif anak dalam proses belajar.
Dengan demikian, bermain bukanlah kegiatan selingan”, tetapi merupakan strategi pedagogis utama untuk menumbuhkan motivasi dan kebiasaan belajar sejak dini. Anak yang terbiasa bermain sambil belajar akan tumbuh menjadi pembelajar yang mandiri, antusias, dan resilien terhadap tantangan akademik di kemudian hari.
Interaksi guru-anak: Fondasi relasi dan pembelajaran bermakna
Hubungan yang hangat antara guru dan anak adalah jantung dari pendidikan anak usia dini. Grosse et al. (2022) menemukan bahwa kualitas interaksi guru–anak, terutama dalam hal kepekaan emosional, scaffolding kognitif, dan komunikasi dialogis, berpengaruh signifikan terhadap perkembangan fungsi eksekutif dan perilaku sosial-emosional anak.
Guru yang mampu merespons pertanyaan anak dengan sabar dan memberi kesempatan eksplorasi sebenarnya sedang membangun rasa percaya diri anak terhadap kemampuannya untuk belajar.
Dalam konteks Indonesia, banyak guru PAUD yang masih berfokus pada pengajaran akademik dini (membaca, menulis, berhitung), padahal interaksi sosial dan emosional justru menjadi jembatan menuju kesiapan akademik yang sejati.
Guru PAUD perlu difasilitasi dengan pelatihan berbasis coaching atau fasilitator agar mampu menerjemahkan prinsip neurosains dan psikologi perkembangan ke dalam praktik harian—misalnya, dengan teknik “scaffolding bertanya”, storytelling reflektif, atau permainan kolaboratif.
Kualitas interaksi guru-anak juga menjadi sarana pembentukan relasi sosial pertama di luar rumah. Melalui pengalaman ini anak belajar tentang empati, kerja sama, komunikasi, dan penyelesaian konflik.
Semua keterampilan tersebut membentuk dasar bagi kemampuan adaptasi dan pembelajaran sosial di masa sekolah berikutnya.
Regulasi emosi dan sosial-emosional learning (SEL): Jantung dari kesiapan belajar
Pembelajaran yang efektif tidak hanya bergantung pada kemampuan kognitif, tetapi juga pada kemampuan anak untuk mengatur emosi dan berinteraksi dengan lingkungan sosialnya. Hosokawa et al. (2024) menegaskan bahwa kemampuan regulasi emosi di usia dini merupakan prediktor kuat terhadap keterlibatan akademik di masa sekolah dasar.
Anak yang mampu mengendalikan diri ketika frustrasi atau menunggu giliran cenderung lebih fokus dan termotivasi dalam belajar.
Integrasi program Social Emotional Learning (SEL) dalam PAUD terbukti efektif dalam meningkatkan perilaku prososial dan menurunkan perilaku agresif. Misalnya, kegiatan sederhana seperti berbagi cerita tentang perasaan, latihan pernapasan pendek, atau permainan “tebak emosi” dapat membantu anak mengenali dan menamai emosinya.
PAUD yang kaya akan aktivitas sosial-emosional memberikan anak ruang untuk berlatih keterampilan sosial dalam konteks yang aman dan suportif.
Dengan demikian, pembentukan emosi yang sehat dan relasi sosial yang positif adalah pondasi psikologis dari minat belajar.
Anak yang merasa diterima dan dicintai akan memiliki rasa aman untuk bereksperimen, mencoba hal baru, dan menghadapi kesulitan tanpa takut gagal.
Temuan dari konteks Indonesia: Inovasi lokal yang berdampak
Berbagai penelitian di Indonesia mendukung temuan global tentang pentingnya kualitas PAUD. Studi tindakan yang dilakukan oleh Siti Arafatul Fatihah et al. (2022) menunjukkan bahwa penerapan kegiatan kolase dan proyek seni meningkatkan konsentrasi dan antusiasme belajar anak.
Penelitian lain di TK Islam Terpadu di Yogyakarta menemukan bahwa penerapan metode project-based learning meningkatkan keterlibatan aktif dan kerja sama antar-anak.
Meski sebagian besar penelitian berskala kecil, konsistensi hasil menunjukkan bahwa ketika guru diberikan kebebasan untuk berinovasi dan refleksi, praktik-praktik sederhana dapat membawa perubahan besar.
Pendekatan yang berbasis budaya lokal, misalnya melalui lagu tradisional, permainan rakyat, atau cerita daerah juga terbukti memperkuat identitas anak sekaligus menumbuhkan rasa memiliki terhadap proses belajar.
Namun, tantangan di Indonesia masih besar: disparitas kualitas tenaga pendidik, kurangnya pelatihan berbasis sains, dan minimnya pendampingan profesional.
Oleh karena itu, reformasi PAUD tidak cukup hanya menambah fasilitas, tetapi harus menyentuh aspek kualitas interaksi dan kompetensi pedagogis guru.
Kesimpulan
PAUD bukanlah sekadar ruang bermain, tetapi ruang strategis yang membentuk otak, emosi, dan relasi sosial anak. Di sinilah mereka pertama kali belajar mengenali dunia, dirinya sendiri, serta membangun keterampilan belajar yang akan menjadi pondasi seumur hidup.
Bukti dari neurosains, psikologi perkembangan, dan pendidikan menunjukkan bahwa pengalaman di usia dini menentukan arah masa depan anak bukan hanya dalam hal akademik, tetapi juga dalam kesejahteraan emosional dan sosial.
Untuk itu, setiap guru, orang tua, dan pembuat kebijakan perlu memandang PAUD bukan sebagai tahap “awal” yang harus dilewati, melainkan sebagai titik krusial dalam membentuk generasi pembelajar yang kreatif, resilien, dan berdaya.
Investasi terbaik bagi masa depan bangsa adalah memastikan setiap anak mendapatkan pengalaman belajar yang bermakna sejak usia dini.
Daftar Pustaka
Deoni, S. C. L., Dean, D. C., et al. (2016). White matter maturation profiles through early childhood. NeuroImage, 134, 441–455.
Grosse, G., Simon, A., & Soemer, A. (2022). Teacher–Child Interaction Quality Fosters Working Memory and Social-Emotional Behavior in Two- and Three-Year-Old Children. International Journal of Early Childhood Education.
Hosokawa, R., et al. (2024). Enhancing social-emotional skills in early childhood. Frontiers in Psychology.
Murhum & Aulad. (2024). Implementasi Play-Based Learning dalam Meningkatkan Minat Belajar Anak di PAUD Indonesia. Jurnal Pendidikan Anak Usia Dini, 13(2).
Siti Arafatul Fatihah et al. (2022). Meningkatkan Minat Belajar Anak Usia Dini melalui Kegiatan Kolase di TK Negeri Pembina. Jurnal Obsesi: Jurnal Pendidikan Anak Usia Dini, 6(1).
Thompson, R. A. (2024). Early Brain Development and Public Health. National Center for Biotechnology Information.
Viñuela, Y., et al. (2023). Improving motivation in pre-school education through active methodologies. Frontiers in Education, 8, 112–125.

