ZONAUTARA.com – Para advokat iklim yang dipimpin oleh 350.org Indonesia dan organisasi mitranya melakukan mobilisasi nasional bertajuk “Draw The Line”, yang melibatkan 36 aksi di 35 kota dan provinsi di seluruh Indonesia.
Mobilisasi global ini menyerukan aksi iklim yang mendesak, tegas, dan nyata, dengan fokus utama mendesak Presiden Prabowo Subianto untuk membatasi penghancuran bahan bakar fosil dan memastikan transisi ke 100% energi terbarukan berbasis komunitas.
Aksi ini bertepatan dengan persiapan para pemimpin dunia untuk Sidang Umum PBB di New York bulan ini, dan KTT Iklim PBB (COP30) di Brasil enam minggu kemudian. Di Jakarta, para aktivis iklim dijadwalkan berparade ke Istana Negara pada hari ini, Jumat (19/9/2025) untuk mendesak Presiden Prabowo menetapkan target iklim yang ambisius, mengenakan pajak kepada miliarder dan pencemar, serta memberantas korupsi guna mendanai masa depan yang lebih baik.
Prabowo sendiri dijadwalkan hadir di Sidang Umum PBB minggu depan, yang pertama bagi seorang pemimpin Indonesia dalam satu dekade, dan Indonesia diperkirakan akan menyerahkan Kontribusi Nasional Kedua (NDC) bulan ini.
Sisilia Nurmala Dewi, Ketua Tim 350.org Indonesia, menegaskan pentingnya tindakan nyata dari pemerintah.
“Kami tegaskan kepada oligarki dan pencemar yang telah memerintah negara ini terlalu lama, mengambil uang publik yang seharusnya digunakan untuk aksi iklim, dan merusak sumber daya alam yang seharusnya dilestarikan untuk generasi mendatang. Kami membutuhkan tindakan nyata. Kami mendesak Presiden Prabowo untuk merefleksikan dalam NDC Indonesia pernyataan sebelumnya untuk beralih ke 100% energi terbarukan dalam 10 tahun dan menghentikan pembangkit listrik tenaga batu bara,” ujarnya melalui rilis yang diterima Zonautara.com.
Mobilisasi “Draw The Line” di Indonesia telah dimulai Sabtu lalu di Jogja, di mana para aktivis iklim menelusuri Sumbu Imajiner dan Filosofis, dari Merapi – Tugu – Alun-alun Utara – Keraton – Alun-alun Selatan – Panggung Krapyak – Pantai Parangtritis.
Sumbu ini menekankan hubungan manusia dengan bumi, yang memiliki semangat sama dengan gerakan Draw the Line. Minggu ini, aksi serupa akan diadakan di berbagai kota lain di Indonesia seperti Bali, Aceh, Jayapura, Mataram, Makassar, Bulukumba, Cirebon, Pekanbaru, Bengkulu, Palembang, Palangkaraya, Solo, Kapuas, Semarang, Padang, Ambon, Bandung, Medan, Lombok Timur, dan lainnya.
Beragam kegiatan akan dilaksanakan, meliputi Festival Seni Iklim, pertemuan lintas agama, long march, aksi berdiri bersama, aksi rantai manusia, diskusi sekolah, dan pertunjukan seni.
Arami Kasih, kurator seni dari Climate Rangers Jogja, menjelaskan tujuan Festival Seni Iklim. “Saya mempersembahkan Festival Seni Iklim ini sebagai ruang untuk mempertemukan komunitas lokal yang terdampak krisis iklim. Festival ini menunjukkan bahwa isu-isu iklim saling terkait secara fundamental, dengan dimensi sosial, ekonomi, politik, dan bahkan spiritual. Melalui seni, kami menunjukkan perlunya para pemimpin dunia untuk bertindak dengan keberanian politik yang nyata. Para pemimpin harus berpihak pada rakyat, bukan pada kepentingan jangka pendek atau industri yang merusak lingkungan. Janji saja tidak cukup. Mereka harus melibatkan masyarakat dalam membuat kebijakan konkret dan adil yang mendukung bumi dan komunitas-komunitasnya yang paling rentan.”
Dari Bali, Paskah Toga dari Climate Rangers Bali, menyoroti dampak langsung krisis iklim. “Banjir mematikan baru-baru ini di Bali merupakan bukti nyata bahwa krisis iklim bukan lagi ancaman yang jauh, melainkan kenyataan yang perlu diselesaikan dengan kebijakan konkret. Pemerintah harus menghentikan pembangunan pembangkit listrik berbahan bakar fosil dan menghapuskan bahan bakar fosil secara bertahap. Pemerintah harus secara serius bertransisi ke energi terbarukan dengan cara yang melibatkan masyarakat. Sebagai upaya adaptasi, pemerintah juga harus mereformasi tata ruang, menghentikan alih fungsi lahan, dan memperluas daerah tangkapan air termasuk merevitalisasi sungai agar dampak iklim dapat dikurangi.”
Sementara itu, Afriadi Mansah Putra, Kepala Tata Usaha SMA Muhammadiyah 4 Bengkulu, sebuah sekolah yang telah menggunakan energi surya, menekankan pentingnya energi terbarukan berbasis masyarakat.
“Energi terbarukan berbasis masyarakat menumbuhkan rasa kepemilikan, tanggung jawab bersama, dan tindakan nyata. Energi terbarukan memastikan bahwa solusi lingkungan selaras dengan kebutuhan lokal dan adil bagi semua. Kami mendesak agar transisi ke energi bersih dipercepat, dengan dukungan bagi sekolah dan masyarakat serta kebijakan yang adil bagi kaum muda dan kelompok rentan. Investasi terbaik untuk masa depan planet ini adalah melalui pendidikan, energi terbarukan, dan aksi iklim yang melibatkan semua lapisan masyarakat,” ujarnya.
Di Bulukumba, Sulawesi Selatan, Anjar S. Masiga dari Kolaborasi Biru, juga menyuarakan pandangannya. “Untuk pulau-pulau kecil seperti Liukang di Kabupaten Bulukumba, tenaga surya yang murah dan ramah lingkungan jauh lebih relevan daripada pembangkit listrik tenaga diesel. Kami juga menggarisbawahi solusi iklim palsu seperti relokasi pabrik produksi amonia di Bulukumba. Hal ini akan membunuh mata pencarian lokal dan merusak ekologi dengan rencana pembukaan lahan seluas 300 hektar di hutan hujan. Kami mengingatkan pemerintah Indonesia bahwa tujuan pengurangan emisi karbon harus sejalan dengan tindakannya di lapangan. Mengejar keuntungan semata bertentangan dengan tujuan iklim.”
Dari Nusa Tenggara Barat, Muhammad Abihul Fajar dari Climate Rangers Nusa Tenggara Barat, menggambarkan dampak nyata perubahan iklim.
“Perubahan pola musim memicu banjir bandang yang mematikan di pegunungan Lombok Utara dan Tengah, sementara musim kemarau semakin panjang dan parah, menyebabkan banyak desa pesisir dan perbukitan kekurangan akses air bersih. Perjuangan melawan iklim bukan hanya tentang menyelamatkan alam; ini tentang menyelamatkan hidup, martabat, dan masa depan kita. Masyarakat tidak menyerah. Sebagai penjaga tanah, air, dan lautan, mereka bangkit untuk memperjuangkan keadilan iklim. Tanpa perubahan nyata, krisis iklim akan memperdalam ketimpangan dan memiskinkan masa depan kita,” tekannya.


